Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEROBOH betul Kementerian Kesehatan saat mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi. Munculnya pasal kebolehan melakukan aborsi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 itu memancing kontroversi. Kisruh pasal itu menunjukkan betapa pemerintah tak menyiapkan aturan ini dengan matang.
Peraturan yang baru ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli lalu itu sebenarnya patut dihargai. Setelah berbilang tahun menggodok, sejak Undang-Undang Kesehatan lahir pada 2009, pemerintah akhirnya merampungkan aturan yang melindungi pasien dalam soal kesehatan reproduksi, dari sebelum kehamilan hingga setelah melahirkan. Dalam aturan itu, contohnya, disebutkan setiap perempuan berhak mendapat pelayanan kesehatan sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat.
Hanya, aturan bagus itu tersandung pasal legalisasi aborsi. Dalam Pasal 33 disebutkan aborsi dibolehkan bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau akibat pemerkosaan. Soal akibat pemerkosaan inilah yang memantik kemarahan. Kalangan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia senewen lantaran aturan itu dianggap bertentangan dengan sumpah dokter, yang mewajibkan mempertahankan kehidupan, termasuk janin.
Sejumlah kelompok masyarakat dari berbagai daerah juga memprotes, di antaranya Majelis Ulama Indonesia dan Persatuan Gereja Indonesia. Dalam pandangan mereka, pasal aborsi tersebut bisa menjadi "jalan tol" bagi remaja yang ingin menggugurkan kandungan. Remaja cukup mengaku diperkosa, maka aborsi pun legal. Itulah yang dicemaskan banyak kalangan.
Angka pengguguran kandungan tanpa alasan medis di negeri ini memang sudah mencapai level mengerikan. Penelitian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menunjukkan tren praktek aborsi meningkat sekitar 15 persen tiap tahun. Tahun lalu diperkirakan ada 2,5 juta orang melakukan aborsi. Dari jumlah itu, 30 persen adalah remaja belum menikah.
Sangat menyedihkan bila Kementerian Kesehatan tak menyadari akibat dari "lubang besar" dalam pasal aborsi itu. Pasal tersebut amat mudah diselewengkan. Klinik-klinik aborsi yang selama ini beroperasi "di bawah tanah" bisa menjadi "meriah" lantaran aturan hukum yang mudah dikadali. Padahal Undang-Undang Kesehatan menyebutkan tindakan medis ini mesti dilakukan oleh tenaga kesehatan yang punya keahlian dan kewenangan. Itu pun harus melalui pertimbangan tim ahli, ada persetujuan ibu hamil, suami, dan keluarganya, serta dilakukan di sarana kesehatan khusus.
Seharusnya PP Kesehatan Reproduksi ini memuat aturan yang lebih rinci tentang aborsi. Bila memang ingin melindungi korban pemerkosaan, perlu ada rambu-rambu untuk memastikan bahwa pemohon aborsi legal sungguh-sungguh korban pemerkosaan. Misalnya dibuktikan dengan visum dari polisi. Kebolehan itu juga semestinya didahului penetapan oleh tim yang berwenang, yang terdiri atas keluarga korban, dokter, dan polisi.
Sikap masyarakat yang mendua terhadap aborsi semestinya membuat pemerintah lebih berhati-hati. Selama ini ada gerakan pro-life, yang menganggap janin mempunyai hak hidup. Tak ada peluang secuil pun untuk melakukan aborsi. Ada lagi gerakan pro-choice, yang menganggap perempuan berhak menentukan apa pun di tubuhnya. Dari sudut pandang agama, keabsahan aborsi juga bisa melahirkan debat tiada akhir.
Agak sulit melegalkan atau melarang sama sekali praktek aborsi di negara ini. Karena itu, pengaturan terinci perlu dibuat untuk menghindari moral hazard para dokter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo