Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Damai Masih Impian

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA rekonsiliasi di Poso, Sulawesi Tengah, masih harus menempuh jalan panjang dan berliku. Belum lagi upaya Tim Rekonsiliasi memberikan hasil yang memuaskan kelompok Islam dan Kristen yang sedang bertikai, ganjalan sudah datang. Selasa pekan lalu, kantor Tim Rekonsiliasi Poso dibom, walau memang aksi yang terjadi pada pukul 22.15 WIT itu tidak menghancurkan bangunan di Jalan Pulau Bali tersebut. "Ada kelompok yang tidak suka kepada upaya Tim Rekonsiliasi," kata Kadispen Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Agus Sugianto. Tim Rekonsiliasi itu sendiri dibentuk oleh Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Rully A. Lamajido, Juni silam. Tujuan tim yang beranggotakan lima orang—dua orang dari pihak Islam dan Kristen dan satu anggota TNI—adalah mencari titik temu di antara kedua kelompok. Lantas, kelompok mana yang tidak menginginkan damai ada di Poso? Tidak jelas. Hingga Jumat pekan silam, polisi masih belum menemukan titik terang otak pelaku teror bom rakitan itu. Kendati demikian, sumber TEMPO dalam tim itu mengaitkan teror tersebut dengan munculnya usul darurat sipil di Poso. Dua pekan lalu memang muncul gagasan agar ada darurat sipil di Poso. Suara itu muncul setelah konflik di daerah itu tidak kunjung padam. Tim Rekonsiliasi pimpinan Kolonel Gumyadi itu seperti angin lalu dan tidak membantu memperbaiki kondisi. Bentrok senjata masih saja terjadi, seperti di Desa Uwelene, Kecamatan Pamona Selatan, pada 18 Juli lalu. Sekitar satu jam, Kelompok Merah dan Putih baku tembak. Tercatat, 2 penduduk tewas dan 8 lainnya luka parah. Pembunuhan biadab pun masih berlangsung. Pada 21 Juli lalu, misalnya, Hanafi Maganti, Kepala Sub-Dinas Bidang Jasa dan Konstruksi di Pemda Poso, ditemukan tewas dengan luka bacok di sekujur tubuhnya. Seminggu sebelumnya, tiga transmigran ditemukan tidak bernyawa—dengan tubuh penuh luka—di Desa Pandalangi, Kecamatan Petasia. Konflik agama Poso itu semakin sulit dipadamkan setelah ada indikasi pihak luar ikut "bermain". Pada 17 Juli lalu, umpamanya, Polres Palu berhasil menggagalkan upaya pengiriman 4.500 butir peluru berbagai ukuran. "Menurut pengakuan lima orang pembawanya, amunisi itu akan dikirim ke Poso," kata Kapolres Palu, Ajun Komisaris Besar Djasman Baso Opu. Ketegangan yang berkelanjutan ini membuat DPRD Sul-Teng menggelar sidang paripurna, Selasa pekan lalu. Mereka membahas kemungkinan diberlakukan darurat sipil di Poso. Usul itu dikemukan wakil dari Fraksi TNI/Polri. "Darurat sipil perlu diberlakukan untuk memberi payung hukum kepada pihak aparat keamanan," kata Bambang Setiawan, juru bicara Fraksi TNI/Polri, kepada Darlis Muhammad dari TEMPO. Pandangan yang sama dikemukakan Fraksi PDI Per-juangan. Menurut juru bicaranya, Muharram Nurdin, status itu diperlukan untuk mencegah me-lebarnya wilayah pertikaian. Namun, tidak semua wakil rakyat setuju. Fraksi Partai Golkar dan Islam Kebangsaan, misalnya, menolak gagasan itu. Menurut Firman Maranua, juru bicara Golkar, tugas penting pemerintah adalah mencegah masuknya provokator dari luar. Setelah berdebat panjang lebar selama tiga hari, sidang memutuskan darurat sipil belum saatnya diberlakukan di Poso. Ada-tidaknya darurat sipil, konflik di Poso harus segera dihentikan, untuk mencegah bertambahnya korban jiwa dan kerugian materi. Data resmi menyebutkan, kerusuhan yang melanda sejak Juni lalu itu—fase ketiga—telah menelan 33 jiwa penduduk. Sedangkan kerugian materi tercatat 700 rumah terbakar dan 5 rumah ibadah luluh-lantak. Korban itu belum termasuk derita 3.200 penduduk Poso yang kini hidup dalam pengungsian. Kerusuhan Poso lanjutan itu memang tidak bisa dilepaskan dari rentetan konflik agama. Setelah pertikaian periode pertama Desember 1998, konflik kembali meletus pada April 2000, yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Data resmi yang dikeluarkan Pemda Sul-Teng, di luar konflik Juni 2001, ada 246 orang tewas, 3.522 rumah rusak total, dan 13 rumah ibadah hancur lebur. Aceh PENEMBAKAN itu dilakukan secara membabi buta. Lokasinya di kawasan Afdeling VI PTP I, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Kamis, 9 Agustus lalu. Siapa penembak dan korbannya, bervariasi, tergantung siapa yang menyuarakannya. Menurut juru bicara Forum Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan Aceh (Fomapak), Arief Ramadhan, yang jadi korban adalah 31 warga sipil. Katanya, kejadiannya bermula sekitar pukul 05.00, ketika kelompok GAM menyerang pos aparat keamanan yang bermarkas di Afdeling IV PTP Nusantara I Julok. Dalam penyerangan ini, beberapa personel TNI tewas. Pihak TNI marah. Pada pukul 9.30 pagi, pasukan TNI datang dan melakukan penangkapan warga di sekitar lokasi pertempuran. Warga desa ini, menurut Arief, digiring ke suatu tempat, lalu ditembaki. Atas insiden ini, GAM dan TNI saling melempar tuduhan. Juru bicara GAM wilayah Peureulak, Ishak Daud, mengatakan, korban tewas yang dibantai pihak TNI berjumlah 27 orang, sedangkan 8 lainnya mengalami luka kritis. Mereka yang tewas ditembak, menurut Ishak, merupakan warga sipil, termasuk dua wanita dan seorang bocah tujuh tahun. Sementara itu, Komandan Satuan Tugas Penerangan Kolakops TNI, Letkol CHB Firdaus, membenarkan telah terjadi kontak senjata di wilayah Julok, Aceh Timur. Walau Firdaus mengaku belum mengetahui kronologi kejadian secara pasti, ia mengklaim bahwa pembantaian itu dilakukan anggota GAM. Bandung CERITA tentang warga yang kulitnya gatal-gatal setelah mandi di sungai yang tercemar sudah banyak terdengar. Namun, yang dialami 150 warga dari lima desa di Kecamatan Cicalengka dan Majalaya lebih dari gatal-gatal. Kulit mereka mengelupas, melepuh, dan bahkan tersayat hingga berdarah setelah mandi di Sungai Citarik. Musibah ini terjadi pada Selasa minggu lalu. Tak lama setelah nyemplung ke sungai, penduduk merasa tubuhnya panas. Ketika kulit digosok, yang terlihat adalah gulungan kulit yang terkelupas. Warga melaporkan kejadian ini pada ketua RT dan pihak kepolisian. Curiga bahwa pencemaran berasal dari PT Inti Texterindo Megah, menjelang siang, warga mendatangi perusahaan. Untunglah, tidak terjadi insiden apa pun. Pihak perusahaan memenuhi tuntutan warga dan membawa korban ke rumah sakit terdekat, yakni RSU Ebah Majalaya dan RSU Cicalengka. Menurut Kapolres Bandung, Ajun Komisaris Besar Bagus Kurniawan, soda kaustik yang masuk aliran Sungai Citarik ini memang berasal dari PT Inti Texterindo Megah. Karena itu, malam itu juga polisi meminta pemilik pabrik menutup sementara aktivitas produksi. Keterangan yang dihimpun TEMPO menyebut bahwa soda kaustik disimpan perusahaan secara manual. Tidak sembarang karyawan bisa mengambil zat ini dari tangki. Setiap hari, perusahaan menggunakan soda kaustik 6-7 ton. Bagaimana soda kaustik itu nyelonong ke sungai? Petugas kepolisian menduga ada kerusakan dalam sistem penyimpanan. Kapolres Bandung menyebutkan, tangki yang biasanya diisi soda 7 ton, entah kenapa, pada hari tersebut diisi hingga 22 ton. Menurut Bagus Kurniawan, kemungkinan karena melubernya zat cair yang melebih kapasitas tempat itulah yang meluapkan soda kaustik ke aliran sungai. Kendari PASAR Sentral Mandonga, Kendari, Rabu pekan lalu dipenuhi orang. Muka mereka beringas. Sekitar 2.000 orang itu bukan berbelanja, tapi sedang kalap. Mereka mengamuk dan menghujani puluhan toko milik WNI keturunan Cina dengan batu. Warga yang rumahnya di belakang toko tak menerima tindakan itu dan melakukan perlawanan. Acungan badik dan parang bertaburan dengan hiruk-pikuk massa dan lemparan batu. Aparat keamanan dari Polres Kendari yang berjumlah dua SSK segera turun ke lapangan. Kapolres Kendari, Sumaryoto, meminta bantuan Kodim 1417 Haluoleo. Barulah, setelah pasukan TNI yang berjumlah 1 SSK ditambah dengan satuan Brimob tiba, massa mulai bisa dikendalikan. Kerusuhan ini dipicu oleh berita tentang adanya perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan istri pemilik bengkel Citra Nusa Motor, Yuliani. Wanita keturunan ini menganiaya ketiga pembantunya yang bernama Hima, Diyoba, dan Siti. Ketiganya warga Desa Latompa Maligano, Kabupaten Muna. Menurut Hima, suatu hari tangannya disetrika oleh Diyoba atas suruhan Yuliani. Diyoba terpaksa melakukan perbuatan biadab itu karena, jika menolak, dialah yang akan disiksa. Selain disetrika, telinga Hima pernah ditusuk gunting hingga berdarah, sedangkan Diyoba pernah ditusuk pisau pada lututnya akibat terlambat mengepel lantai. Perlakuan lebih sadistis dialami Siti. Ia dilecehkan dengan cara memasukkan batang singkong ke alat kelaminnya. Kekejaman Yuliani terungkap ketika La Oji dan La Were, ayah Siti dan Hima, menjenguk anaknya. Merasa terpukul ketika menyaksikan bekas siksaan di tubuh anaknya, kedua orang ini membawa anaknya keluar dari rumah tersebut. Peristiwa penyiksaan ini kemudian tersebar dan memicu amarah massa. Yuliani, 36 tahun, yang tengah hamil delapan bulan, dan Syarif, suaminya, kini meringkuk dalam rumah tahanan Polres Kendari untuk diperiksa. Keduanya mendapat penjagaan superketat. Dua hari setelah amuk massa, aktiv-itas masyarakat di Kendari kembali normal. Denpasar IDA Bagus Oka harus meneruskan indekos di LP Kerobokan, Denpasar. Hal ini menyusul ditolaknya gugatan praperadilan pada mantan gubernur Bali dan Menteri Negara Kependudukan di era Habibie ini. Kasus korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 miliar ini berawal ketika Oka mendirikan Yayasan Bali Dwipa (YBD) untuk mencari dana bagi kepentingan olahraga. Selaku Gubernur Bali, ia mengeluarkan SK yang mengizinkan YBD menjual stiker ke pembayar pajak kendaraan bermotor pada tahun 1994-1996. Pada 1998, terungkap adanya ketidakberesan penggunaan dana dan kemudian menjadi bahan penyelidikan Kejaksaan Tinggi Bali. Kasus inilah yang menyeret Oka ke LP Kerobokan. Oka, melalui kuasa hukumnya, Suryatin Lijaya, kemudian mengajukan gugatan praperadilan. Isinya, Oka meminta agar kasus itu tidak disidangkan, dirinya dibebaskan dan mendapat ganti rugi sedikitnya Rp 5 miliar. Malang bagi Oka. Senin minggu lalu, Wayan Sugawa, hakim tunggal gugatan praperadilan, menolak gugatan tersebut. Sidang gugatan praperadilan itu sendiri diwarnai aksi pengerahan massa. Hal ini menjadikan persidangan selalu ramai. Ada massa pendukung Oka, ada pula Masyarakat Anti Korupsi (MAK) Bali, yang selalu hadir untuk memantau persidangan kasus ini. Johan Budi S.P., Agus Hidayat, dan kontributor daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus