UPACARA itu dimulai. Anak bangsawan Banten itu dicukur
rambutnya, sampai gundul. Ibundanya sendiri yang melakukan itu.
Di dekatnya, seorang membacakan kitab Abda'u.
Begitu rampung, si bocah diganti pakaiannya. Ia kini harus
mengenakan sarung kasar, baju sangsang putih tanpa
kancing--hingga dadanya selalu terbuka-- dan di kepalanya
dipasang selingkar destar bersahaja. Si Akhmad, cucu Bupati
Pandeglang Raden Adipati Aria Natadiningrat, harus pergi dari
rumahnva untuk jadi santri. Ini terjadi dl sekitar 1880-an.
Bapaknya, Wedana di Kramatwatu, menekankan agar putranya
diperlakukan sama dengan para santri lain -- anak-anak dusun.
Demikianlah si Akhmad dibekali beberapa lembar pakaian,
sekantung beras, beberapa potong dendeng, dan sebuah kuali
tanah. Dan tak seperti biasa dalam hidupnya sehari-hari, ia tak
diberi handuk ataupun sabun. Dia juga harus berjalan kaki,
sebagaimana layaknya seorang santri, ke Karundang, seraya
memanggul tongkat tempat ia menggantungkan bungkusan pakaian
serta peralatan dapurnya.
Karundang adalah dusun tempat pe santren itu terletak. Saudara
sepupu keluarga bangsawan itu juga yang jadi ulama di sana.
Kompleks itu terdiri dari sebuah masjid kecil dari batu, yang
terletak di tepi sebuah parit. Di samping itu, ada beberapa
rumah bambu.
Berada di antara 40 orang santri, Akhmad agaknya mengalami
guncangan yang tak terlupakan. Memoarnya, Herinneringan Van
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Uitgave G. Kolff & Co,
Amsterdam-Batavia, 1935),memang tak teramat tajam melukiskan
itu. Tapi dari sana cukup tersirat yang ditemuinya dalam
kehidupan pesantren nampaknya bukan sesuatu yang indah: Salah
satu yang menyebabkannya: para santri itu memusuhi pegawai
gubernemen.
Pembimbingnya, seorang santri yang lebih tua, selalu meludahkan
kata-kata benci bila Akhmad salah melafalkan kata Arab: "Kamu
tak akan dapat mempelajari ini! Karena perutmu penuh dengan nasi
yang dibeli dengan uang haram!". Bagi para santri, gaji dari
pemerintah nyaris najis, dan sebagai anak ambtenaar, Akhmad
banyak menderita oleh sikap itu.
Para santri misalnya mengolok-olok Bupati dan tuan kontrolir
daerah itu sebagai Gareng dan Petruk, dua badut dalam cerita
wayang yang satu pendek dan yang lain jangkung. Asisten wedana
juga dicemooh pedas sebagai tokoh Pentul--dengan topeng yang
belum selesai.
Dari pihaknya, Akhmad Djajadiningrat melihat kehidupan pesantren
sebagai sesuatu yang sangat berbeda dari kehidupan "di rumah
tangga orang bumiputra biasa."
Mungkin sekali apa yang disebutnya sebagai "een gewone
Inlandsche huishouding" itu hanyalah rumah tangga golongan
pegawai gubernemen, dan bukan kehidupan rakyat pada umumnya.
Tapi jelas ia mengenang pesantren sebagai sesuatu yang tidak
enak. "Tak ada keadaan yang lebih jorok ketimbang pondok
pesantren," begitu kesan sang pangeran.
Kita tak perlu mempersoalkan, adakah kesan itu benar atau
keliru. Hubungan antara si anak wedana yang kemudian jadi bupati
ini dengan kaum santri buruk sudah.
Dan kiranya di sini yang jadi sebab bukanlah lambang-lambang
keagamaan yang berbeda. Bahkan agama mungkin bukan akar dari
konflik itu. Yang jadi akar barangkali adalah perbedaan poSisi,
dan perbenturan antara keduanya.
Tapi lambang keagamaan terkadang sanggup jadi perumus kepedihan
dan harapan. Ia bisa jadi semacam bahasa bersama yang baru.
Prof. Sartono Kartodirdjo mengungkapkan kenyataan ini dalam
studinya tentang radikalisme di kalangan petani Jawa. Jika
semula gerakan radikal perlawanan petani cuma mendasarkan diri
pada tradisi kebudayaan setempat yang sempit, memasuki abad ini
Islam muncul jadi pegangan bersama-karena ideologi nasionalisme
modern belum memukau. "Solidaritas pun semakin dirumuskan, bagi
massa petani, dalam istilah-istilah Islam", tulis Sartono dalam
buku Culture and Politics in Indonesia, "dan musuh kulit putih
itu dilukiskan sebagai kafir yang patut dilawan dengan Perang
Suci".
Sebaliknya, di pibak para bangsawan. yang tak lain adalah para
ambtenaar, kepatuhan kepada Sri Ratu merupakan "dasarnya
kekesatriaan". Akhmad Djajadiningrat sendiri dengan hormatnya
menyebut Ratu Wilhelmina dengan kata "Zij" -- "la" dengan huruf
pertama kapital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini