SESUAI dengan urutan tanda gambar, PPP, pada masa Pemilu kemarin, selalu tampil nomor satu kecuali dalam perolehan suara. Lihat saja, dalam soal pencalonan presiden, misalnya, pagipagi PPP sudah melontarkan nama Soeharto untuk masa jabatan lima tahun mendatang. Sedangkan Golkar belum menyebutnyebut nama Ketua Dewan Pembina itu sebagai unggulan mereka. Kini, walau penghitungan suara Pemilu belum final, PPP lagilagi berada di depan Golkar. Rabu pekan lalu, setelah rapat selama tiga jam di kantor pusat PPP, di Jalan Diponegoro, Jakarta, pengurus pusat Partai Bintang itu memutuskan menerima hasil Pemilu. Keputusan yang ditandatangani Ismail Hasan Metareum dan Matori Abdul Djalil, selaku ketua umum dan sekjen PPP, dua hari kemudian telah dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri Rudini. Ketua Umum Golkar Wahono, yang melaporkan hal serupa, diterima Menteri Rudini setelah giliran Ismail. Tinggal PDI yang sampai sekarang belum menyatakan kesediaan menandatangani hasil Pemilu secara nasional. Keputusan PPP itu dianggap sementara pihak terlalu buruburu. Soalnya, beberapa pengurus cabang dan wilayah PPP masih berkutat dengan berbagai kasus yang dicurigai sebagai kecurangan dalam Pemilu. Ketika DPP PPP mengeluarkan keputusan menerima hasil Pemilu 1992, DPC PPP Sampang dan DPP PPP Sumatera Barat, misalnya, masih menyatakan menolak menandatangani hasil Pemilu. Dasar penolakan: sebundel laporan tentang bermacam ragam penyimpangan dalam Pemilu lalu. Maka, ketika penandatanganan hasil Pemilu tingkat kabupaten dilaksanakan di seluruh Indonesia, Sabtu lalu, Ketua DPC PPP Sampang, Kiai Haji Hazib Siradj, menolak membubuhkan tanda tangannya. Keputusan itu diambil sang Kiai dan pengurus PPP Sampang lainnya konon setelah melakukan salat istikharah. Kiai Siradj barangkali penasaran dengan tumbangnya PPP di Sampang, yang sejak Pemilu 1977 seakan tak tertandingi. Pada Pemilu kemarin, PPP kehilangan 6 kursi DPRD II Sampang, sehingga tinggal 14 kursi. Keenam kursi itu jatuh ke Golkar, yang sekarang jadi mayoritas dengan menguasai 22 kursi. Maka, tuduhan curang pun melayang dari Sampang. Pada Pemilu kemarin, menurut Kiai Siradj, ada saksi PPP yang dilarang masuk TPS, dan 8 saksi lain diusir dari desa mereka, serta ada "permainan" formulir AB yang dipakai untuk menyoblos di manamana. Ketika DPC PPP Sampang mengumpulkan komisaris dan pengurus cabang, Rabu dua pekan lalu, sebagian ulama beraliran "keras" minta agar ada fatwa untuk melawan yang mereka anggap sebagai kecurangan itu. Usul itu ditolak Kiai Alawy Muhamad, pimpinan Pondok At Taroqqi, Sampang. "Penganut ahlus sunnah wal jamaah dilarang memakai caracara keras," katanya. Melihat sikap DPC PPP Sampang itu, Kamis pekan lalu, Buya Ismail mengirim Matori untuk melunakkan Kiai Siradj agar mau menerima hasil Pemilu. Tapi DPC PPP Sampang masih bersikeras untuk menolak hasil Pemilu di daerah mereka. Tapi, Ketua Wilayah PPP Jawa Timur, Sulaiman Fadeli, masih mengharapkan adanya musyawarah di Sampang demi kepentingan nasional. Di Sumatera Barat, sampai Jumat pekan lalu, juga masih ada 5 dari 14 cabang PPP yang tak mau tanda tangan, dan mengusulkan agar DPP PPP memperjuangkan supaya Pemilu diulang di seluruh wilayah SumBar. Ketika Ketua Wilayah PPP SumBar, Haji Yahya, membawa kesepakatan daerahnya ke Jakarta, Buya Ismail baru saja membuat keputusan untuk menerima hasil Pemilu. Di Padang, semua pimpinan cabang berkumpul di kantor PPP di Purus Lima. Mereka bahkan menginap di sana untuk menghindari kejaran penanda tangan berkas Pemilu. Maka, sewaktu Yahya tiba di Padang membawa edaran DPP PPP, Kamis lalu, kekecewaan merebak di kantor PPP SumBar. "Apa boleh buat. Pengurus pusat sudah menandatangani hasil Pemilu, dan kita harus tunduk," kata Haji Yahya. Hasilnya, Senin pekan ini, sudah semua kabupaten menyatakan "oke" dengan hasil Pemilu. Ada apa dalam tubuh DPP PPP? Menurut sumber TEMPO, keputusan menerima hasil Pemilu digodok cukup alot. Perdebatan cukup sengit. Ada kelompok yang ngotot tak mau menerima hasil Pemilu, sebelum kasuskasus di daerah dibereskan. Ada kekhawatiran, kalau PPP menerima hasil Pemilu begitu saja, kepercayaan daerah akan berkurang pada pengurus pusat. Namun, kelompok lain juga berkeras agar PPP secepatnya menerima hasil itu. Alasannya, perolehan suara, kecuali tambahan dari jemaah haji, praktis tak berubah. Toh PPP sudah meraih 62 kursi naik 1 kursi dibandingkan Pemilu 1987. Kelompok ini mengingatkan, kalau PPP mengambil sikap oposisi, dikhawatirkan akan terulang kasuskasus seperti pada Pemilu 1987. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, menurut sumber TEMPO, akibat PPP menolak menandatangani hasil Pemilu, ada saja calon pengurus yang "dihambat" birokrasi. Akhirnya, Buya Ismail menyimpulkan PPP akan menerima hasil Pemilu. Namun, bila ada pelanggaran yang terbukti, akan diajukan ke pengadilan. Kasus di Gorontalo, contohnya, ada ketua PPS yang sengaja "selip lidah" menyebut hasil coblosan pada partai nomor "satu" dengan nomor "dua". Tapi, kasuskasus begini jumlahnya memang bisa dihitung jari. Kini, sesudah sepakat menerima hasil Pemilu, tugas DPP PPP tinggal menjelaskan berbagai soal yang dicurigai "melenceng" tadi pada pengikutnya atau mengajukannya ke meja hijau. Ini penting, kata Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PPP SumBar, Mochtar Naim, kalau PPP tidak mau kehilangan pengikut dalam pemilu depan. Toriq Hadad, Iwan Q. Himawan (Jakarta), Zed Abidien (Surabaya), dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini