SELEPAS rapat Koordinasi Politik dan Keamanan Selasa pekan lalu, Menko Polkam Sudomo lagilagi bikin kaget banyak orang. "Ada upaya untuk menggagalkan Pemilu," katanya. Menurut Sudomo, upaya itu dilakukan dengan cara melontarkan tuduhan bahwa Pemilu lalu sarat pelanggaran dan kecurangan. "Tuduhan itu tidak disertai bukti kongkret, dan cenderung didramatisir," ujarnya. Menko Polkam yang suka bicara ceplasceplos itu kabarnya cuma menyampaikan kesimpulan rapat Polkam yang mengevaluasi pelaksanaan Pemilu, yang dihadiri antara lain Menteri Rudini, L.B. Moerdani, Ismail Saleh, dan Harmoko. Sudomo tak menutup mata tentang pelanggaran dan kecurangan pada Pemilu 1992 itu, termasuk pula intimidasi terhadap masyarakat. "Tapi itu jauh lebih kecil dibanding Pemilu 1987," ujarnya. Maka, lontaran protes atas kecurangan itu, menurut Sudomo, bermaksud mendiskreditkan hasil Pemilu, bahkan menggagalkannya. Sudomo menolak menyebutkan pihak mana yang dituduhnya punya niat berbahaya itu. Namun agaknya yang dia maksud adalah PDI, yang memang paling nyaring protesnya. "Pelajar-pelajar diteror agar tak memilih PDI, saksi dari PDI dihalang-halangi datang ke TPS, dan orang mencoblos beberapa kali," kata Ketua Umum PDI Soerjadi. Ketua PDI Jakarta Alex Asmasoebrata menyindir, "Banyak yang lucu selama Pemilu." Berbagai kejadian yang merugikan PDI oleh Alex telah dilaporkan ke Panitia Pengawas Pelaksana (Paswaslak) DKI, juga ke Ketua LPU Rudini. Sebelum ada penyelesaian, Alex tak akan mau menandatangani berita acara penghitungan suara. "Kalau perlu, semua calon anggota DPR PDI menarik diri untuk tidak dilantik," gertaknya. Protes serupa juga terjadi di Pantai Sorong Doom, Irian Jaya. Beberapa lelaki pendukung PDI turun dari sampannya setelah beberapa jam mendayung dari Mayalibit, salah satu kampung di seberang Kota Sorong. Mereka ingin menemui Panitia Pemilihan Daerah di Sorong, dan bertanya, "Mengapa desa kami dinyatakan 100 persen Golkar, padahal sebagian dari kami memilih PDI?" Di Pulau Nias PDI tak mengakui hasil Pemilu. "Pemilu sekarang lebih buruk dari yang lalu-lalu," ujar Sonotona Telaumbauna, Sekretaris PDI Nias. Berita acara penghitungan suara belum ditandatangani. Protes mereka juga berkisar soal saksi yang tak bisa hadir di TPS, dan cara penghitungan suara yang dianggap tak jujur. Namun, sikap pengurus PDI daerah beragam. Latief Pudjosakti, Ketua PDI JaTim, mengaku tak ada soal dengan berita acara. "Kami tak punya alasan untuk menolak," ujarnya sambil menyebut bahwa perlakuan terhadap PDI JaTim bisa ditenggang. PDI Yogya masih mencoba mengulur sampai batas waktu 26 Juni. "Ya, sambil berharap kecurangan di DIY diusut," ujar ketuanya, Soetardjo Soerjogoeritno. Agaknya, yang membuat Sudomo gusar bukan melulu masalah protes-protes keras itu. Sumber TEMPO di jajaran Polkam menyebut soal radiogram dari Kantor Pusat PDI yang dikirim ke daerah-daerah 10 Juni silam sebagai pangkal persoalan. Radiogram yang mengatasnamakan Ketua Umum Soerjadi dan Sekjen Nico Daryanto itu, kata sumber tadi, seperti mendorong agar pengurus daerah memboikot penandatanganan berita acara. Isi radiogram yang jadi soal. Pihak Polkam mengatakan ada dua versi. Yang pertama diawali kalimat: "DPP PDI menginstruksikan agar PPS tidak menandatangi berita acara . . .." Versi kedua berbunyi: "DPP PDI menginstruksikan kepada DPD/DPC agar apabila ada indikasi kecurangan dalam proses pemungutan suara dan penghitungan suara, PPS agar tak menandatangai berita acara . . .." Tuduhan dua versi radiogram itu ditolak Soerjadi. "Tidak betul," katanya. Soetardjo Soerjogoeritno, ketua PDI DIY tadi, menguatkan pendapat pimpinannya. Bagi Soetardjo, cuma ada satu radiogram dari kantor pusat, yaitu versi kedua. "Saya kira tuduhan itu berlebihan," ujarnya. Lalu dia menunjukkan lembaran telegram yang isinya memang persis versi kedua. Sayang, sumber TEMPO di Polkam tak dapat menunjukkan bukti adanya versi pertama seperti yang dituduhkan. Kalaupun versi pertama dianggap tak ada, menurut sumber itu, telegram versi kedua itu pun bisa dijadikan soal hukum. Alasannya, radiogram itu dianggap dikirim terlalu dini, sebelum laporan kecurangan masuk. Jadi, dinilai tidak dilandasi itikad baik. "Itu menghasut," ujar Sudomo menuding. Bahkan tindakan itu dinilai Sudomo melanggar sebuah pasal UU Pemilu yang diancam hukuman penjara 5 tahun. Tapi Soerjadi bilang tindakan itu bukan tanpa dasar. Dia mengaku telah menerima laporan kecurangan, sebelum mengirim radiogram. Lagi pula, sikap "menolak menandatangani berita acara" bukan muncul dari kepalanya, tapi telah dirumuskan dalam rapat pimpinan PDI April silam, di Cisarua. "Saya hanya menegaskan kembali. Masa, ada kecurangan kita diam saja," ujarnya kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Tentang sanksi hukum yang merujuk UU Pemilu seperti disinggung oleh Sudomo, tampaknya hal itu baru terdengar. Boleh jadi Sudomo, yang dikenal suka humor ini, cuma main gertak. Sebab, kalau UU itu dilaksanakan secara luas, ya bisa berabe. Janganjangan aparat pemerintah pun bisa ikut terjaring (baca Xxxx XXX XXX (Boks)) Putut Trihusodo, Nunik Iswardhani, Dwi S. Irawanto, Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini