KORUPSI menjadi buah bibir lagi. Media massa melansir berita itu
sejak akhir September dan sampai pekan kemarin berbagai
tanggapan mengenai tindakan melanggar hukum dan moral itu masih
saja bermunculan. Yang mungkin menarik, awal berita tentang
korupsi itu sendiri bukannya muncul karena adanya kelompok
masyarakat yang "turun ke jalan", tetapi justru muncul dari
Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim.
Berbicara di depan rapat kerja Departemen Pekerjaan Umum di
Balai Sidang, Senayan 29 September yang lalu Emil berkata:
"Apabila korupsi dan penyelewengan di Departemen Pekerjaan Umum
dapat diatasi, ini berarti sebagian besar uang negara dapat
diselamatkan. Karena PU merupakan departemen yang paling banyak
menyerap anggaran pembangunan negaradarisemua departemen yang
ada." Seorang staf dari bagian hubungan masyarakat PU
menyebutkan anggaran 1981/82 departemen itu meliputi Rp 761
milyar atau sekitar 12% dari seluruh anggaran pemerintah.
Rapat itu sendiri sebenarnya merupakan rapat tertutup. Emil
Salim kabarnya sampai tiga kali menyebutkan bahwa rapat itu
bukan untuk umum. Toh pernyataannya yang tajam itu tersebar ke
luar dan dimuat di harian Kompas keesokan harinya.
Berita dengan huruf-huruf besar di halaman I itu kemudian dengan
cepat berkembang. Para wartawan yang haus berita beberapa hari
kemudian memanfaatkan pertemuan dengan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (Bapeka) Umar Wirahadikusumah selesai pelantikan dua
orang anggota baru badan pemeriksa keuangan negara itu. Mereka
menanyakah tanggapannya mengenai ucapan Emil. Umar ketika itu
membenarkan ucapan Emil Salim. "Hal ini bisa dibuktikan dengan
data yang ditemukan Bapeka," kata Umar menimpali. Ketika didesak
dengan pertanyaan bagaimana dengan departeman-departemen lain di
luar PU, secara singkat dia menjawab: "Mana ada yang bersih."
Ketua Bapeka itu lantas mengungkapkan, data mengenai adanya
korupsi di PU serta departeman-departemen lain ditemukan sejak
ia menjadi Ketua Bapeka tahun 1973 sampai sekarang. Sekalipun
diakuinya jumlahnya tiap tahun semakin menurun.
Menurt Umar Wirahadikusumah, Departemen PU sebenarnya memiliki
sarana pengendalian keuangan yang lengkap dan mutakhir. Bahkan
di Direktorat Jenderal Bina Marga sudah ada ketentuan yang
disebut Rencana Operasi Keuangan yang kemudian dijabarkan dengan
Keppres 14A. "Jadi kalau sudah dilengkapi dengan sarana yang
demikian, tapi dalam tubuh PU itu masih terjadi korupsi, jelas
hal ini karena mental petugas. Yang menjadi pertanyaan sekarang
apakah perbuatan korupsi itu sudah merupakan hobby atau karena
erosi mental," katanya.
Sudah 8 tahun Umar menjabat Ketua Bapeka, tetapi keterangan
tambahannya untuk sentilan Emil Salim terhadap para pejabat PU
itu, nampaknya merupakan keterangan paling menarik yang pernah
dia berikan. Data-data penyelewengan berbagai departemen menurut
dia secara rutin telah disampaikan kepada Presiden. Juga kepada
DPR.
Pernyataan terbuka yang menghebohkan tentang wabah korupsi yang
menyerang seluruh departemen pemerintah itu rupanya belum
menjadi sikap seluruh pejabat pemerintah. Memberikan sambutan
pada Musyawarah Anur-Kota Seluruh Indonesia 12 Oktober di Gedung
Merdeka Bandung, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud menyatakan
kekesalannya terhadap pernyauan sekitar korupsi tersebut.
"Pegawai yang jujur jumlahnya lebih banyak dari pegawai yang
korup. Ini bisa dilihat dari roda pemerintahan yang masih
berjalan baik. Jika yang korup lebih banyak tentunya negara ini
sudah ambruk," katanya.
Di hadapan sekitar 20Q0 hadirin, Amirmachmud kemudian menahtang:
"Terus terang saja, kalau ada pejabat atau aparat kita di pusat
yang dirinya resah karena melihat adanya korupsi, lapor saja
kepada Pak Harto. Minta berhenti. Bilang sama Pak Harto 'saya
tak sanggup lagi'. Nah begitu 'kan lebih mudah. Tidak perlu
ribut-ribut. " Dia sendiri katanya akan minta berhenti kalau
memang sudah tak sanggup lagi menghadapi korupsi.
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo rupanya perlu turun tangan juga
untuk menjadi penengah dalam "perdebatan tingkat tinggi" itu.
Sehari setelah reaksi keras dari Menteri Dalam Negeri itu Sudomo
datang menemui dan mengadakan pembicaraan selama satu jam dengan
Ketua Bapeka. "Untuk mengecek kebenaran pernyataan Ketua
Bapeka," katanya kepada para wartawan.
Sudomo rupanya menganggap pernyataan yang dilontarkan para
pejabat lain terhadap Ketua Bapeka itu, dilakukan tanpa mengecek
dulu kepada yang bersangkutan. "Seperti sekarang ini, belum tahu
duduk persoalan sebenarnya sudah ada yang memberikan tanggapan.
Jadi makin teganglah kita. Apalagi ini menyangkut korupsi,"
katanya.
Korups memang dianggap masyarakat sbagai momok yang paling
berbahaya di Indonesia. Hasil pengumpulan pendapat TEMPO tahun
lalu- mendukung pendapat ini. Menurut poll tersebut, 36,8%
responden berpendapat yang perlu diusahakan adalah pemerintahan
yang bersih. Selain itu 43,8% responden menganggap korupsi dan
penyalahgunaan wewenang sebagai ancaman yang terbesar dari dalam
negeri. Sebagai perbandingan- hanya 21,6% yang menganggap
bangkitnya kembali PKI sebagai ancaman terbesar (TEMPO, 16
Agustus).
Yang mengeluh mengenai masih banyaknya praktek korupsi bukan
masyarakat Indonesia saja. Minggu kemarin kritik serupa datang
pula dari American Chamber of Commerce (Kamar Dagang AS) untuk
kawasan Asia-Pasifik. Sekalipun tidak menyebutkan angka, dalam
pertemuan empat hari di Hotel Borobudur, Jakarta, Amcham
menyebutkan korupsi masih merupakan persoalan meskipun
pemerintah sudah melaksanakan pembersihan sejak empat uhun yang
lalu.
PRESIDEN Soeharto rupanya cepat tanggap. Hanya beberapa hari
setelah heboh korupsi itu, Presiden memberi petunjuk kepada para
menteri untuk mengumumkan penyelewengan yang telah ditindak di
departemen masing-masing pada setiap apel bendera tanggal 17.
Sekalipun pengumuman tentang penyelewengan itu tidak bakal
menyebutkan nama-nama para pelaku, kecuali tindakan kejahatan
yang dilakukannya, sebagaimana dikatakan Menpan Sumarlin
masyarakat dengan dag-dig-dug menunggu saat penting yang mungkin
bisa dianggap babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi.
Tetapi harapan yang menggelembung itu segera kempes lagi.
Karena pada tanggal 17 Oktober ternyata hanya Kejaksaan Agung
dan Departemen Perdagangan dan Koperasi yang mengumumkan tentang
penindakan terhadap pegawai yang dianggap bersalah. Banyak
instansi lain yang malahan tidak menyelenggarakan apel bendera
dengan berbagai alasan. Dalih yang banyak dikemukakan: instruksi
untuk melaksanakan itu belum diterima.
Jaksa Agung Ismail Saleh dalam upacara bendera itu mengumumkan
62 yang telah ditindak tahun 1980. Sedangkan tahun ini ( sampai
September) sudah tercabut 74 orang. "Mereka dikenakan sanksi
disiplin, tetapi ada juga yang diajukan ke pengadilan," kata
Jaksa Agung yang bertindak sebagai inspektur upacara.
Sedangkan Menteri Perdagangan dan Koperasi dalam upacara serupa
melaporkan kepada para ejabat bawahannya tentang ditindaknya 26
pegawai Kantor wilayah di lingkungan departemen yang dia pimpin.
Tetapi apa jabatan dan berapa besar uang yang mereka gelapkan
sehingga merugikan negara, tidak dijelaskan oleh Ismail Saleh
maupun Radius Prawiro. Hanya dari Yogyakarta diperoleh laporan
bahwa dua dari pegawai yang ditindak oleh Depdagkop itu hanya
pegawai rendahan. "Kedua-duanya dikenakan tindakan muusi lokal,"
kata R. Ismoe Soewarto, kepala Kantor Wilayah Perdagangan
Yogyakarta.
Ismoe menerangkan baha pegawai yang kena tindakan itu "menjadi
korban dari kejujuran mereka sendiri." Sekitar setengah uhun
yang lalu petugas Inspektorat Jenderal Departemen Perdagangan
melakukan inspeksi ke Yogya. Ketika itu pejabat dari pusat itu
menanyakan kepada pegawai bagian perizinan "apakah masih ada
pungutan liar?" Pegawai udi dengan jujur mengatakan: "Memang
masih sering orang-orang yang berkepentingan dengan Surat Izin
Usaha Perdagangan meninggalkan tip dan besarnya tidak lebih
dari Rp 1000," jawab pegawai itu. Pengakuan inilah kemudian yang
menurut Ismoe Soewarto membuat anak buahnya itu kena tindakan.
Bisa dimengerti bila kemudian banyak orang yang kembali
pesimistis pada tekad pemerintah untuk menindak tegas korupsi.
Misalnya yang disuarakan anggota DPR dari Fraksi PP, Rachmat
Muljomiseno. 'Pengungkapan suatu tindakan pidana korupsi\
mempunyai volume dan ruang lingkup terbatas. Sehingga dalam dua
atau tiga kali apel saja sudah habis," katanya. Lagipula untuk
memaparkan nama dan perbuatan seseorang pelaku akan sulit,
sebelum yang bersangkutan selesai dimejahijaukan.
Rachmat juga mengungkapkan membongkar korupsi dapat menimbulkan
rasa dendam. Di samping itu kewajiban moral menjaga nama baik
korps departemen, merupakan unsur yang mempersukar pengungkapan
tindakan korupsi di suatu lembaga pemerintahan. "Menjadi
pertanyaan apakah cara ini akan efektif. Karena kita sering
tidak konsisten dalam banyak hal," sambut anggota DPR yang lain,
Sabam Sirait, Wakil Ketua F-PDI.
Kecemasan bahwa kesetiakawanan korps akan bisa menjadi
penghalang pemaparan korupsi kelihatannya cukup beralasan.
Sekalipun tidak secara langsung membantah keterangan Emil Salim,
dua pekan lalu Menteri PU ad mtenm Cosmas Batubara (Poernomosidi
Hadjisarosa waktu itu sedang berkunjung ke Arab Saudi) mencoba
memberikan gambaran mengenai Departemen PU yang berbeda dari
gambaran yang telah diungkapkan Emil Salim.
"Jika pelaksanaan pembangunan proyek-proyek di Departemen
Pekerjaan Umum tidak sesuai dengan rencana semula, ini tidak
berarti penyimpangan," ujar Cosmas Batubara dalam konperensi
pers yarlg berlangsung di Ruangan Ampera Departemen Pekerjaan
Umum. Sebab, katanya, untuk mencapai hasil yang semaksimal
mungkin, departemen itu menempuh kebijaksanaan optimasi.
"Optimasi dilakukan pada setiap program," kata Direktur Jenderal
Bina Marga, Ir. Suryatin. Dia memberikan contoh jembatan
Megawati di Manado. Direncanakan jembatan sepanjang 110 meter
itu akan selesai dalam dua tahun dengan biaya Rp 700 juta.
Setelah dilakukan optimasi bisa selesai dalam empat bulan tanpa
mengurangi mutu. Sedangkan biayanya hanya Rp 240 juta. Kelebihan
biaya itu kemudian untuk membangun dua buah jembatan lagi oleh
kontraktor yang memenangkan tender semula.
Tetapi apakah optimasi seperti itu bukan penyelewengan? Paling
tidak dalam hal kontraktor yang sama memperoleh kesempatan
mengerjakan dua proyek tambahan, tanpa prosedur tender baru?
Inilah yang antara lain dikritik oleh Emil Salim mengenai
Departemen PU itu. Termasuk penyimpangan mutu seperti yang
terjadi dalam pembangunan rumah dinas bagi Proyek Jalan
BandungPadalarang-Cikampek.
Dibandingkan dengan departemen-departemen lain, menurut Emil
Salim, Departemen Pekerjaan Umum menjadi "juara" dalam hal
banyaknya pengusaha ekonomi lemah yang bukan dari daerah
setempat. "Juara" dengan proyek di bawah Rp 20 juta yang tidak
dikerjakan kontraktor yang semestinya sebagaimana diatur Keppres
14A. PU juga "nomor satu" dalam panjar yang sudah diberikan
lebih satu tahun tapi proyek belum dikerjakan. Jumlah uang
panjar itu mencapai Rp 5 milyar.
Tetapi apakah yang terjadi di departemen yang disorot Emil itu
memang sudah merupakan tindakan korupsi sesuai dengan apa yang
dimaksud dalam UU Anti Korupsi ? Yaitu perbuatan yang melanggar
hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
merugikan negara? "Kalau definisi itu dilihat dari persoalan
yang lebih luas, maka dapat dikatakan demikian," kata Emil Salim
k$pada para wartawan sehabis diterima Presiden Soeharto
pertengahan bulan ini.
Berbagai pihak menyebutkan bahwa pembuktian korupsi atau
tidaknya seseorang sekarang ini hanya soal kepekaan penegak
hukum terhadap tingkah-laku seseorang. "Orang Indonesia kalau
sudah dapat rezeki nomplok tak bisa menahan diri. Lihat saja
bekas Kadolog Kalimantan Timur Budiadji. Dia punya pesawat
carteran sendiri. Mondar-mandir ke Jakarta hanya untuk main
golf," kata seorang pejabat di bidang pengawasan.
SARANA hukum untuk menyidik para pejabat yang dicurigai juga
sudah cukup memadai. Pembuktian secara terbalik secara formal
memang belum ada. Tetapi Undang-Undang No. 3 tahun 1971 yang
mewajibkan tersangka untuk membuktikan bahwa harta bendanya
bukan berasal dari korupsi sebenarnya secara material sudah
merupakan sarana untuk pembuktian terbalik. Untuk menjadikan
niat baik pemerintah menumpas korupsi, Oka Mahendra SH, anggota
DPR dari Komisi 11 yang menangani masalah penertiban aparatur
negara menghimbau agar "pendaftaran kekayaan pribadi" yang
pernah dilansir pemerintah supaya benar-benar pula dilaksanakan.
Partisipasi masyarakat sendiri nam paknya cukup. Ini kelihatan
dari jumlah surat yang masuk ke Opstib. Menurut Pangkopkamtib
dan Ketua Opstib Pusat Sudomo, sejak dibentuknya Opstib tahun
1977 sampai Agustus 1981 surat pengaduan yang masuk dari
masyarakat mencapai 69.600 buah. Memang tidak semua pengaduan
itu bisa dijadikan bahan penyidikan. Tapi paling tidak sekitar
900 buah di antaranya terbukti memang menyangkut korupsi.
Tetapi berapa pejabat lagi yang terlibat dalam tindakan korupsi
dan bisa dimejahijaukan dari hasil pemeriksaan Menteri
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup terhadap 5.700
proyek, meliputi berbagai departemen masih harus ditunggu.
Ketika ditanya mengenai hasilnya Emil meminta supaya bersabar
sampai 6 November mendatang. "Daripada memberi kue setengah
matang 'kan tak enak," katanya kepada TEMPO.
Tetapi nampaknya pengungkapan yang berbobot "kakap" sebagai yang
terjadi dengan manipulasi oleh Kadolog Kalimantan Timur Budiaji
maupun Deputi Kapolri Siswadji tahun 1979 yang lalu belum pasti
akan terjadi. Laporan Emil sendiri harus masuk lebih dulu ke
meja Presiden. Dari sini baru disampaikan ke Kejaksaan Agung
untuk kemudian baru ke mejahijau Masyarakat boleh berdebar-debar
lagi menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini