BERITA pers Indonesia, yang dalam beberapa bulan terakhir ini terasa agak membosankan, kini mulai menari lagi. Setidak- tidaknya bagi seorang ilmuwan politik, yang menginginkan santapan berita hangat sebagai teman minum kopi setiap pagi. Yang paling menonjol adalah kegiatan Menteri Negara Ristek B.J. Habibie, yang muncul di mana-mana seperti tokoh wayang yang melayang terus antara Astina, Amarta, dan Kayangan. Di bidang ekonomi, ada pembelian kepal laut dari Jerman dan kapal udara dari Inggris, berikut usulannya untuk menjual saham BUMN di luar negeri. Di bidang politik, namanya disebut-sebut mendukung seorang calon gubernur di Sumatera Utara dan calon Ketua Umum Golkar. Yang mengejutkan adalah undangannya kepada orang-orang Petisi 50 untuk mengunjungi PT PAL. Berita ABRI tidak kurang menarik. Jenderal Edi Sudradjat, yang diperkirakan oleh sebagian besar pengamat dalam dan luar negeri akan bertahan satu tahun lebih, ternyata cuma tiga bulan menjabat rangkap Menteri Hankam dan Pangab. Ketika menjabat Pangab, Jenderal Edi menegaskan hak dan hasrat ABRI untuk mengajukan calonnya sendiri dalam Munas Golkar nanti. Masih menjadi tanda tanya, apakah Jenderal Feisal dengan kebijakan back to basics-nya akan mempertahankan keputusan ini. Sebagai ilmuwan politik, saya bertanya: berita ini sebaiknya diletakkan dalam kerangka apa? Hampir semua komentar yang saya baca memasukkannya ke dalam kotak analisa yang punya label ''suksesi''. Misalnya pendapat teman saya Harold Crouch, yang baru-baru ini menulis artikel dengan tema suksesi di majalah Australia The Independent Monthly. Saya sendiri, beberapa hari yang lalu, memberikan kuliah di Foreign Service Institute, sekolah State Department di Washington. Kepada para diplomat muda yang sebentar lagi akan bertugas di Jakarta, saya menjelaskan bahwa periode ini bisa dicap sebagai the last chapter, babak terakhir masa bakti Presiden Soeharto. Maksud saya dalam tulisan ini bukan untuk menyangkal pendapat rekan-rekan, apalagi menampik kerangka kuliah saya sendiri yang masih segar di benak. Tetapi, ada perspektif lain yang mungkin perlu dikemukakan dan direnungkan. Singkatnya, saya mau mempertentangkan perspektif suksesi yang memandang perkembangan politik dari sudut lapisan kedua para pemain, seperti menteri dan jenderal, dengan perspektif lapisan pertama, yaitu Presiden Soeharto sendiri. Di bidang ekonomi, Presiden Soeharto menghadapi dua tantangan besar. Kebijaksanaan deregulasi yang dijalankan sejak pertengahan tahun 1980-an berhasil mencapai laju pertumbuhan dan peningkatan nilai ekspor secara cukup baik. Tetapi pertumbuhan tidak sama dengan pembangunan sebagai tujuan ideal. Pembangunan ideal, barangkali menurut sebagian besar bangsa Indonesia, juga mencakup dimensi-dimensi ''kemodernan'' dan pemerataan. Kemodernan berarti pekerjaan yang layak bagi manusia di abad ke-20 dan ke-21, yaitu pekerjaan yang lebih menggunakan otak daripada otot. Tak kalah penting, upah untuk pekerjaan itu harus dapat menopang gaya hidup kelas menengah. Pemerataan tentu berarti hak setiap orang untuk menjadi pekerja modern. Kelemahan politik Presiden Soeharto di bidang ekonomi terletak di sini. Banyak orang Indonesia menganggap serangkaian keputusan deregulasi yang diambilnya selama ini kurang memperhatikan, apalagi memecahkan, masalah-masalah modernisasi ekonomi dan pemerataan hasil pertumbuhan. Dalam rangka itu, saya cenderung melihat kegiatan Habibie sebagai salah satu bukti usaha Soeharto untuk mengatasi, secara ekonomis dan/atau politis, tantangan kemodernan. Pengangkatan Ginandjar Kartasasmita sebagai Ketua Bappenas bisa juga dilihat dalam konteks ini. Menteri Ginandjar kiranya ditugasi Presiden untuk menangani masalah pemerataan, yaitu mencari kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang diharapkan dapat menaikkan tingkat hidup orang miskin. Oleh karena itu, mungkin sekali beliau akan menjadi salah satu pemain penting dalam Kabinet Pembangunan VI. Bagaimana dengan susunan pimpinan baru di kalangan ABRI? Sejak hari-hari awal Orde Baru, kekuatan politik yang menentukan di Indonesia adalah ABRI. Siapa saja yang mau menguasai negara dan masyarakat harus lebih dulu menguasai ABRI. Dengan berbagai tindakan selama seperempat abad lebih, Presiden Soeharto telah membuktikan bahwa dia meresapi sedalam-dalamnya kenyataan itu. Hanya jenderal yang tepercaya pada zamannya yang dipilih sebagai pemimpin tentara. Pengangkatan Jenderal Feisal dan juga Letjen Wismoyo Arismunandar sebagai KSAD merupakan langkah yang konsisten dengan sejarah ini. Akhir kata, perlu ditekankan bahwa saya pun memaklumi hubungan tak terpisahkan antara kejadian-kejadian politik dewasa ini dan masalah suksesi. Presiden Soeharto sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-72, dan pada suatu waktu nanti jabatannya pasti diserahkan kepada orang lain. Tetapi itu tidak berarti bahwa waktu itu sudah dekat, atau bahwa semua tindakannya sekarang harus dianalisa melalui lensa suksesi belaka. Mungkin saja beliau sendiri menggunakan lensa lain. *)Guru Besar Ilmu Politik, The Ohio State University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini