Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peraturan baru mewajibkan semua produk makanan dan minuman punya sertifikat halal.
Ketentuan sertifikasi halal yang kini dijalankan pemerintah menyulut ekonomi biaya tinggi dan rawan korupsi.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal sebaiknya berfokus menandai produk nonhalal.
ANDA punya usaha makanan-minuman? Siapkan tambahan modal hingga puluhan juta rupiah untuk mendapatkan sertifikat halal. Tanpa label halal, suatu produk dilarang beredar dan rumah makan terancam tutup usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mewajibkan kepemilikan sertifikat halal. Pelaksana sertifikasi adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Di era Presiden Prabowo Subianto, lembaga ini tak lagi dinaungi Kementerian Agama, tapi langsung di bawah presiden. Kepalanya Haikal Hassan Baras, pentolan Aksi 212 yang pernah berikrar menjadi oposisi sampai mati siapa pun presidennya. Sebelumnya, saat kewenangannya masih dipegang Majelis Ulama Indonesia, sertifikat halal bersifat sukarela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk tahap pertama, kewajiban ini berlaku bagi produk makanan, minuman, dan sembelihan serta jasa penyembelihan mulai 17 Oktober 2024. Namun, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024, yang terbit tiga hari sebelum masa jabatan Presiden Joko Widodo habis, tenggat itu diundur menjadi 17 Oktober 2026.
Kewajiban sertifikasi halal menunjukkan sifat asli pemerintah sebagai tukang pungut. Tarifnya mulai dari nihil sampai Rp 300 ribu untuk usaha mikro dan kecil, Rp 5 juta buat usaha menengah, hingga Rp 12,5 juta bagi usaha besar atau berasal dari luar negeri. Dengan penerbitan hingga 3,7 juta sertifikat halal per tahun, silakan hitung penerimaan negara bukan pajak yang dihasilkan.
Kebijakan ini mendorong ekonomi biaya tinggi. Daftar di atas sebatas menunjukkan harga sertifikat. Untuk mendapatkannya, diperlukan audit, uji produk, pelatihan, dan lainnya. Sebagai gambaran, satu rumah makan di Bogor, Jawa Barat, ditagih Rp 36 juta. Nilai itu bervariasi tergantung lokasi dan jumlah menu. Hotel yang memiliki restoran dan kafe bisa dikenai Rp 70 juta.
Penambahan komponen biaya ini membuat para pengusaha dalam posisi terjepit. Mereka didesak menaikkan harga, sementara Indonesia sedang dilanda deflasi akibat berkurangnya pendapatan masyarakat. Ujung-ujungnya, tujuan utama sertifikasi halal, yakni memberikan kenyamanan bagi konsumen, tidak tercapai. Sebab, produk halal menjadi tidak terjangkau.
Kebijakan ini pun bisa menghambat inovasi produk. Sebab, label halal hanya berlaku bagi menu yang tersedia saat audit berlangsung. Menu atau varian baru berarti sertifikat baru.
Sertifikasi halal juga dapat memicu praktik haram: korupsi. Celahnya ada saat audit produk dan pemberian izin lembaga pemeriksa halal.
Tempo menerbitkan indikasi kongkalikong pemberian sertifikat halal oleh Majelis Ulama Indonesia pada edisi 26 Maret 2022. Lembaga halal di Victoria, Australia, kedapatan mengirim Rp 4,2 miliar ke rekening yayasan milik petinggi MUI. Sebelumnya, pada edisi 24 Februari 2014, majalah ini menulis tentang perusahaan pemohon izin label halal di Australia yang dimintai uang saku untuk tujuh perwakilan MUI yang datang meninjau lokasi, masing-masing A$ 300 atau sekitar Rp 3,1 juta per hari. Saat mereka pulang, perusahaan memberi sangu A$ 26 ribu—sekitar Rp 269 juta.
Karena sertifikasi halal banyak mudaratnya, majalah ini kembali menyarankan produk nonhalal yang harus disertifikasi. Asumsinya sederhana, hampir semua makanan di Indonesia menggunakan bahan dan diproses secara halal. Hanya sebagian kecil yang tergolong haram, misalnya mengandung minyak babi dan alkohol. Produk-produk itulah yang diberi tanda.
Pemerintah cukup mewajibkan setiap produsen makanan dan minuman mendeklarasikan kandungan zat dalam produknya. Lalu, secara acak, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal memeriksanya. Dijamin praktis dan tidak akan menyulut ekonomi biaya tinggi.