Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rezim Represi Setelah Malari

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA 15 Januari 1974 merupakan tonggak yang mempercepat pemusatan kekuasaan Soeharto. Segera setelah tragedi pembakaran yang menewaskan sejumlah orang itu, rezim Orde Baru menggilas mereka yang dianggap berbeda.

Ketika turun ke jalan pada hari itu-bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka-mahasiswa bergemuruh menolak kehadiran modal asing. Tapi, bersama kelompok masyarakat lain, mereka sebetulnya gerah melihat Soeharto yang mulai otoriter dan represif. Orde Baru yang relatif masih muda pelan-pelan menampakkan wajah tak ramah, terutama melalui sejumlah aksi intelijen Operasi Khusus atawa Opsus.

Mengoreksi kekuasaan Orde Lama yang membawa kebobrokan ekonomi, Soeharto memulainya dengan "pembangunanisme". Prinsipnya: pertumbuhan ekonomi digenjot dan karenanya politik harus stabil. Yang terakhir ini dicapai melalui penyederhanaan sistem kepartaian, penerapan prinsip asas tunggal, dan infiltrasi terhadap pelbagai organisasi kemasyarakatan. Tapi stabilitas-kata yang sebenarnya tak berkonotasi buruk-justru menjadi awal malapetaka. Di tangan Soeharto, terma itu berarti aspirasi yang diseragamkan.

Kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap Soeharto itu lalu bergabung dengan mahasiswa pada awal 1974. Gerakan ini mendapat angin dari satu faksi di tubuh militer. Tapi pada saat yang sama faksi lain di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga menyiapkan perangkap buat menghabisi gerakan yang pertama. Skenario ini setidaknya dipercaya oleh Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, dalam bukunya yang diterbitkan setelah pensiun.

Demonstrasi 15 Januari 1974 yang merupakan puncak protes kelompok yang kritis terhadap Soeharto ternyata berakhir tragis. Ketika unjuk rasa belum berakhir, kelompok lain membakar pertokoan di sejumlah tempat di Ibu Kota. Sebanyak 144 gedung, 807 mobil, dan 187 sepeda motor dibakar. Sebelas orang meninggal, 17 luka berat, dan 120 orang terluka ringan.

Waktu membuka banyak hal rahasia di seputar kerusuhan yang kemudian dijuluki Malapetaka 15 Januari atawa Malari itu. Misalnya belakangan terungkap adanya pengerahan massa oleh Operasi Khusus Ali Moertopo yang dilakukan bersamaan dengan demonstrasi mahasiswa. Konspirasi yang merupakan bagian dari persaingan di elite militer pun terkuak. Tapi, bagi Soeharto, Malari membuka kesempatan untuk segera mengukuhkan kekuasaan.

Tak perlu waktu panjang bagi Soeharto untuk menggunakan kesempatan itu. Ia meringkus semua yang dianggap berseberangan dengannya-baik yang terlibat dalam peristiwa itu maupun yang tidak. Menggunakan jaringan Operasi Khusus Ali Moertopo pula, Soeharto menuduh Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi sebagai dalang. Sejumlah orang yang dianggap berhubungan dengan kedua partai itu ditangkap.

Tindakan represif tersebut terus dilembagakan dalam berbagai peraturan dan undang-undang. Pers diberangus dan diawasi ketat. Kegiatan politik menjadi barang haram di kampus-kampus. Partai politik dikerdilkan hanya sebagai pendamping Golongan Karya. Atas nama stabilitas, represi dilakukan untuk menopang kekuasaan Soeharto hingga 24 tahun kemudian.

Tapi otoritarianisme bukan tak mengenal kata akhir. Krisis ekonomi dunia 1997 meruntuhkan rezim yang sejatinya keropos itu. Kejatuhan Orde Baru pada 1998 juga ditandai dengan tragedi berdarah lain yang memakan korban jiwa.

Malari, yang merupakan rusuh politik pertama di era Orde Baru, semestinya menjadi peringatan dini tentang buruknya pemerintah yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat hanya membuat aspirasi meletup dalam bentuk lain: amuk, rusuh, dan amarah. Intrik politik yang tak diselesaikan secara terbuka dan transparan akan melahirkan aksi main tusuk.

Karena itu, reformasi politik 1998 adalah berkah yang tak boleh kita ingkari. Sengkarut ekonomi dan politik memang tak dengan sendirinya pupus setelah rezim represif kita tinggalkan. Tapi, dengan demokrasi, sebuah persoalan bisa diatasi melalui mekanisme yang terbuka dan adil. Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat diperlakukan bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai penyeimbang dan alat koreksi.

Jangan bermimpi mengembalikan Indonesia ke masa lalu. Kemakmuran memang tak bisa dengan ekspres dicapai. Bernostalgia tentang orde Soeharto sebagai era "tata tenteram kerta raharja" adalah wujud pikiran sempit yang mengabaikan sejarah.

berita terkait di halaman 50

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus