Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tubuh yang berkeping-keping setelah bom meledak, pada kepala yang copot berdarah di tepi jalan itu, apa sebenarnya yang hendak diungkapkan? Pesan apa? Mungkin protes, mungkin keinginan untuk unjuk kemampuan. Tapi makin lama makin terasa bahwa terorisme adalah sebuah langkah bengis di jalan yang tak ada ujung. Semenjak 900 tahun lamanya cara kekerasan itu dipilih sebagai metode perjuangan politik, tapi tiap kali ia tak maju jauh dari sana. Kaum Hashshâshîn memulainya di bukit-bukit Iran di Alamut di abad ke-11, kaum anarkis mencobanya di Eropa di akhir abad ke-19, tapi apa hasilnya?
Pertanyaan itu cepat atau lambat akan merundung mereka yang meledakkan bom di Bali dan Jakarta. Bagaimanakah mereka menilai keberhasilan dan kegagalan kerja mereka? Menghitung jumlah "musuh" yang mati? Ketakutan yang mencekam? Tapi ketakutan yang bagaimana? Ketakutan siapa? Untuk apa?
Dalam balik asap dan destruksi hari itu, satu hal bisa disimpulkan: mereka tak bisa disamakan dengan para pengebom bunuh diri Palestina. Para pelaku teror di wilayah yang kini diperintah Ariel Sharon itu membunuhi warga negara Israel, dengan perhitungan yang buas dengan dasar dendam dan aritmetika: makin berkurang orang Israel, yang bisa dianggap sebagai calon prajurit musuh dan pendukung sebuah kekuasaan yang tak adil, makin baik bagi orang Palestina. Akhirnya jumlah-lah yang akan menentukan dalam keadaan desak-mendesak di tanah yang diperebutkan itu. Dengan kata lain, terorisme di Palestina masih merupakan satu variasi lain dari tema yang dulu: perjuangan pembebasan nasional.
Ikhtiar menegakkan negara sendiri itu berawal sejak empat dasawarsa yang lalu. Tapi si Palestina adalah tinju yang lemah, dan si Israel, dengan bantuan AS, tinju yang jauh lebih kuat. Dalam keadaan asimetri itulah terorisme dipilih sebagai metode?membunuh dan mencederai siapa saja, juga orang yang tak bersalah, agar efeknya meluas dan tujuan politik tercapai.
Metode itu, yang dimulai sejak 1968, ditinggalkan Front Rakyat Pembebasan Palestina empat tahun kemudian karena tak ada hasilnya. Bila siasat itu kini diteruskan dengan cara yang lebih mengerikan oleh Hamas, dasarnya tak berubah: seperti IRA di Irlandia yang meledakkan bom di pelbagai tempat umum di Inggris di tahun 1970-an, seperti yang dilakukan gerilyawan Chechnya hari-hari ini di bawah kekuasaan Rusia, terorisme itu tetap sebuah laku politik, meskipun dengan cara yang amat brutal.
Laku politik bukanlah ibadat. Di sinilah terorisme ala Hamas berbeda coraknya dengan terorisme ala Imam Samudra. Para pengebom di Bali dan Jakarta memperlakukan kekerasan sebagai penyucian. Teriakannya keras menghujat "Amerika", tapi kata "Amerika" itu tak mengacu ke sebuah bangunan kekuasaan di suatu ruang dan waktu. Kata itu telah jadi simbol sesuatu yang dekat dengan Roh Jahat. Perang itu jihad semesta. Dalam pergulatan kosmis ini kemenangan tak ditandai oleh lahirnya sebuah realitas politik baru yang menggantikan realitas politik lama. Pergulatan itu takdis. Kemenangan ditandai mati syahid.
Artinya, aksi teror dilakukan dengan asumsi bahwa sang teroris akan gagal di dunia. Terornya tak dimaksudkan untuk mengubah keadaan asimetri dalam besarnya kekuatan dan pengaruh. Bahkan bom-bom yang meledak jauh dari pusat kekuasaan sang musuh?seakan-akan tembakan dari jarak yang tak bisa menjangkau?dapat dilihat sebagai sebuah penegasan atas ketidakseimbangan yang berlaku: sang teroris akan tampak gagah berani menghadapi Raksasa Jalud. Ia tak membayangkan Amerika akan takluk.
Bahkan ia sebenarnya tak peduli bila negeri itu akan bertambah kuat, ibarat tubuh yang menghimpun antibodi setelah lolos dari serangan penyakit berulang kali. Bukan prioritas sang teroris melihat Amerika lenyap. Ketika dunia tak kunjung jadi suci, akhirnya yang penting bagaimana sang teroris sendiri akan bisa jadi suci, dalam kematian.
Itu sebabnya terorisme seperti ini berbeda dengan gerakan millerianisme revolusioner yang percaya bahwa pada suatu hari dunia akan jadi berubah oleh datangnya Keadilan. Bahkan ada tendensi anti-politik dalam teror di Bali dan di Jakarta: ada sikap mengabaikan kebersamaan, tak ada niat membujuk, sebab bukan dukungan orang ramai yang tampaknya hendak diperoleh.
Tak berarti kaum teroris ini tak membutuhkan orang lain. Tak ada pengertian "suci" dan "syahid" tanpa orang lain menyetujui pengertian itu. Seorang martir menjadi martir karena ada dasar nilai yang diasumsikan telah diakui secara sosial. Apalagi sang teroris harus punya pembenaran atas kematian orang-orang yang tak bersalah, orang yang sebenarnya bukan musuh, ketika bom itu meledak.
Untuk itu beberapa pengertian dipatok: "keadilan" dan "kesucian", yang sebenarnya selalu bisa ditafsirkan dari tiap sudut pandang dan kepentingan, dikancing ketat pemaknaannya, diberi point de caption?dan sebuah ideologi terbentuk, kadang-kadang disebut "agama".
Dengan itulah sang teroris memperoleh keyakinan akan misi dan martabat diri mereka di zaman ini, ketika keyakinan lama kena guncang, ketika ajaran lama megap-megap tertimbun ribuan kata dan makna yang bergerak cepat, berubah cepat.
Dilihat secara demikian, terorisme adalah sebuah usaha untuk tidak tenggelam. Ia mencoba ikut dalam perebutan hegemoni untuk menegakkan patokan pengertian dalam wacana masa kini. Ia membutuhkan pengakuan terhadap kebenaran sudut pandangnya. Tapi untuk itu ia sebenarnya memerlukan bahasa, daya pengaruh ide-ide, bukan hanya suara bom dan jerit kematian. Sebab pada tubuh yang berkeping-keping, pada kepala yang menggelinding lepas di tepi jalan itu, apa sebenarnya yang hendak diungkapkan? Pesan apa yang dapat disampaikan?
Hanya sebuah jalan yang tak ada ujung, yang juga sebenarnya jalan buntu.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo