Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Perbedaan miskin dan kaya

Tiberius gracchus pelopor landreform di zaman kuno, mati terbunuh setelah terpilih lagi sebagai pembela yang miskin di roma. perbedaan nasib yang kaya dengan miskin. pada tingkat tinggi, menimbulkan kerusuhan.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Perbedaan miskin dan kaya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ENAK juga belajar dari sejarah. Yakni, bila kita membaca The Lessons of istory karya suami istri Durant sebelum gosok gigi. Terutama ketika buku tipis itu menyebutkan terbunuhnya Tiberius Gracchus di Roma, lebih dari 2000 tahun yang lalu. Adapun Tiberius Gracchus adalah seorang aristokrat yang terpilih ke tribun rakyat. Ia menjanjikan akan membatasi luas pemilikan tanah sampai 333 acres. Sisanya--begitu programnya--akan ia berikan kepada proletariat yang menumpuk di ibukota. Tiberius Gracchus, dengan kata lain, adalah salah seorang pelopor terkemuka landreform di zaman kuno -- meskipun pelopor yang gagal. Sebab Senat menolaknya. Para orang kaya yang berada di dewan itu menganggap rencana Tiberius Gracchus suatu tindakan penyitaan mentah-mentah. Tiberius pun datang ke rakyat di luar, dan berseru, "Kalian berjuang dan mati untuk memberikan kekayaan kepada orang lain. Kalian disebut tuan di dunia ini, tapi tak ada sepotong tanah pun yang bisa kalian sebut milik kalian sendiri." Syahdan, ketika pembela si miskin ini berkampanye agar dipilih kembali ke tribun, ia dibunuh. Dan sejak itu Roma pun terseret perang dan kekerasan antar si kaya dan si miskin--selama seratus tahun. Kenapa semua itu tak bisa dihindari? Kita tidak tahu. Ahli sejarah yang pandai mungkin bisa menjawabnya. Yang bisa kita ketahui hanya -- sekali lagi lewat Durant--bahwa hal semacam itu pernah terhindar di sebuah negeri lain, di sebuah masa lain. Kita melihat ke Yunani. Athena, di tahun 594 Sebelum Masehi, adalah negeri yang juga timpang. Kota itu diamdiam membara dengan kerusuhan. "Perbedaan nasib antara yang kaya dan yang miskin," tulis Plutarch, penulis awal abad Masehi, yang menyusun kembali sejarah masa itu, "telah mencapai tingkatnya yang tinggi, hingga kota itu tampak dalam keadaan yang berbahaya, dan tak ada cara lain untuk membebaskannya dari huruhara . . . kecuali kekuatan yang despostis." Athena, dengan kata lain, berada di ambang anarki. Pilihan berikutnya: kediktatoran yang sewenang-wenang. Tapi ternyata itulah yang tak terjadi. Pada saat yang tepat, tokoh-tokoh kelas menengah memilih Solon,-seorang yang relatif masih muda, 45 tahun, untuk memegang tampuk pimpinan. Jabatan resminya tak seberapa penting, tapi di ambang kerusuhan itu ia diberi kekuasaan seorang diktator untk, bila perlu, meredakan perang karena konflik sosial. Solon dipilih, mungkin karena ia tak nampak revolusioner. Dia keturunan bangsawan yang kemudian terjun dalam bisnis. Konon hal itu terjadi karena ayahnya menghabiskan tanah miliknya untuk, dalam kata-kata Plutarch, berbuat "kebaikan bagi orang lain". Jika itu benar, tokoh kita ini rupanya menurunkan budi orangtua: ketika ia berkuasa, ia mengumumkan dekritnya yang termasyhur, Seisachteia. Dengan dekrit ini dinyatakanlah, menurut sebuah catatan Aristoteles, bahwa "semua utang yang ada, baik kepada pribadi-pribadi atau kepada negara, diurungkan". Dengan satu hentakan, tanah-tanah yang digadai pun bebas. Dan bebas pula orang-orang yang harus membudakkan diri karena kredit. Mereka yang telah dijual juga ditebus kembali dan penghamba-sahayaan itu untuk selanjutnya dilarang. SUDAH tentu orang-orang kaya marah. Mereka bahkan menuduh bahwa Solon mengambil keuntungan dengan dekritnya. Sebab memang ada teman-teman Solon, yang berhasil mendapat info akan diumumkannya Seisacbteia, cepat-cepat membeli sertifikat gadai tanah-tanah yang luas--untuk kemudian menikmati milik baru yang telah bebas itu. Bagaimanapun juga, Solon sendiri seorang jujur. Kemudian diketahuilah bahwa dia seorang kreditor besar, dan akibatnya rugi oleh dekritnya sendiri. Tapi ia telah melepaskan Athena dari bahaya revolusi. Tak ayal, namanya harum. Tapi pada umur 66, Solon mengundurkan diri dari jabatan. Ketika ia ditawari untuk jadi penguasa tetap Athena, ia menolak. Puncak kekuasaan itu, katanya dengan bijak, adalah "suatu tempat yang sangat lumayan--tapi dari sana tak ada jalan turun."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus