Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN banding hakim Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Indar Atmanto, bekas Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2), menunjukkan betapa amburadulnya logika hukum dan hati nurani majelis. Alih-alih mempertimbangkan begitu banyaknya fakta hukum yang meringankan Indar, majelis menggenjot vonis penjara dua kali lipat lebih berat.
Semua fakta yuridis dan kejanggalan yang begitu telanjang terlihat dalam proses pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sama sekali diabaikan. Majelis juga tidak mempertimbangkan fakta sosiologis kasus ini, yaitu dampak vonis itu terhadap masyarakat. Putusan banding itu bukan hanya tidak sesuai dengan rasa keadilan, melainkan juga merusak kepastian hukum bagi penyelenggara jasa telekomunikasi seperti PT Indosat Tbk, induk PT IM2.
Kekacauan logika hukum sudah terlihat sejak Indar diadili di Pengadilan Tipikor. Penerima penghargaan Satyalancana dari Presiden atas jasanya mengembangkan industri Internet ini didakwa menyalahgunakan frekuensi 3G Indosat sehingga negara dirugikan Rp 1,3 triliun. Inilah angka kerugian versi audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam proses penuntutan hingga penyidangan, berbagai kejanggalan muncul. Sangat kuat kesan jaksa memaksakan kasus ini meski bukti tidak cukup. Misalnya ketika jaksa memodifikasi dakwaan, padahal persidangan sudah berlangsung. Semestinya pada saat itu juga hakim menolak tuntutan jaksa karena dakwaan yang berubah secara tidak sah telah cacat hukum. Hasil audit BPKP mengenai kerugian negara itu belakangan dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, tapi hakim tetap tak peduli. Indosat pun terbukti sudah membayar biaya sewa frekuensi, sehingga tak ada lagi unsur kerugian negara.
Kejanggalan berikutnya adalah lemahnya tudingan jaksa. Menteri Komunikasi dan Informatika sudah menyurati Kejaksaan dan memastikan kerja sama penyelenggaraan Internet 3G dan IM2 yang dipermasalahkan itu telah sesuai dengan aturan. Hak negara atas pembayaran pita frekuensi yang dijadikan dasar tuntutan pun sudah dipenuhi.
Semua kejanggalan itu tak pernah digubris. Pengadilan Tipikor pada Juli lalu memvonis Indar hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta. Indosat selaku induk perusahaan IM2 pun dihukum membayar kepada negara Rp 1,3 triliun. Vonis inilah yang diperkuat di pengadilan banding. Hukuman Indar diperberat menjadi 8 tahun. Sebaliknya, Indosat juga tak lagi diwajibkan membayar Rp 1,3 triliun kepada negara.
Logika hukum putusan banding ini pun aneh. Jika majelis berpendapat bahwa yang harus dihukum membayar kerugian negara adalah Indosat, bukan pribadi Indar, mengapa Indar harus menanggung hukuman? Indar bertindak selaku direktur atas nama perusahaannya. Maka seharusnyalah pengadilan ini bukan untuk mengadili pribadi Indar, melainkan perusahaan tempatnya bekerja.
Indar harus melawan putusan banding ini dengan maju ke tingkat kasasi. Para hakim agung semestinya menilai perkara ini dengan jernih. Mereka mesti merekonstruksi perjalanan kasus dari awal, termasuk membuka lagi rangkaian kejanggalan yang tak tecermin dalam putusan di Pengadilan Tipikor dan banding. Dengan putusan kasasi yang jernih dan adil, kita bisa berharap bahwa kasus ini tak akan membuat investor takut terjun ke bisnis Internet gara-gara tak jelasnya kepastian hukum.
berita terkait di halaman 112
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo