PENDETA S.A.E. Nababan punya kalimat ampuh untuk menenangkan peserta muktamar akbar yang kecewa. "Mulak ma hamu di bagasan dame dohot holong ni roha." Pulanglah kalian dalam damai dan kasih. Ucapan eforus -- pucuk pimpinan -- itu meluncur pukul 06.05 WIB, 2 Agustus 1990 lalu. Maka, secara resmi Sinode Godang Ke-50 Huria Kristen Batak Protestan yang sedianya akan berlangsung 1-7 Agustus tersebut -- batal. Sekjen HKBP Pendeta O.P.T. Simorangkir segera meneruskannya ke barak-barak penginapan sekitar 700 calon peserta Sinode yang telanjur membanjiri Pematangsiantar. Air mata sempat meleleh ketika itu. Tapi tak seorang pun melontarkan protes. Dengan tenang, mereka menjinjing kopor, lalu angkat kaki. Padahal, beberapa hari setelah surat Kapolri turun pada 28 Juli, mereka masih berusaha mencari jalan. Pada 31 Juli, misalnya, Simorangkir memimpin rapat di Kompleks FKIP/STT Universitas Nommensen, untuk membahas materi Sinode. Belum lagi usai, tiba-tiba muncul Lettu. A. Tambunan, Kasat Intelpam, didampingi Kepala Kantor Sospol Siantar Letkol. J. Lumbantoruan. Lettu. A. Tambunan minta agar rapat dihentikan. Tambunan juga membacakan nota Gubernur Sumatera Utara tertanggal 30 Juli 1990. Isinya mempertegas surat Kapolri tentang penangguhan Sinode dan melarang penyelenggaraan rapat-rapat. Sekjen Simorangkir menurut, bahkan bersedia menandatangani pernyataan "tidak akan mengadakan rapat HKBP dalam bentuk apa pun". Tetapi, sikap itulah yang menyebabkan Nababan naik pitam. Buru-buru dia menemui Muspida setempat, memohon agar diizinkan mengadakan rapat. Muspida setuju asalkan dibatasi cuma di pimpinan pusat. Materinya pun harus diarahkan untuk menjelaskan penundaan Sinode. Nababan tak berkutik. Tanggal 2 Agustus, secara resmi dia mengumumkan penundaan. Kendati tidak ada protes, pihak HKBP terus mencari alasan mengapa Kapolri menurunkan surat penundaan. Mungkin karena belum memperoleh jawaban, kini muncul berbagai spekulasi. Misalnya: Penangguhan itu terjadi lantaran ada campur tangan orang HKBP yang jadi orang penting di pemerintahan. Konon, sebagian besar menyandang pangkat jenderal. Disebut-sebut, misalnya, Jenderal (Purn) M. Panggabean, Mayjen. Hasudungan, Mayjen. Haposan Silalahi, Mayjen. Mulia Panjaitan, A.E. Manihuruk, Laksamana Muda Dr. F.M. Parapat. Kabarnya, kelompok jenderal itu pernah menyelenggarakan dua kali diskusi di Hotel Sari Pacific -- untuk menilai kepemimpinan Nababan. Pertama berlangsung pada 22-30 Desember 1989, dilanjutkan lagi pada 12 Januari 1990. Berbekal diskusi itu, pada 18 Januari, mereka menemui Nababan di Sumatera, setelah lebih dahulu mendirikan Forum Komunikasi Ruas HKBP di Jakarta. Hasil pertemuan dengan Nababan dituangkan dalam sebuah "buku biru". Menurut sebuah sumber, mereka menuduh Nababan tak becus mengurus organisasi. Terbukti dengan adanya pemecatan sejumlah pendeta, sintua-sintua, yang mengakibatkan kemelut HKBP berkepanjangan. Lebih dari itu, Nababan dinilai berniat mengubah "konfesi HKBP" -- sebuah pengakuan iman untuk jemaat. Lalu, selain menuntut agar Nababan mundur, mereka meminta agar kemelut itu dimasukkan dalam agenda acara Sinode. Kalau tidak, mereka akan meminta Kapolri turun tangan. Sejauh mana isu itu benar? Baik Nababan maupun M. Panggabean tidak mau menanggapi. Jawabannya justru datang dari Pendeta F.M. Simatupang, Direktur Yayasan Lektur HKBP, kendati tidak menyebut adanya keterlibatan para jenderal. Simatupang menegaskan, sebenarnya Nababan bukannya bermaksud mengubah konfesi, tetapi cuma ingin menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi saat ini. Kalau tidak, katanya, HKBP mustahil bisa hidup di negara Pancasila. "Sebab, isinya menolak Katolik, Islam, dan Gereja-Gereja di luar HKBP," ujar Simatupang. Priyono B. Sumbogo, Sarluhut Napitupulu, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini