Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Penyebab konflik priyayi dan petani

Konflik antara priyayi dan petani bukan hanya karena lambang keagamaan yang berbeda. agama bahkan mungkin bukan akar konflik itu. yang jadi akar mungkin perbedaan posisi dan perbenturan keduanya.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPACARA itu dimulai. Anak bangsawan Banten itu dicukur rambutnya, sampai gundul. Ibundanya sendiri yang melakukan itu. Di dekatnya, seorang membacakan kitab Abda'u. Begitu rampung, si bocah diganti pakaiannya. Ia kini harus mengenakan sarung kasar, baju sangsang putih tanpa kancing--hingga dadanya selalu terbuka-- dan di kepalanya dipasang selingkar destar bersahaja. Si Akhmad, cucu Bupati Pandeglang Raden Adipati Aria Natadiningrat, harus pergi dari rumahnva untuk jadi santri. Ini terjadi dl sekitar 1880-an. Bapaknya, Wedana di Kramatwatu, menekankan agar putranya diperlakukan sama dengan para santri lain -- anak-anak dusun. Demikianlah si Akhmad dibekali beberapa lembar pakaian, sekantung beras, beberapa potong dendeng, dan sebuah kuali tanah. Dan tak seperti biasa dalam hidupnya sehari-hari, ia tak diberi handuk ataupun sabun. Dia juga harus berjalan kaki, sebagaimana layaknya seorang santri, ke Karundang, seraya memanggul tongkat tempat ia menggantungkan bungkusan pakaian serta peralatan dapurnya. Karundang adalah dusun tempat pe santren itu terletak. Saudara sepupu keluarga bangsawan itu juga yang jadi ulama di sana. Kompleks itu terdiri dari sebuah masjid kecil dari batu, yang terletak di tepi sebuah parit. Di samping itu, ada beberapa rumah bambu. Berada di antara 40 orang santri, Akhmad agaknya mengalami guncangan yang tak terlupakan. Memoarnya, Herinneringan Van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Uitgave G. Kolff & Co, Amsterdam-Batavia, 1935),memang tak teramat tajam melukiskan itu. Tapi dari sana cukup tersirat yang ditemuinya dalam kehidupan pesantren nampaknya bukan sesuatu yang indah: Salah satu yang menyebabkannya: para santri itu memusuhi pegawai gubernemen. Pembimbingnya, seorang santri yang lebih tua, selalu meludahkan kata-kata benci bila Akhmad salah melafalkan kata Arab: "Kamu tak akan dapat mempelajari ini! Karena perutmu penuh dengan nasi yang dibeli dengan uang haram!". Bagi para santri, gaji dari pemerintah nyaris najis, dan sebagai anak ambtenaar, Akhmad banyak menderita oleh sikap itu. Para santri misalnya mengolok-olok Bupati dan tuan kontrolir daerah itu sebagai Gareng dan Petruk, dua badut dalam cerita wayang yang satu pendek dan yang lain jangkung. Asisten wedana juga dicemooh pedas sebagai tokoh Pentul--dengan topeng yang belum selesai. Dari pihaknya, Akhmad Djajadiningrat melihat kehidupan pesantren sebagai sesuatu yang sangat berbeda dari kehidupan "di rumah tangga orang bumiputra biasa." Mungkin sekali apa yang disebutnya sebagai "een gewone Inlandsche huishouding" itu hanyalah rumah tangga golongan pegawai gubernemen, dan bukan kehidupan rakyat pada umumnya. Tapi jelas ia mengenang pesantren sebagai sesuatu yang tidak enak. "Tak ada keadaan yang lebih jorok ketimbang pondok pesantren," begitu kesan sang pangeran. Kita tak perlu mempersoalkan, adakah kesan itu benar atau keliru. Hubungan antara si anak wedana yang kemudian jadi bupati ini dengan kaum santri buruk sudah. Dan kiranya di sini yang jadi sebab bukanlah lambang-lambang keagamaan yang berbeda. Bahkan agama mungkin bukan akar dari konflik itu. Yang jadi akar barangkali adalah perbedaan poSisi, dan perbenturan antara keduanya. Tapi lambang keagamaan terkadang sanggup jadi perumus kepedihan dan harapan. Ia bisa jadi semacam bahasa bersama yang baru. Prof. Sartono Kartodirdjo mengungkapkan kenyataan ini dalam studinya tentang radikalisme di kalangan petani Jawa. Jika semula gerakan radikal perlawanan petani cuma mendasarkan diri pada tradisi kebudayaan setempat yang sempit, memasuki abad ini Islam muncul jadi pegangan bersama-karena ideologi nasionalisme modern belum memukau. "Solidaritas pun semakin dirumuskan, bagi massa petani, dalam istilah-istilah Islam", tulis Sartono dalam buku Culture and Politics in Indonesia, "dan musuh kulit putih itu dilukiskan sebagai kafir yang patut dilawan dengan Perang Suci". Sebaliknya, di pibak para bangsawan. yang tak lain adalah para ambtenaar, kepatuhan kepada Sri Ratu merupakan "dasarnya kekesatriaan". Akhmad Djajadiningrat sendiri dengan hormatnya menyebut Ratu Wilhelmina dengan kata "Zij" -- "la" dengan huruf pertama kapital.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus