ENAK juga belajar dari sejarah. Yakni, bila kita membaca The
Lessons of istory karya suami istri Durant sebelum gosok gigi.
Terutama ketika buku tipis itu menyebutkan terbunuhnya Tiberius
Gracchus di Roma, lebih dari 2000 tahun yang lalu.
Adapun Tiberius Gracchus adalah seorang aristokrat yang terpilih
ke tribun rakyat. Ia menjanjikan akan membatasi luas pemilikan
tanah sampai 333 acres. Sisanya--begitu programnya--akan ia
berikan kepada proletariat yang menumpuk di ibukota. Tiberius
Gracchus, dengan kata lain, adalah salah seorang pelopor
terkemuka landreform di zaman kuno -- meskipun pelopor yang
gagal.
Sebab Senat menolaknya. Para orang kaya yang berada di dewan itu
menganggap rencana Tiberius Gracchus suatu tindakan penyitaan
mentah-mentah.
Tiberius pun datang ke rakyat di luar, dan berseru, "Kalian
berjuang dan mati untuk memberikan kekayaan kepada orang lain.
Kalian disebut tuan di dunia ini, tapi tak ada sepotong tanah
pun yang bisa kalian sebut milik kalian sendiri."
Syahdan, ketika pembela si miskin ini berkampanye agar dipilih
kembali ke tribun, ia dibunuh. Dan sejak itu Roma pun terseret
perang dan kekerasan antar si kaya dan si miskin--selama seratus
tahun.
Kenapa semua itu tak bisa dihindari? Kita tidak tahu. Ahli
sejarah yang pandai mungkin bisa menjawabnya. Yang bisa kita
ketahui hanya -- sekali lagi lewat Durant--bahwa hal semacam itu
pernah terhindar di sebuah negeri lain, di sebuah masa lain.
Kita melihat ke Yunani. Athena, di tahun 594 Sebelum Masehi,
adalah negeri yang juga timpang. Kota itu diamdiam membara
dengan kerusuhan. "Perbedaan nasib antara yang kaya dan yang
miskin," tulis Plutarch, penulis awal abad Masehi, yang menyusun
kembali sejarah masa itu, "telah mencapai tingkatnya yang
tinggi, hingga kota itu tampak dalam keadaan yang berbahaya, dan
tak ada cara lain untuk membebaskannya dari huruhara . . .
kecuali kekuatan yang despostis." Athena, dengan kata lain,
berada di ambang anarki. Pilihan berikutnya: kediktatoran yang
sewenang-wenang.
Tapi ternyata itulah yang tak terjadi. Pada saat yang tepat,
tokoh-tokoh kelas menengah memilih Solon,-seorang yang relatif
masih muda, 45 tahun, untuk memegang tampuk pimpinan. Jabatan
resminya tak seberapa penting, tapi di ambang kerusuhan itu ia
diberi kekuasaan seorang diktator untk, bila perlu, meredakan
perang karena konflik sosial.
Solon dipilih, mungkin karena ia tak nampak revolusioner. Dia
keturunan bangsawan yang kemudian terjun dalam bisnis. Konon hal
itu terjadi karena ayahnya menghabiskan tanah miliknya untuk,
dalam kata-kata Plutarch, berbuat "kebaikan bagi orang lain".
Jika itu benar, tokoh kita ini rupanya menurunkan budi orangtua:
ketika ia berkuasa, ia mengumumkan dekritnya yang termasyhur,
Seisachteia.
Dengan dekrit ini dinyatakanlah, menurut sebuah catatan
Aristoteles, bahwa "semua utang yang ada, baik kepada
pribadi-pribadi atau kepada negara, diurungkan". Dengan satu
hentakan, tanah-tanah yang digadai pun bebas. Dan bebas pula
orang-orang yang harus membudakkan diri karena kredit. Mereka
yang telah dijual juga ditebus kembali dan penghamba-sahayaan
itu untuk selanjutnya dilarang.
SUDAH tentu orang-orang kaya marah. Mereka bahkan menuduh bahwa
Solon mengambil keuntungan dengan dekritnya. Sebab memang ada
teman-teman Solon, yang berhasil mendapat info akan diumumkannya
Seisacbteia, cepat-cepat membeli sertifikat gadai tanah-tanah
yang luas--untuk kemudian menikmati milik baru yang telah bebas
itu. Bagaimanapun juga, Solon sendiri seorang jujur. Kemudian
diketahuilah bahwa dia seorang kreditor besar, dan akibatnya
rugi oleh dekritnya sendiri. Tapi ia telah melepaskan Athena
dari bahaya revolusi.
Tak ayal, namanya harum. Tapi pada umur 66, Solon mengundurkan
diri dari jabatan. Ketika ia ditawari untuk jadi penguasa tetap
Athena, ia menolak. Puncak kekuasaan itu, katanya dengan bijak,
adalah "suatu tempat yang sangat lumayan--tapi dari sana tak ada
jalan turun."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini