Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Intervensi Presiden terhadap Pertamina

Pemerintah tak patut mengoreksi harga elpiji nonsubsidi. Intervensi ini bisa membonsai kinerja keuangan Pertamina.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH seharusnya tak bersikap mendua dalam soal harga elpiji nonsubsidi. Pertamina jelas memiliki hak menentukan sendiri harga elpiji nonsubsidi. Hak ini dinyatakan secara terang-benderang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi sangat keras serta menekan perusahaan minyak dan gas pelat merah itu untuk mengoreksi kenaikan harga dalam waktu 1 x 24 jam.

Tekanan ini menyiratkan amburadulnya manajemen pemerintah. Dalam peraturan menteri itu jelas disebutkan bahwa Pertamina wajib melaporkan penetapan harga baru kepada Menteri Energi. Pada kenyataannya, Pertamina memang sudah melaporkan kenaikan harga itu ke Menteri Energi Jero Wacik dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Sungguh aneh jika Menteri Jero malah mengkritik Pertamina tidak pernah berkoordinasi dengan pemerintah.

Menteri Jero memang berkali-kali menolak permintaan Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi. Sepanjang Juni 2011 sampai Agustus 2012, meski tak wajib, Pertamina delapan kali meminta izin pemerintah untuk menaikkan harga elpiji. Semuanya tak digubris. Namun, dalam rapat umum pemegang saham pada Desember lalu, yang dihadiri para komisaris yang mewakili kepentingan pemerintah, tak ada lagi yang menolak rencana kenaikan itu.

Lebih aneh lagi, Presiden Yudhoyono mengkritik buruknya koordinasi bawahannya itu melalui akun Twitter. Ia seolah-olah ­menjadi penonton yang berdiri di luar ring, bukan orang nomor satu di negeri ini yang bisa menjewer para menterinya kapan saja. Yudhoyono juga tak perlu memperlihatkan reaksi kerasnya secara terbuka seperti sedang unjuk kekuatan, bahkan dengan memberi batas waktu 1 x 24 jam. Akan lebih elegan jika Yudhoyono menyelesaikan persoalan ini secara diam-diam.

Ancaman Yudhoyono sesungguhnya juga tidak bisa dibenarkan. Pertamina tak hanya menangani bahan bakar bersubsidi. Selain menjual elpiji, Pertamina menjual Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex. Setiap bulan, Pertamina menentukan sendiri harganya sesuai dengan perhitungan bisnis-bisa naik, bisa juga turun. Semestinya Pertamina juga berhak menaikkan atau menurunkan harga elpiji sesuai dengan biaya produksi (automatic tariff adjustment). Gara-gara pemerintah memblok terus usul Pertamina, mekanisme tarif otomatis itu tak berjalan di elpiji.

Intervensi pemerintah ini tentu saja mengacaukan perhitungan bisnis Pertamina. Sudah sejak Oktober 2009 korporasi ini tak bisa menyesuaikan harga jual elpiji dengan biaya produksinya. Pertamina mengungkapkan, sejak 2008, merugi Rp 22 triliun akibat elpiji nonsubsidi itu. Audit Badan Pemeriksa Keuangan juga menyebutkan, selama kurun Juni 2011-Agustus 2012, total kerugiannya mencapai Rp 13,8 triliun. Dengan perilaku seperti itu, pemerintah sama saja mengalihkan subsidi ini dari APBN ke Pertamina.

Seharusnya pemerintah mempercepat pembangunan jaringan pipa gas, yang berjalan bagai siput. Pola ini bisa menjadi alternatif untuk harga gas rumah tangga yang lebih murah. Problemnya banyak, antara lain terbatasnya infrastruktur jaringan dan kecilnya pasokan gas pipa untuk rumah tangga. Pemerintah lebih baik mengalokasikan subsidi energi untuk pembangunan gas pipa buat rakyat ini ketimbang mengobok-obok Pertamina.

Wajarlah kalau Pertamina sulit bersaing dengan perusahaan minyak asing. Investasi dan ekspansi korporasi menjadi terbatas karena dananya digerogoti pemerintah, baik untuk subsidi maupun setoran dividen. Sialnya, yang disubsidi untuk elpiji ini ternyata golongan menengah ke atas dan mereka yang menggunakan gas untuk bisnis.

berita terkait di halaman 122

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus