Todung Mulya Lubis
Arbiter pada International Chamber of Commerce (ICC) dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BAND).
HAMPIR semua kontrak bisnis internasional mencantumkan klausul arbitrase. Dengan klausul itu, berarti setiap sengketa bisnis yang timbul akibat pelaksanaan kontrak bisnis internasional tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase internasional atau nasional. Pilihan arbitrase ini banyak sekali. Meski demikian, yang umum dipilih adalah arbitrase dari International Chamber of Commerce (ICC) dan United Nations Commission on International Trade Law (Uncitral) pada tingkat internasional, atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Indonesia maupun Singapore International Arbitration Centre (SIAC) di Singapore. Tentu banyak pilihan lain karena hampir semua negara di dunia mempunyai badan arbitrase sendiri dengan aturan hukum acara (rules) yang kurang-lebih sama.
Biasanya, alasan utama arbitrase dipilih adalah penyelesaian melalui arbitrase relatif lebih cepat dan murah, tidak seperti pengadilan yang panjang, berbelit, dan jelas lebih mahal. Dalam aturan BANI, misalnya, sebuah sengketa harus diselesaikan dalam waktu enam bulan, meski dapat diperpanjang kalau proses pemeriksaan itu belum selesai. Perpanjangan waktu ini tak memakan waktu terlalu lama jika dibandingkan dengan panjangnya waktu beracara di pengadilan. Mohon diingat juga bahwa putusan arbitrase itu selalu bersifat final and binding. Artinya, putusan arbitrase itu adalah putusan pertama dan terakhir yang mengikat, tak ada upaya banding atau kasasi. Jadi, putusan arbitrase itu sifatnya executable atau dapat dilaksanakan.
Putusan arbitrase itu dapat dibuat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku (strict law) atau bisa pula berdasar pertimbangan ex aquo et bono, mengacu pada kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku. Semua ini bergantung pada isi klausul arbitrase yang diatur dalam kontrak bisnis internasional tersebut. Jadi, ada ruang yang terbuka bagi para arbitrator untuk mengacu pada praktek bisnis yang berlaku dalam membuat putusannya.
Dan yang menarik pula adalah bahwa arbitrator tidak semuanya ahli hukum. Biasanya, dalam daftar arbitrator kita akan menemukan banyak ahli lain seperti akuntan, ahli konstruksi, ahli farmasi, atau ahli lainnya. Di sinilah para pihak yang bersengketa bisa merasa comfortable karena tak melulu dibelenggu oleh aturan hukum yang kadang tak bersesuaian dengan praktek bisnis yang berlaku.
Dalam kasus Indonesia, ada alasan lain mengapa arbitrase, terutama arbitrase internasional, selalu dijadikan pilihan, yaitu adanya ketidakpercayaan (distrust) terhadap lembaga pengadilan yang masih dipersepsikan tidak bersih, penuh praktek suap dan korupsi. Banyaknya perusahaan asing yang merasa dikerjain oleh pengadilan di Indonesia membuat pilihan akan pengadilan menjadi sesuatu yang mustahil. Lihatlah pengalaman Manulife dan Prudential baru-baru ini. Kedua perusahaan asuransi internasional yang sangat solvent ini dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga sehingga menimbulkan kepanikan dan kehebohan yang luas. Putusan tersebut terasa sangat tidak berdasar dan membuat pengadilan Indonesia makin tidak nyaman. Meski akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit tersebut, kenyataan ini semakin membuat wajah pengadilan Indonesia tidak menjadi rujukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Dirasakan bahwa manipulasi hukum begitu sering terjadi, tempat para "mafia" bermain dalam mengatur putusan.
Karaha Bodas Company agaknya juga tak mempercayai pengadilan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan Pertamina, dan karena itulah klausul arbitrasenya memilih arbitrase internasional. Ini adalah pilihan kontraktual yang seharusnya dihormati dan, karenanya, siapa pun yang memilih arbitrase jangan menganggap remeh apalagi mengabaikan proses arbitrase itu.
Konon, Pertamina agak mengabaikan proses arbitrase tersebut karena terlambat menunjuk arbitrator sehingga penunjukan arbitrator itu dilakukan oleh lembaga arbitrase internasional tersebut. Dalam perjalanannya, mungkin Pertamina tak sepenuhnya siap dalam pertarungan arbitrase tersebut. Padahal sebetulnya Pertamina mempunyai alasan yang cukup kuat untuk memenangi arbitrase, setidaknya untuk mendapatkan putusan yang sifatnya win-win. Bukankah penghentian proyek pengembangan listrik tenaga panas bumi di Karaha Bodas tahun 1997 merupakan force majeure akibat krisis ekonomi di kawasan ini? Andainya Pertamina salah, kesalahan itu tak dapat ditimpakan seratus persen ke pundak Pertamina. Seharusnya Pertamina bisa datang dengan argumentasi dan bukti-bukti sangat kuat dan meyakinkan.
Saya tidak tahu sesiap apa Pertamina dalam arbitrase tersebut, walau ada kesan Pertamina kurang serius pada awalnya. Kalau ini benar, betapa mahalnya harga yang mesti kita bayar. Memang Karaha Bodas Company menuntut ganti rugi US$ 613 juta dan hanya mendapatkan US$ 261 juta. Jumlah ini tidak kecil, apalagi sekarang angkanya sudah membesar menjadi US$ 294 juta. Pertanyaannya: dari mana pembayaran mesti dilakukan?
Tetapi, pihak Pertamina justru bukannya mencari jalan keluar atau amicable settlement dengan pihak Karaha Bodas Company. Putusan arbitrase itu diupayakan untuk dibatalkan melalui gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kebetulan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Pertamina. Hanya, pembatalan putusan arbitrase itu tak ada maknanya karena Karaha Bodas Company -- bermodal putusan arbitrase tersebut -- bisa merangsek ke sana kemari mengancam anak perusahaan dan aset Pertamina di luar negeri. Rekening Pertamina sebesar US$ 650 juta di Bank of New York dan Bank of America, misalnya, telah dapat diblokir oleh Karaha Bodas Company. Sekarang, Karaha Bodas Company sedang merangsek ke Hong Kong dan Singapura mengejar aset Pertamina lainnya. Harap dicatat pula bahwa pengadilan distrik di New Orleans telah pula mengukuhkan putusan arbitrase internasional tersebut.
Karaha Bodas Company telah melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Sekarang bola ada di tangan Pertamina dalam mencari penyelesaian yang sifatnya amicable, walau kelihatannya upaya ini pasti tidak mudah. Upaya yang paling penting adalah melakukan negosiasi bisnis dengan Karaha Bodas Company dan mencari jalan keluar bisnis yang memungkinkan Pertamina meringankan beban ganti rugi yang mesti dibayarnya. Buat perusahaan sebesar Pertamina, seharusnya ada business arrangement yang bisa dinegosiasikan dengan pihak Karaha Bodas Company mengingat lahan bisnis Pertamina yang begitu luas di negeri ini. Upaya kreatif dalam mencari penyelesaian inilah yang pasti jauh lebih bermanfaat bagi kita semua. Dalam konteks ini, pendekatan birokratis dan yuridis bisa jadi tak akan mampu menjembatani perbedaan tajam antara Pertamina dan Karaha Bodas Company.
Sayangnya, pihak pemerintah masih belum bersepakat. Ada yang ingin membayar ganti rugi tersebut karena tak ingin melihat Indonesia dikucilkan dalam bisnis internasional, tetapi ada pula yang tak sudi membayar karena masih adanya dugaan korupsi dalam kasus Karaha Bodas ini. Mungkin korupsi terjadi pada kasus Karaha Bodas ini, apalagi proyek ini berasal dari masa pemerintahan Orde Baru, yang memang penuh cerita korupsi. Pertanyaannya: kenapa cerita korupsi ini munculnya sekarang? Kenapa tidak sejak awal arbitrase ini dimulai?
Sekarang putusan arbitrase tersebut sepertinya tak bisa lagi digugat, apalagi opini internasional sudah sangat menyalahkan Pertamina dan pemerintah Indonesia. Dalam usaha Indonesia menarik masuknya modal asing, keengganan Pertamina dan pemerintah Indonesia melaksanakan putusan arbitrase internasional akan dilihat sebagai faktor yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang tak terlalu diminati sebagai negara tujuan penanaman modal.
Kalau kita melihat ke belakang serta melihat apa yang dilakukan sekarang dalam menyikapi kasus Karaha Bodas Company ini, satu hal yang amat kasatmata yaitu lemahnya koordinasi antara sesama pejabat. Paradigma hukum tak memainkan peran dalam penanganan kasus Karaha Bodas Company ini.
Seharusnya Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman bisa mengarahkan pemerintah agar bersikap sangat serius dalam menghadapi semua proses arbitrase, termasuk dalam penyiapan alat bukti, saksi, dan saksi ahli serta penyidikan kasus korupsi yang menyangkut proyek ini. Para arbiter akan dipaksa menggunakan akal sehat mereka kalau kepada mereka disodorkan bukti-bukti dan kesaksian yang sahih.
Sebagai orang yang berkali-kali menjadi arbiter, saya berani menyatakan bahwa para arbiter itu akan sangat senang kalau para pihak bersungguh-sungguh dalam berarbitrase, sehingga putusan arbitrase itu bisa dibuat dengan pertimbangan yang mendalam.
Kata kunci yang hilang di sini adalah "kesiapan". Saya khawatir bahwa Pertamina dan pemerintah memang tidak sepenuhnya siap dalam menghadapi gempuran Karaha Bodas Company ini. Kita seperti gamang menghadapi pertarungan internasional yang memang menuntut profesionalitas.
Apa boleh buat, kita memang terlambat sadar. Lucunya, kita sekarang baru akan mempersiapkan "Buku Putih" Karaha Bodas. Untuk apa? Sebagai bahan kajian ilmiah, tentu "Buku Putih" itu banyak gunanya. Tetapi, sebagai peluru untuk melawan putusan arbitrase dan gempuran hukum Karaha Bodas Company, saya hampir tak melihat ada manfaatnya. Nasi sudah menjadi bubur. Dan putusan arbitrase itu sudah final and binding.
Akhirnya, tolong juga dilihat bahwa Indonesia sudah melahirkan Undang-Undang No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini adalah produk hukum yang memperkuat kepercayaan para pelaku bisnis, terutama penanam modal asing yang berbisnis di Indonesia. Mereka bisa menyelesaikan sengketa di badan arbitrase nasional ataupun internasional, dan putusan arbitrase itu bisa dilaksanakan di Indonesia. Ini sungguh suatu hal yang luar biasa.
Akan tetapi, undang-undang ini menjadi tak berarti di tengah penolakan terhadap putusan arbitrase yang memang merugikan Indonesia ini. Kita memang tidak siap untuk kalah, padahal dalam arbitrase (atau pengadilan) sangat mungkin ada pihak yang kalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini