Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA membenci terorisme karena terorisme membolehkan pelanggaran terhadap hak orang lain demi mencapai tujuan. Kita berseberangan dengan para teroris karena mereka tidak mempercayai sistem hukum yang berlaku saat ini dan ingin menggantinya dengan paksa. Kita berbeda dengan mereka, maka sudah seharusnya kita tidak memakai cara-cara mereka untuk memberangus terorisme.
Pada malam tahun baru lalu, Detasemen Khusus Antiteror menembak mati enam terduga teroris di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Di antara mereka terdapat Nurul Haq, yang diduga pemimpin kelompok. Seharusnya ini mencerminkan keberhasilan polisi melumpuhkan teroris berbahaya. Kelompok Nurul Haq diduga berada di balik sejumlah aksi teror, termasuk penembakan polisi. Namun sejumlah pihak mencurigainya sebagai pembantaian para terduga teroris yang sudah terpojok dan tak berdaya.
Menurut seorang komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang meninjau lokasi, terdapat beberapa kejanggalan. Cipratan darah di dinding kamar mandi, misalnya, tak lebih tinggi dari lutut. Artinya, ada kemungkinan mereka ditembak ketika berbaring atau duduk di lantai, bukan berdiri. Jika demikian, diperkirakan mereka tidak ditembak dalam "pertempuran". Sebab, untuk menembak polisi di luar rumah, mereka yang di kamar mandi harus berdiri untuk mencapai lubang angin di bagian atas.
Tentu tak mudah menangkap teroris atau terduga teroris tanpa kekerasan. Di Kampung Sawah, polisi harus mengepung 15 jam, terjadi tembak-menembak, dan kemudian menemukan beberapa senjata api, bom, dan puluhan peluru di dalam rumah. Alasan diserang lebih dulu juga menjadi dalih polisi ketika menembak terduga teroris. Tahun lalu, di luar penggerebekan di Ciputat, ada 20 terduga teroris yang tewas saat digerebek. Hanya penangkapan tiga teroris di Bekasi, Jawa Barat, Agustus lalu, yang terjadi tanpa muntahan peluru.
Polisi tentu berhak membalas tembakan terduga teroris yang hendak ditangkap. Tapi, ketika para terduga teroris itu menyerah, polisi harus kembali ke niat awal penangkapan. Berbeda dengan tentara yang tugas utamanya melumpuhkan lawan, tugas polisi sebagai penegak hukum adalah menjadi bagian dari proses hukum, yang ujungnya adalah pengadilan.
Bagi sebagian orang, proses hukum terhadap para teroris ini tidak efisien. Menangkap terduga teroris hidup-hidup membutuhkan waktu lebih lama dan risiko lebih besar. Di pengadilan, hukuman mereka tak selalu berat. Di penjara, mereka kerap membikin repot, seperti menggalang atau terlibat kerusuhan. Mereka juga kerap "berdakwah", mempengaruhi narapidana lain untuk menjadi militan. Setelah bebas, mayoritas terpidana kasus terorisme kembali aktif menebar teror. Program deradikalisasi yang dilakukan polisi tampaknya kurang berhasil.
Bagaimanapun, polisi harus percaya pada proses hukum. Jika memakai cara-cara teroris untuk menangkap teroris, mereka sesungguhnya menghancurkan diri sendiri. Agar hal itu tak terjadi, polisi atau Komnas HAM harus menyelidiki kejanggalan itu dengan jernih. Jika memang terjadi penembakan ketika para terduga teroris sudah menyerah, kepolisian harus menindak tegas anggotanya yang terlibat. Jika hal itu tidak terjadi, publik juga harus tahu agar kecurigaan tidak menggantung. Ini bukan hanya soal citra polisi, melainkan apakah polisi masih percaya pada proses hukum atau tidak.
berita terkait di halaman 36
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo