Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRUDENTIAL Life Assurance tak putus diancam pailit. Setelah memenangi dua gugatan sebelumnya, perusahaan asuransi asal Inggris ini kembali harus berurusan dengan pengadilan niaga. Pekan lalu, mereka kembali digugat pailit karena dinilai lalai membayar biaya iklan Rp 240 juta. Biaya itu berkaitan dengan iklan pengumuman pailit yang diajukan Lee Boon Siong, warga negara Malaysia, yang kemudian dimenangi Prudential.
Kuasa hukum Prudential, Tantawi J. Nasution, mengatakan total biaya iklan di berbagai media massa itu sebenarnya mencapai Rp 400 juta kepada satu perusahaan. Prudential tak membayar karena belum ada persetujuan hakim pengawas. "Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan hakim pengawas harus menyetujui dulu biaya tersebut, baru kami bayar," katanya.
Gugatan aneh dari dua orang yang mengklaim membeli cessie utang dari perusahaan tersebut, kata Tantawi, muncul karena Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan memang memungkinkannya. Pailit bisa tak bicara soal besarnya utang, tapi lebih menekankan pada jumlah kreditor yang lebih dari satu. Ini sering "diakali" orang-orang tertentu dengan memecah utang ke beberapa pihak. Karena itulah, dia mengatakan, revisi terhadap undang-undang itu tak lagi bisa ditunda.
Dengan alasan sama, Komisi Keuangan dan Perbankan, atau Komisi IX DPR, mengebut amendemen undang-undang itu. "Kasus pailit terhadap Manulife dan Prudential mendorong kami melakukannya," kata Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Kepailitan, Faisal Baasyir. Setelah hal itu disetujui untuk dibahas, pertengahan Mei lalu, Komisi IX maraton membahasnya. Setelah tiga hari rapat tertutup di Hotel Sahid, pembicaraan tahap akhir dilakukan Jumat malam pekan lalu di Hotel Hilton. "Rabu ini akan disahkan di rapat paripurna," kata Faisal.
Ia menjelaskan, ada 41 persoalan substansi yang dibahas dan diselesaikan. Salah satunya yang cukup krusial, dan dituding sebagai "pesanan" khusus perusahaan asuransi, adalah tambahan ayat 5 di pasal 2 yang menyatakan kepailitan perusahaan asuransi hanya boleh dilakukan Menteri Keuangan. Ini menutup pintu bagi siapa pun yang ingin mempailitkan perusahaan pengelola dana masyarakat tersebut.
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mengecam upaya DPR di akhir masa jabatannya tersebut. Ketua AAI, Denny Kailimang, kaget amendemen undang-undang itu akan disahkan Rabu ini. Protes dilayangkan kepada pimpinan Komisi IX dan Menteri Kehakiman dan HAM. "Kami minta pembahasan dihentikan saat ini juga," kata Denny dalam surat tertanggal 16 September. Jika amendemen itu tetap digolkan, AAI mengingatkan pejabat pemerintah terkait dan setiap anggota Komisi IX DPR harus bertanggung jawab atas kekacauan dan ketidakpastian hukum karena lahirnya undang-undang itu.
Menurut dia, pembahasannya terlalu dipaksakan. Mulai dari komisi yang bekerja maraton sampai isu duit di balik cepatnya undang-undang tersebut diselesaikan. Apalagi revisi harusnya dibahas di Komisi II, yang memang bertugas melahirkan undang-undang. Ketika diajak rapat umum dengar pendapat dengan Komisi IX, Mei lalu, mereka sudah menyatakan keberatan amendemen dilakukan Komisi Keuangan dan Perbankan. Mereka meminta pembahasan dikembalikan ke Komisi II, yang lebih mengerti materi hukum acara.
Denny mengatakan hasilnya akan sia-sia karena hanya untuk mengejar "target" dan memenuhi "pesanan" pihak tertentu. Dia menduga berat perusahaan asuransi menjadi "motor" utama di balik semua itu. Dia tak keberatan pasal tentang pailit tersebut ditambahkan. Tapi, masalah lainnya juga harus dibahas komprehensif sehingga nantinya tidak menjadi peraturan yang tambal sulam. "Ada target tertentu sehingga mereka lewat jalan tol," ujarnya kesal.
Ketua Dewan Asuransi Indonesia, Hotbonar Sinaga, mengakui mendesak pemerintah merevisi undang-undang tersebut. Tuntutan itu sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Ketika itu, kantor kehakiman berjanji akan membahas pada 2003, tapi tak kunjung terealisasi, sampai muncul kasus gugatan pailit terhadap Manulife dan Prudential. Baru Mei lalu ada pembicaraan serius untuk membahasnya.
Mereka memang meminta persoalan kepailitan hanya boleh dilakukan Menteri Keuangan. Klausul yang juga berlaku di negara lain itu untuk mencegah pihak-pihak tertentu memanfaatkan pengadilan guna membangkrutkan perusahaan asuransi. "Supaya tidak gampang mempailitkan perusahaan asuransi yang mengelola dana publik," katanya. Peraturan itu sudah berlaku pada perbankan dan perusahaan di pasar modal Indonesia.
Faisal Baasyir tak peduli akan kecaman dan isu duit yang menerpa anggota panitia kerja. Katanya, banyak yang berkepentingan terhadap undang-undang tersebut, termasuk para pengacara yang selama ini menjadi kuasa hukum para penggugat. Dewan, katanya, hanya ingin melindungi konsumen yang mempercayakan duitnya di asuransi. "Ini mungkin menjadi lahan bagi para advokat," kata Faisal, yang tidak menuduh semua advokat melakukannya.
Dia mengatakan hanya bekerja berdasarkan fakta, dan tidak ingin memprovokasi. Tapi, pengalaman selama ini, katanya, perusahaan asuransi yang solvent, yang mampu membayar, dengan jebakan-jebakan kecil, digugat pailit ke pengadilan niaga. Ini menyangkut penilaian internasional terhadap hukum di Indonesia dan investasi. "Jadi, tidak ada hubungannya dengan perusahaan asuransi."
Dia akan menanggapi surat protes yang dikirim AAI. Tapi asosiasi para advokat itu juga harus menyadari, mereka tak boleh mencampuri kinerja DPR. Dewan mempunyai aturan baku yang sudah disepakati bersama. AAI tak punya wewenang menentukan komisi mana yang harusnya merevisi undang-undang itu. Komisi yang dipimpinnya juga menjadi pasangan kerja asuransi, lembaga keuangan nonbank yang harus dijaga kepercayaannya. Waktu itu, katanya, dia sudah mengusulkan kepada pimpinan Dewan agar tim pembahas digabung dengan Komisi II. Tapi pimpinan tetap memutuskan, berdasarkan Bamus, hanya Komisi IX yang mengerjakan.
Dia menyangkal keras isu duit di balik semangat 30 anggota Komisi IX yang bekerja siang-malam menyelesaikan undang-undang tersebut, "Tolong, saya akan berterima kasih kalau ada yang bisa menyampaikan dari instansi mana," katanya. "Kalau fitnah, kita akan menggugat kembali. Jangan kami diteror, karena tidak akan mempan."
Leanika Tanjung, Edy Chan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo