NASAR sering berpikir untuk meletakkan jabatan. Posisinya sebagai Kepala Desa (Kades) Sungai Buluh Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman Sum-Bar, justru sering membuatnya pening. Kehadirannya seperti tak dianggap sebagai pemimpin warga. Padahal Nasar, 50 tahun, telah mencoba bersikap baik kepada semua warganya. Hasilnya? Silakan lihat program jamban keluarga yang diperkenalkan Kades: para warga bisa mengambil kloset dan semen gratis, lalu memasangnya di rumah. "Tapi mereka -- lebih suka membiarkan semen itu membatu di kelurahan," kata Nasar. Nasar tak sendirian. Banyak kades di Sum-Bar yang tak berdaya menghadapi warganya--. Rupanya, kades masih tetap kalah pamor dibandingkan ninik-mamak dan penghulu adat. Kenyataan itu dibuktikan oleh tim peneliti dari Universitas Andalas (Unand), Padang, yang turun ke Sungai Buluh. Tim itu mengadakan serangkaian wawancara dan menyebarkan angket di desa berpenduduk sekitar 1.000 jiwa itu. Hasil penelitian itu digelar dalam lokakarya, di desa itu juga, bulan lalu, yang dihadiri oleh para pejabat Pemda Padang Pariaman, pimpinan Unand, dan tokoh masyarakat setempat. Kesimpulan penelitian: ternyata 96% responden menyatakan hormat dan patuh atas segala keputusan ninik-mamak dan penghulu adat. Tak mengherankan 90-% responden mengaku lebih merasakan kepemimpinan pen-ghulu adat ketimbang kades. Peranan penghulu adat itu tampak dominan dalam urusan perkawinan, pengelolaan harta, dan kegiatan sosial lain. Alhasil, tanpa anjuran tokoh adat itu, warga Sungai Buluh enggan berobat ke puskesmas, atau soal yang tadi -- membuat jamban keluarga. Kades, menurut Drs. Alfan Miko, sekretaris tim peneliti, tak bisa banyak berbuat tanpa restu dari para tokoh adat itu. Celakanya, antara kades dan tokoh-tokoh informal itu belum terjalin mesra. Akibatnya, kades dan perangkatnya itu hanya berperan sebagai petugas administrasi, yang mencatat soal cacah jiwa, KTP, surat nikah, atau surat jalan. Instruksi kades hanya laku untuk urusan kerja gotong-royong. "Tapi itu pun bukan indikasi kepatuhan kepada kades," ujar Alfan Miko. Sebab, 64% dari mereka mengaku berpartisipasi karena punya kepentingan langsung dengan kerja bakti itu. "Diperintah atau tidak, kami akan datang. Kalau tidak, siapa lagi yang akan memperbaiki surau atau saluran air," ujar seorang penduduk. Memang sulit untuk mengatakan bahwa semua desa Sum-Bar mengalami nasib seperti Sungai Buluh. Tapi sosiolog Unand, Dr. Mochtar Naim, mengaku menangkap sinyalemen terjangkitnya kerancuan dan dualisme kepemimpinan di hampir semua desa di Ranah Minang. Keadaan itu, menurut Mochtar, berlangsung sejak diberlakukannya UU No. 5/1979 yang menghapuskan kenagarian. Nagari, dulunya, diakui sebagai kesatuan wilayah hukum adat yang dipimpin oleh wali nagari. Pemimpin adat ini diakui pula sebagai pejabat formal, sebagai administratur pemerintahan tingkat terendah. Namun, untuk keseragaman, kanagarian itu dihapus, dan diganti dengan sistem desa. Dari 543 nagari yang ada ketika itu, dengan 3.131 jorong (dusun), dimekarkan menjadi 3.138 desa, termasuk di dalamnya beberapa desa transmigran. Tapi karisma kades tak bisa menandingi pendahulunya. "Karena sebelumnya mereka hanya pesuruh wali nagari," kata Fahmy Rasyad, Asisten Pemerintahan Pemda Sum-Bar. Lantas kasus seperti di Desa Sungai Buluh itu jamak terjadi. Maka, Mochtar Naim mengusulkan agar sistem kenagarian dikembalikan. "Itu bukan untuk nostalgia dengan kejayaan sistem nagari, tapi untuk kepentingan pembangunan." Putut Trihusodo dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini