Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAIKNYA kita mengabaikan apa pun kegaduhan yang mungkin dilancarkan calon presiden Prabowo Subianto setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi. Sudah waktunya dipikirkan benar mengurus hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Siapa saja yang berpikiran sehat bisa memulainya dengan berupaya merukunkan pendukung kedua kubu demi mendinginkan suhu politik.
Bukan berarti hak Prabowo dan pendukungnya untuk terus mencari "keadilan" mesti dihalang-halangi. Di negara hukum ini, jalan apa pun bisa ditempuh sepanjang salurannya tersedia. Tapi buat apa, umpamanya, melanjutkan "perjuangan" dengan menggugat putusan Komisi Pemilihan Umum ke pengadilan tata usaha negara, sementara pengadilan itu-sesuai dengan undang-undang-tidak mempunyai kewenangan memeriksa sengketa pemilu di pusat ataupun daerah.
Selain pengajuan gugatan ke Mahkamah, langkah apa pun tak bakal signifikan hasilnya. Sesudah hakim konstitusi mengetukkan palu, pertunjukan selesai. Tak ada lagi langkah hukum yang setara atau lebih tinggi kedudukannya yang bisa dilakukan. Bagi Prabowo, opsinya tinggal mengakui kekalahan dan menghentikan segala absurditas yang bahkan membuat sebagian pemilihnya, menurut survei Lingkaran Survei Indonesia, bersikap antipati.
Ketidakberesan itu terasa sistematis. Sejak KPU mengumumkan hasil pemilihan presiden, 22 Juli lalu, aneka tindakan, pidato, dan pernyataan yang jumpalitan muncul dari hari ke hari. Sebagian orang semula mengabaikannya, tapi belakangan mulai banyak yang khawatir. Jika "pertunjukan" itu diterus-teruskan, tenaga dan pikiran hanya dikerahkan untuk kesia-siaan. Bukankah lebih bermanfaat mengajak rakyat mengurus aneka persoalan yang jauh lebih mendesak di negara ini.
Ketika Prabowo menyatakan "menarik diri dari proses yang sedang berlangsung" pada saat pemungutan suara baru dilaksanakan, barangkali orang masih bisa mengakuinya sebagai hak Prabowo. Orang juga masih bisa melihat tindakan-tindakan Prabowo kemudian sebagai "jeda yang menghibur"; itu sebabnya media sosial berlimpah-ruah dengan ekspresi yang mengolok-olok permainan "presiden-presidenan" ala Prabowo dan pendukungnya. Tapi semua yang muncul belakangan justru semakin merendahkan nalar, tak terkecuali yang berkaitan dengan gugatan ke Mahkamah.
Dalam rangkaian proses terbuka di Mahkamah itu, publik mula-mula dihadapkan pada porak-pariknya berkas gugatan. Isi berkas tampak hanya merupakan hasil penyalinan yang ceroboh dari berkas kasus lain. Pada saat yang sama, dalam perdebatan di berbagai media, para pengacara Prabowo selalu tampak kebingungan menopang argumentasinya, meski terus-menerus ngotot dengan nada tinggi.
Puncak dari semua itu adalah akting kedodoran para saksi yang dibawa ke sidang. Penampilan mereka sekadar menggarisbawahi satu hal: semua tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif memang sangat tidak beralasan.
Persidangan memperlihatkan dengan gamblang betapa bukti-bukti yang diajukan tak segigantis dan semeyakinkan yang digembar-gemborkan. Semua bukti gagal menopang poin-poin yang diperselisihkan. Di antara yang ditolak Mahkamah, ada tuduhan mengenai pemilih yang dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu, terutama di daerah yang jumlah pemilih khusus tambahannya besar. Bukan saja nihil bukti, dalam kenyataannya ada daerah dengan jumlah pemilih khusus yang besar justru dimenangi Prabowo, seperti Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Dalam konferensi pers setelah sidang terakhir Mahkamah, kubu Prabowo menyatakan menerima putusan majelis hakim. Tapi di balik sikap ini terbaca keberatan dan niat untuk terus beperkara. Mereka menegaskan masih akan berupaya menempuh saluran hukum, bahkan politik-sebuah tekad bernada ancaman yang bisa sangat kontraproduktif bagi jalannya Republik mendatang.
Pernyataan itu mengingatkan kita pada tekad yang sejak awal dikemukakan Prabowo dalam wawancara dengan satu media asing: kalah bukanlah pilihan. Tapi, karena secara konstitusional kekalahannya sudah disahkan, keengganannya mengakui kemenangan lawan semakin terlihat sebagai tindakan melayani ego semata.
Prabowo sebenarnya punya pilihan yang lebih baik: menghentikan semua aksi dan mengawal jalannya pemerintahan lewat parlemen. Jika dia mengambil langkah di luar itu, biarlah dia dan pengikut setianya yang menanggung segala konsekuensi. Lewat pemilihan presiden ini, publik semestinya bisa mendapat pelajaran tentang praktek bernegara yang bermartabat. Dia melewatkan kesempatan itu. Barangkali tak lama lagi orang ramai bakal memilih melupakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo