Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKANAN siang sudah siap. Menu utama serba ikan segar. Semuanya baru matang dengan uap berkepul-kepul. Angin lembut Pantai Buyat menyebarkan aroma sedap ikan itu ke udara, membuat sejumlah undangan yang telah datang tiba-tiba merasa lapar. Tak jauh dari pantai, kursi diatur berderet-deret, siap menyambut peserta pesta al fresco (di bawah kolong langit). Inilah hajatan besar. Maklum, ada pejabat datang. Dan hari itu Buyat mencatat sejarah: ada menteri yang datang untuk berdialog dan makan bersama di Kampung Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup yang sudah datang, sedang berdiri ketika tiba-tiba Nurmin Sagilateng, warga asli Buyat, mendekat. Tangannya menenteng lima ekor ikan. Bukan, bukan ikan segar nan mengkilap, melainkan lima ekor kerapu dengan tubuh diwarnai benjolan. "Pak Menteri ingin ikan ini dimasak apa agar kita makan bareng-bareng?" kata Nurmin.
Nabiel terhenyak, tapi ia segera menguasai diri dan menolak sopan, "Ikan ini nanti saya bawa, akan diteliti di laboratorium," kata Nabiel seperti dilaporkan Tempo News Room (TNR) dari Pantai Buyat. Mungkin selera Nabiel tiba-tiba rontok melihat ikan benjol-benjol itu, atau memang dia tak suka ikan kerapu. "Kalau ikannya sakit, kenapa saya dipaksa makan?" kata dia seusai pesta kepada wartawan.
Ikan benjol itu boleh jadi ungkapan kekesalan warga Buyat kepada Nabiel. Awal pekan lalu, Nabiel menyatakan ikan dan air laut di Teluk Buyat masih aman, kandungan logam beratnya di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Padahal, sejak 2000, warga setempat telah menemukan banyak ikan karang benjol-benjol. Warga menduga benjol-benjol pada ikan dan manusia itu akibat limbah PT Newmont Minahasa Raya yang dibuang ke Teluk Buyat.
Keributan soal limbah ini memuncak ketika warga dua pekan lalu menggugat perusahaan penambang emas terbesar dunia itu, juga Menteri Kesehatan, karena dianggap telah membuat warga di sana menderita. Untuk membuktikan terjadinya pencemaran, empat warga Buyat datang ke Jakarta dan diperiksa darah dan DNA-nya. Dan hasil penelitian Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia, Kamis lalu, cukup mengejutkan: tubuh empat warga Buyat tersebut mengandung merkuri di atas ambang normal.
Menurut Budiawan, doktor yang menguji darah keempat warga itu, kandungan merkuri pada darah mereka ada di kisaran 9,51 sampai 23,90 mikrogram per liter. Kandungan merkuri tertinggi ada pada Rasyid, lelaki dengan benjolan sebesar telur ayam di tengkuknya. Kandungan merkuri di tubuh mereka melebihi ambang normal yang ditetapkan WHO pada 1990, yakni 8 mikrogram per liter, meski masih jauh dari ambang mematikan seperti penyakit minamata. Gejala penyakit minamata, kata Budiawan, baru muncul jika ada 200-500 mikrogram merkuri menyelinap di setiap liter darah orang.
Penelitian itu setali tiga uang dengan uji darah oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada 2000 lalu. Dari 20 warga Buyat yang dites, empat orang di antaranya mengandung merkuri di atas ambang normal, yakni 9-10 mikrogram per liter.
Tapi, menurut Ali Sahami, doktor anggota tim peneliti lingkungan PT Newmont Minahasa Raya, kandungan merkuri itu sebenarnya masih normal. Data WHO 1996, kata Ali, menunjukkan bahwa pada penduduk yang sedikit makan ikan, kandungan merkurinya 5 mikrogram per liter. Sedangkan pada yang amat doyan makan ikan, kadar merkuri bisa mencapai 44 mikrogram per liter. "Jadi, ada variasi yang luas soal batas ambang normal dalam darah," ujar Ali.
Mana yang benar? Wan Alkadri, Direktur Kesehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, memilih berhati-hati menanggapi temuan tim Universitas Indonesia (UI) itu. Yang diperiksa di Fakultas MIPA UI, katanya, adalah kandungan total merkuri dalam darah. Padahal yang berbahaya bagi tubuh adalah merkuri organik, yakni berbentuk metil merkuri. Senyawa inilah yang dalam jumlah melimpah bisa melahirkan penyakit minamata: orang bisa mengalami tremor dan tak bisa mengendalikan gerakan. "Mereka (UI) tak bisa mengukur kadar metil merkuri dalam darah," Alkadri menukas.
Debat memang bisa panjang. Untuk mendapat hasil pasti, Departemen Kesehatan berencana mengirim contoh darah dan rambut empat warga Buyat ke Jepang, negeri yang berpengalaman menangani kasus logam berat.
Adu kuat argumen soal pencemaran di Teluk Buyat ini sejatinya bukan hal baru. Sejak mesin Newmont menderu-deru menggali lubang pada 1996, kontroversi telah meruyak. Batuan di sana memang kaya logam berat seperti arsen, merkuri, dan antimon. Sejumlah peneliti saling beradu argumentasi membahas dampak lumpur Newmont yang dibuang 2.000 ton per hari itu.
Studi Kementerian Lingkungan Hidup pada September 2003 menunjukkan lumpur buangan Newmont itu mengandung logam berat dan mencemari sedimen di Teluk Buyat. Kadar merkuri dan arsennya di atas 3,5 part per million (ppm) dan 1.831 ppm. Padahal, kata ketua tim penelitinya, Asiah Harun, menurut ASEAN Marines Guidelines, lumpur disebut terpolusi bila mengandung 0,4-350 ppm merkuri dan 50-300 ppm arsen.
Penelitian Evan Edinger, doktor dari Memorial University of Newfoundland, Kanada, juga menunjukkan hasil serupa. Konsentrasi logam berat terbanyak ditemukan di sedimen (endapan lumpur di dasar laut) di depan mulut pipa pembuangan, yakni arsen 663,74 ppm, merkuri 5,8 ppm, dan antimon 583,13 ppm. Berbagai jenis logam berat ini berasal dari batuan yang digali Newmont dan, setelah mengalami pengolahan, terlepas bersama lumpur.
Namun, Ali Sahami punya pandangan berbeda. Menurut doktor bidang lingkungan dari University of London itu, di dunia ini tak ada standar baku ukuran sedimen terpolusi. Ali mengaku belum pernah melihat ada kesepakatan khusus antara negara-negara ASEAN soal standar sedimen itu.
Newmont tetap yakin sedimen mereka aman karena kandungan arsen dan merkuri pada sedimen yang dibuang di Teluk Buyat sangat stabil. Newmont telah melakukan penelitian sejak 1996 hingga 2003. "Logam berat dari sedimen yang terlepas ke laut sangat kecil nilainya," kata Ali.
Kandungan arsen, misalnya, yang terlepas ke air cuma 0-129 mikrogram per sentimeter persegi per tahun. Sedangkan merkuri dari lumpur yang terlepas ke air laut 0-0,149 mikrogram per sentimeter persegi per tahun. Data itu klop dengan penelitian Kementerian Lingkungan Hidup, yang menyatakan kandungan logam berat air dan biota laut masih di bawah ambang WHO (TEMPO edisi 26 Juli-1 Agustus 2004).
"Saya tinggal di sana (di dekat Buyat), makan ikan di sana, dan lebih dari 30 kali menyelam di teluk itu tak ada apa-apa," kata Ali. Bahkan Ali mengaku sejak 1996-2004 Newmont tak pernah menemukan ikan benjol.
Kerusakan lingkungan yang digugat lembaga swadaya masyarakat pun, menurut Manajer Lingkungan Newmont, Kadar Wiryanto, tak terjadi di lapangan. "Penelitian Unsrat menunjukkan biodiversity species di laut tetap tinggi," katanya. Koloni koral juga bertambah.
Silang-sengkarut adu hasil penelitian inilah yang hendak diakhiri oleh pemerintah dengan membentuk tim terpadu. Tim ini, selain beranggotakan pejabat eselon dari berbagai departemen dan beberapa perguruan tinggi, juga melibatkan tokoh lingkungan seperti Emil Salim, Otto Soemarwoto, dan Farid Anfaza Moeloek.
Apa pun hasil penelitian itu nanti, derita warga Buyat masih akan berlanjut. Nah, ada yang berminat makan kerapu benjol bakar?
Burhan Sholihin, Retno Sulistyoningsih, Sunariyah (TNR), Verrianto Madjowa (Buyat, Minahasa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo