APAKAH yang bisa kami pertahankan selama 10 tahun ini? Entahlah.
Tapi bila ada yang tetap terpelihara, ialah rasa syukur, bahwa
TEMPO bukan perusahaan perorangan. Tak ada pemilik saham yang
cukup besar di sini untuk mengeruk kekayaan sendiri dan
mempengaruhi isi majalah. Sejak pertama kali terbit, 6 Maret
1971, oleh Yayasan Jaya Raya -- lewat Badan Usaha Jaya Pers --
ia sudah dimaksud untuk dikelola dengan konsep perusahaan pers
yang modern, tapi dengan pemilikan bersama.
Jaya Raya sendiri juga bukan yayasan perorangan, adalah yayasan
yang tidak mencari untung, (non-profit) yang banyak bergerak
dalam bidang sosial: bantuan kepada atletik, sepakbola,
kesenian atau lainnya.
Maksud memakaikan konsep pemilikan bersama, dalam tempo tak
terlalu lama dilaksanakan. Pertengahan 1973 dianjurkan agar
para pengasuh TEMPO membentuk wadah yang akan menjadi salah
satu dari dua komponen yang menerbitkan majalah ini. Maka
berdirilah PT Pikatan, 1974, yang bersama dengan yayasan
kemudian membentuk PT Grafiti Pers -- penerbit TEMPO.
Itulah jalan memberikan separuh saham kepada orang-orang TEMPO.
Dan dari sini pula semua karyawan kemudian berhak atas dividen
-- dari separuh keuntungan Grafiti, sementara separuhnya lagi
untuk membiayai usaha-usaha sosial Jaya Raya.
Dua puluh dua orang yang sudah bekarja untuk TEMPO pertama kali
(termasuk lima orang yang dihargai sebagai pendiri) mendapat
saham pribadi. Satu orang, dengan kategori 'sangat berjasa',
kemudian mendapat pula saham. Sementara sebagian saham
dicadangkan, sisanya diserahkan kepada yayasan karyawan -- yang
untuk sementara dibagikan dalam wujud bonus. Teoritis, semua
karyawan memiliki perusahaan. Dan dalam praktek semua mendapat
bagian keuntungan, sejauh yang bisa diusahakan lewat peraturan
yang ada.
Itu berarti, tentu saja bila Grafiti berkembang, tak ada majikan
yang makin kaya. Memang itulah cita-cita kami: sebuah
perusahaan pers agaknya memang pantas ditumbuhkan sejauh-jauhnya
menjadi pers kuat -- dengan tetap bersandar pada asas pemerataan
kepada karyawannya. Tak banyak manfaatnya pers lemah menjadi
kuat bila tak memasang pemerataan ke dalam tubuhnya terlebih
dulu.
Grafiti kemudian menerbitkan Medika, media farmasi dan
kedokteran, dan Zaman, majalah keluarga. Ada hasil lain:
percetakan, secara kecil-kecilan. Itulah percetakan Temprint.
Dibuka tahun 1978 pada pameran grafika 1979, yang
diselenggarakan oleh Persatuan Grafika Indonesia, hasil Temprint
dinilai sebagai yang terbaik.
Toh kisah TEMPO belum seluruhnya kisah perkembangan. Oplah baru
80.000. Dibandingkan dengan beberapa majalah lain, ini oplah
yang tak terlalu besar. Tentu saja wibawa majalah tidak hanya
dinilai dari jumlah oplah, tapi juga dari kualitas pembacanya.
Namun oplah tersebut masih berada di bawah persentase yang wajar
dari khalayak Indonesia yang terdidik.
Betapa pun, itu menyebabkan rasa syukur 10 tahun tidak
melepaskan kami dari kesadaran akan kesempatan baru, juga
keterbatasan -- bahkan ancaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini