Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan farmasi mencatatkan penurunan kinerja.
Tidak semua perusahaan farmasi menuai untung di masa pandemi.
Penurunan jumlah konsumsi dan daya beli berdampak pada penjualan produk farmasi.
PENURUNAN IDXHEALTH pada penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia pada Jumat, 13 Oktober lalu, menjadi pertanda lesunya sektor kesehatan dan industri farmasi. Saat itu IDXHEALTH ditutup pada level 1.442,44, turun 0,25 persen dari hari sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut analis PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Andreas Saragih, sepanjang 2022 hingga semester pertama tahun ini, kinerja perusahaan farmasi secara umum masih lemah. “Kami menyematkan netral terhadap sektor ini karena masih ada pelemahan sampai akhir tahun dan perbaikan kemungkinan terjadi tahun depan,” katanya dalam paparan pada Jumat, 13 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andreas mengatakan salah satu penyebab lesunya kinerja perusahaan farmasi adalah berakhirnya lonjakan angka permintaan obat dan alat kesehatan yang sebelumnya terjadi pada masa pandemi Covid-19.
Selain itu, dia menambahkan, daya beli konsumen masih lemah dan di sisi lain terjadi kenaikan biaya bahan baku serta harga bahan bakar bersubsidi sehingga produsen barang konsumen yang bergerak cepat (FMCG), termasuk produsen obat, terpaksa menaikkan harga. Faktor lain yang berpengaruh adalah pergeseran tren pengeluaran konsumen dari belanja obat di masa pandemi menjadi belanja perjalanan, rekreasi, dan kegiatan di luar rumah.
Baca Juga:
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Elfiano Rizaldi mengatakan penurunan jumlah permintaan akibat perubahan pola hidup masyarakat menjadi lebih sehat turut mempengaruhi kinerja perusahaan farmasi.
Menurut dia, perusahaan farmasi mencatatkan penurunan angka penjualan obat flu, batuk, dan demam karena seusai pandemi masyarakat lebih banyak melakukan upaya pencegahan daripada pengobatan. "Karena itu, pascapandemi belum ada pertumbuhan yang signifikan," ucapnya pada Jumat, 13 Oktober lalu.
Suasana pasar obat Pramuka, Jakarta, yang sepi pembeli, 12 Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan
Kondisi saat ini berkebalikan dengan apa yang dialami mayoritas perusahaan farmasi selama semester I 2020 atau masa awal pandemi Covid-19. Saat itu sejumlah emiten Bursa Efek Indonesia di sektor farmasi meraup cuan. Sebagai contoh, laba produsen farmasi dan kosmetik PT Darya-Varia Laboratoria Tbk bertumbuh 22,1 persen. Adapun laba produsen jamu serta obat herbal PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk naik 10,6 persen.
Tapi pertumbuhan laba tak dinikmati perusahaan farmasi milik negara. Sepanjang semester I 2020, pendapatan konsolidasi PT Biofarma (Persero) selaku holding badan usaha milik negara sektor farmasi mencapai Rp 5,79 triliun atau hanya 34,5 persen dari target. Adapun pada semester II 2020 labanya Rp 5,7 triliun, turun dari capaian pada periode yang sama pada 2019 yang mencapai Rp 13,3 triliun.
Ketua Komite Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku GP Farmasi Vincent Harijanto mengatakan, selama masa pandemi Covid-19, kenaikan angka penjualan hanya terjadi pada produk tertentu, seperti obat antiflu dan vitamin. Sedangkan penjualan obat dan vitamin yang tak berhubungan dengan penanganan Covid-19 bernasib sebaliknya. Turunnya jumlah penjualan obat non-Covid-19 menyebabkan permintaan bahan baku obat lesu.
Baca Juga:
Kondisi ini pernah disampaikan Honesti Basyir, mantan Direktur Utama Bio Farma. Dalam rapat kerja dengan Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Oktober 2020, Honesti mengatakan laba Bio Farma menurun akibat kelangkaan pasokan bahan baku farmasi selama masa pandemi Covid-19. Menurut dia, di awal periode pandemi, banyak negara berebut bahan baku obat sehingga harganya naik sampai lima kali lipat harga normal. "Padahal bahan baku obat di Indonesia 90 persen impor," tuturnya saat itu.
Walau ada kenaikan pendapatan saat pandemi merebak, Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai BUMN farmasi tak bisa mencatatkan laba bersih yang tinggi lantaran menanggung biaya operasional yang sangat besar. “Ujung-ujungnya labanya kecil atau bahkan jadi rugi,” ujarnya. Menurut Teguh, kondisi tersebut tidak terjadi pada perusahaan farmasi swasta yang bisnisnya lebih efisien. "Swasta tidak menanggung biaya yang aneh-aneh di komponen pendapatannya. Jadi, kalau pendapatannya naik tinggi, labanya pun naik tinggi."
Para ekonom menilai lesunya kinerja industri farmasi bakal berlanjut sampai akhir 2023. Namun, menurut analis PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Andreas Saragih, perubahan bakal mulai terasa pada tahun depan. "Sebab, ada kebangkitan daya beli yang mendorong pemulihan perusahaan farmasi," katanya. Andreas juga menyebutkan kebijakan pemerintah bakal berperan mendukung pertumbuhan perusahaan farmasi lewat peningkatan anggaran kesehatan dan implementasi Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan.
Secara umum, bisnis farmasi dalam negeri masih memiliki ruang untuk tumbuh. Menurut data Kementerian Perindustrian, nilai pasar industri farmasi meningkat dari Rp 65,9 triliun pada 2016 menjadi Rp 88,36 triliun pada 2019. Jumlah pemain di industri farmasi pun terus bertambah. Sepanjang 2015-2019, jumlahnya meningkat dari 132 menjadi 230 perusahaan. Demikian pula jumlah produsen bahan baku obat, yang naik dari delapan perusahaan pada 2016 menjadi 14 pada 2019.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nasib Industri Farmasi Pascapandemi"