Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pelanggar kpp: sebaiknya dibebaskan saja

Pelanggaran kpp yang terlanjur ditilang sebaiknya dibebaskan, bukan peradilan tilangnya ditunda. penundaan bertentangan dengan pasal 1 (1) kuhp dan pasal 4 uu no 14/1970.

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang ahli hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Loebby Loqman, menjelaskan para pelanggar KPP yang telanjur ditilang sebaiknya dibebaskan saja, bukan peradilan tilangnya yang ditunda. Jika peradilan ditunda, itu bertentangan dengan Pasal 1 (1) KUHP yang berbunyi, "Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu (TEMPO, 30 Mei 1992, Hukum). Saya sependapat dengan Dr. Loebby Loqman. Sebab dasar yang dipakai adalah Pasal 1 (1) KUHP. Selain itu, masalah penundaan sidang juga bertentangan dengan Pasal 4 UU No.14/1970, yakni UU Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini mengandung asas bahwa proses peradilan harus sederhana, cepat, dan biayanya ringan. Itu berarti bahwa dalam waktu singkat polisi harus melimpahkan perkara yang ada di tangannya ke pengadilan. Sebab, kalau lambat dan berteletele akan mengurangi hak asasi dan martabat manusia. Kemudian landasan ini diperkuat lagi oleh Pasal 50 KUHAP yang mengatakan bahwa setiap tersangka berhak, perkaranya segera diadili oleh pengadilan. Memang ada pengecualian yang dibolehkan undang-undang untuk menunda pelimpahan suatu perkara, yakni bila penyelidikan polisi belum selesai dan masih diperlukan waktu mencari buktibukti lain untuk melengkapi penyidikan. Penundaan itu bukanlah untuk menunggu pembuatan suatu undang-undang atau perda seperti dalam kasus ini. Menurut saya, polisi dalam pelaksanaan KPP ini terlalu tergesa-gesa menjatuhkan tilang kepada pelanggar, sementara sarana dan prasarana lainnya belum begitu siap. Seperti kita ketahui, uji coba KPP dimulai pada 20 April 1992, dan polisi sudah menjatuhkan tilang pada 27 April 1992. Jadi, waktu percobaannya hanya tujuh hari. Ini menimbulkan kepanikan pemakai jalan. Lalu muncul reaksi kontra dan cemoohan dari masyarakat, ditambah lagi setelah perkara tilang ditolak hakim dengan alasan: SK Gubernur belum cukup kuat untuk mempidana pelanggar. KURNIANTO PURNAMA, S.H. Jalan Kerajinan Raya Nomor 1 A Jakarta 11130

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus