Perguruan Taman Madya Taruna Nusantara (PTMTN). Itulah nama lembaga pendidikan tingkat SLA yang diharapkan dapat menampung remaja pilihan dari seluruh Nusantara untuk dipersiapkan menjadi pemimpin negeri ini (TEMPO, 28 Mei dan 4 Juni, Nasional). Niat Menhankam Jenderal L.B. Moerdani untuk mendirikan sekolah tersebut perlu mendapat pengkajian. Untuk itu, kita bisa mengambil beberapa lembaga pendidikan yang ada sebagai perbandingan. APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri), misalnya. Akademi ini sudah berjalan lama dan menghasilkan sejumlah lulusan. Pendidikan ini memang dipersiapkan untuk menduduki kursi camat. Camat adalah pemimpin negeri sekaligus administrator tingkat kecamatan. Jadi jalurnya sudah tetap dan kongkret. Konsep PTMTN, dengan menitikberatkan pada "pemimpin negeri", masih perlu dijabarkan secara riil. Perlu diberi sifat di samping memberikan warna sekaligus menonjolkan identitas. Pemimpin negeri yang mana? Misalnya, orang menyebut "ayam". Tentu, ada yang bertanya, ayam yang mana? Sebab, sebutan ayam masih menimbulkan asosiasi pikiran kita kepada, misalnya, ayam potong, bagi orang yang berkecimpung di bidang ayam potong. Atau, ayam jago, bagi mereka yang senang ayam aduan. Atau pula, ayam babon, bagi ibu-ibu yang senang memelihara ayam kampung untuk diambil telurnya, dan lain-lain. Jadi, istilah ayam itu belum kongkret. Setelah diberi sifat, barulah kita mengetahui apa dan bagaimana ayam yang dimaksudkan itu. Selama ini, universitas, akademi, serta institut di samping mencetak manusia cerdas, intelektual dalam bidang ilmu, setidaknya, secara otomatis adalah calon-calon pemimpin negeri. Dan dengan terbukanya kesempatan meraih pendidikan tinggi di negara Indonesia bagi seluruh warganya, kiranya sudah cukup kemungkinan untuk memilih manusia-manusia terampil berdedikasi tinggi untuk menduduki pos-pos penting sebagai pemimpin negeri. Kita tak perlu khawatir, memang, oleh kemungkinan SMA Plus itu mendominasi kedudukan penting di Indonesia. Namun, bentuk sekolah PTMTN itu belum jelas. Bukankah para calon muridnya harus melalui saringan ketat? Dan bagaimana pula setelah tamat? Bukankah mereka akan bebas memilih perguruan yang memang sudah bertebaran: universitas, akademi, institut? Itu berarti, orang-orang yang dipersiapkan sebagai pemimpin negeri itu kehilangan identitas. Bukankah para tamatan yang berpredikat "pemimpin negeri" sebagai bibit unggul itu berbaur dengan mahasiswa biasa bukan bibit unggul? Ini jelas merupakan dilema. NYONYA ELYA MUSIRLAN Swedish Trade Office PO Box 6957 Jeddah 21452 Arab Saudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini