Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENERAPAN keadilan restoratif oleh kepolisian sering kali malah melahirkan ketidakadilan. Hasil penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan banyak kasus kekerasan seksual diselesaikan lewat jalur yang kemudian berhenti di luar pengadilan ini. Sekitar 60 persen di antaranya malah merugikan korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka itu menandakan penerapan keadilan restoratif jauh dari konsep awalnya. Dalam bukunya, Restorative Justice: An Overview, penulis Tony F. Marshall menyatakan keadilan restoratif adalah proses penyelesaian pelanggaran hukum secara kolektif oleh pihak yang terlibat buat menangani akibat pelanggaran tersebut dan implikasinya di masa depan. Konsep ini merupakan alternatif dari keadilan retributif yang lebih menekankan pembalasan kepada pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keadilan restoratif semestinya berpusat kepada korban. Perhatian utamanya adalah menyembuhkan korban dari dampak kejahatan yang terjadi. Pelakunya tetap bisa diajukan ke pengadilan demi menemukan kebenaran. Kenyataannya, penerapan konsep yang mulai digalakkan pada saat kepemimpinan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini tidak mengutamakan korban kekerasan seksual. Bahkan korban cenderung menjadi korban berkali-kali.
Hal ini terjadi lantaran keadilan restoratif acap disalahartikan. Implementasinya pun kerap disalahgunakan terutama oleh polisi, terutama kepada pelaku yang mampu mengendalikan kekuasaan. Mekanisme keadilan restoratif oleh kepolisian ini ujungnya selalu menghentikan penanganan perkara. Pelaku dan korban diminta berdamai dengan imbalan tertentu.
Aparat penegak hukum biasanya menjelma menjadi "juru damai". Tak jarang aparat mengarah ke penyalahgunaan kewenangan, yakni meminta sejumlah uang kepada mereka yang terlibat perkara. Setelah korban dan pelaku berdamai, polisi akan menggunakan surat kesepakatannya buat menghentikan penanganan kasus hukum. Tak hanya polisi, kejaksaan pun telah membuat pedoman serupa untuk menjalankan keadilan restoratif ini.
Baca liputannya:
- Restorative Justice dalam Kasus Pemerkosaan
- Metode Keadilan Restorative Merugikan Korban Pemerkosaan
- Kasus Pelecehan Seksual di Aceh Berhenti Setelah Polisi Memakai Restorative Justice
Bukan hanya andil penegak hukum, di Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, peran kepala adat relatif signifikan. Biasanya para pemangku adat turun tangan mempertemukan korban dengan pelaku. Mereka lalu memberlakukan hukuman berupa denda. Tetua adat malah mengambil sebagian dana denda yang seharusnya untuk korban itu buat mereka. Walhasil, kasusnya pun diredam tanpa proses hukum dan keadilan. Masyarakat atau komunitas terdekat korban turut ambil bagian menjadikan korban sebagai obyek.
Karena itu, dalam penanganan kasus pemerkosaan, polisi seharusnya tak lagi menggunakan jalur keadilan restoratif. Penanganan kasus harus melalui pengadilan supaya korban tak menjadi korban kedua kalinya. Aparat sudah saatnya membuat batasan tindak pidana yang bisa menggunakan jalur keadilan restoratif. Kasus-kasus kekerasan seksual seharusnya tidak diselesaikan melalui jalur ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salah Kaprah Penerapan Keadilan Restoratif"