Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Pesantren di ketiak berlin

Di berlin, tumbuh umat islam yang eksklusif, yang komitmennya terbatas pada syariat, dan mendirikan pesantren, serta fobi terhadap kelompok lain. ini berbeda dengan pertumbuhan umat islam di indonesia. (kl)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Pesantren di ketiak berlin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADA anggapan munculnya pesantren pada mulanya karena proses kolonisasi diri. Hadir suatu kekuatan dari luar, Belanda, yang tak mampu dihadapi secara langsung dan dalam skala besar, maka perlu melarikan diri ke "dalam". Fenomena sanggar atau padepokan bergabung dengan satu-satunya kemungkinan itu. Di periode sekitar Kemerdekaan baru muncul pesantren yang mulai menyerap "nilai modern", dan baru sekitar sepuluh tahun belakangan kita dengar ada pesantren yang mengaitkan diri dengan problem sosial-ekonomi-budaya masyarakat luas. Di Berlin Barat, saya bertemu dengan kilasan wajah pesantren abad silam. Putra putri kita, di sana, masuk ke suatu lingkungan yang pasti membuat mereka merasa terancam. Kepekaan utama adalah pada segi moralitas: di Berlin, di mana saja pun, engkau dikepung minuman keras, gambar telanjang, ketemu cewek di jalanan, di kafe, di disko, di stasiun kereta bawah tanah, dan engkau bisa seret perempuan ke kamarmu semudah beli rokok eceran. Apalagi kalau engkau ke Berlin Timur: asal engkau bawa rokok Dunhill atau celana jeans, cewek-cewek negeri sosialis yang segalanya serba seragam dan diatur itu akan tersenyum. Belum lagi kalau mau membeli ayam atall daging apa pun apa engkau yakin ia disembelih dengan bismillah? Belum lagi kalau terserimpung mereka yang di pos-pos punkers, para pemadat yang selalu mengindentikkan orang Asia dengan narkotik, atau dijebak kelompok homo. Alhasil, putra putri Muslimin Muslimat mesti diselamatkan. Maka, mereka bikin kelompok, satu di antara banyak kelompok mahasiswa Indonesia di kota ini. Diadakan pengajian rutin, studi Islam rutin, dakwah kepada anggota-anggota mereka sendiri. Tumbuhkan suatu lingkaran komitmen yang eksklusif, stereotip, sektarianistik. Tumbuh fobi kepada kelompok-kelompok lain, prasangka kepada siapa pun yang tak sama. Tumbuh sikap sosial yang gampang terjebak pada dikotomi Muslim-kafir-musyrik, bahkan oleh indikasi yang amat sepele. "Engkau jangan bargaul dengan mahasiswa yang suka ke disko, sebab getaran ma'shiat akan menimpamu." Seperti, nun di waktu silam, "Engkau jangan main sepak bola, itu olah raga Belanda, Belanda itu kafir, maka sepak bola kafir." Alhasil, orang-orang lain yang berdiri di seberang lapangan moralitas Islam disebut "musuh utama". Lingkungan masyarakat Berlin sendiri, dari segi itu, adalah jahiliah. Namun, hutan munkar itu pohon-pohonnya terlampau besar, dan berakar dalam, sehingga tak mungkin terlawan - maka cukuplah bikin "negara" sendiri, "pesantren" sendiri. Umat Islam biasanya terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, yang dunianya terbatas pada lingkaran syariat eksklusif. Kedua, yang mulai menerjemahkan nilai Islam ke dalam sistem dan tatanan sosial, tapi belum memiliki daya modifikasi untuk penerapannya dan hanya menemukan cara yang mencuat, yang radikal. Dan ketiga, yang sudah mencobakan proses "islamisasi" terhadap watak lingkungan dan ritme perubahan. Kelompok Berlin Barat itu tergolong dalam nomor pertama. Sebabnya, seperti mereka akui, tingkat pendidikan keislaman mereka memang terbatas. Kedua, mereka seperti tak tinggal di Berlin, tempat begitu banyak informasi dan pengalaman kebudayaan dunia bisa mereka peroleh, untuk menemukan bagaimana Islam semestinya melihat dan berbuat terhadap suatu lingkaran yang sangat kompleks. Di Klaten, atau di Jember, saya biasa mendengarkan kelompok umat Islam yang sibuk hendak merajam para pelacur dan membubarkan kompleks resosialisasi tunasusila tapi sungguh saya tak pernah mengharap akan menjumpai suatu cara berpikirpartial macam itu di Berlin. Sungguh tak terbayangkan bahwa di kota unik seperti Berlin terdapat kelompok Muslimin yang mengukur dunia yang luas dari sebuah bilik eksklusif. Di berbagai universitas di Indonesia, di belakang remaja-remaja masjid, di pengajian, bahkan di kota-kota kabupaten, saya melihat berbagai kegiatan intensif untuk "menggali nilai Islam", untuk disodorkan ke dunia alternatif yang luas tapi di sebuah kota metropolitan kelas utama terdapat alam pikiran pesantren abad silam. Di Indonesia kini cukup subur pertumbuhan sikap pluralistik di kalangan umat Islam, karena menyadari problem abad ini tidak bisa diselesaikan dengan cara saling membenci di antara kelompok manusia, dengan fobi-fobi, dengan prejudis emosional. Perbedaan ideologi, paham politik, selalu memang menumbuhkan intrik-intrik - dan itulah yang terjadi di kalangan putra putri kita di Berlin. Jika disebut salah satu dasar falsafah Islam adalah "mencintai saudara-saudaramu seperti mencintai dirimu", maka barangkali amat sukar menemukan pencerminan cinta kasih itu di tengah pergaulan nilai di kota metroplitan seperti Berlin. Toh kita, di era sejarah mutakhir kita, punya Pesantren Pabelan, Tebuireng, Gontor, yang ramah. Sesungguhnya, kita merindukan kedewasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus