Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRADISI penamaan rupabumi atau toponimi, seperti nama jalan, daerah, dan sungai, mengenal istilah nama komemoratif (commemorative name). Ini jenis penamaan untuk unsur rupabumi, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia, berdasarkan nama tokoh tertentu. Washington, DC, misalnya, merupakan nama komemoratif ibu kota Amerika Serikat sebagai bentuk penghormatan bagi presiden pertama negeri itu, George Washington.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2002, Kelompok Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penamaan Geografis (UNGEGN) menerbitkan resolusi penggunaan nama orang untuk nama unsur rupabumi. Indonesia meratifikasinya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Menurut peraturan ini, penamaan rupabumi mesti “menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat lima tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia”. Tujuannya adalah menghindari konflik kepentingan dan potensi pengultusan orang yang bersangkutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktanya, berbagai pelanggaran terus terjadi, baik penggunaan nama orang yang masih hidup maupun yang meninggal tapi belum genap lima tahun. Sebagai contoh, di Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Stadion Papua Bangkit diubah namanya menjadi Stadion Lukas Enembe, yang merujuk pada nama bekas Gubernur Papua yang saat itu masih hidup. Di Jakarta Utara, Gelanggang Olahraga Rorotan diubah menjadi Gelanggang Olahraga Sekda Saefullah pada September 2021. Nama baru itu merujuk pada Saefullah, Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang meninggal pada September 2020.
Maoz Azaryahu, dalam artikelnya mengenai nama komemoratif di buku Critical Toponymies (2016) suntingan Lawrence D. Berg dan Jani Vuolteenaho, menyatakan bahwa nama komemoratif “mengomunikasikan representasi resmi dari tatanan sosiopolitik penguasa, meski seolah-olah tampak terpisah dari ranah ideologi politik”. Praktik penamaan acapkali berkaitan dengan keberpihakan politis, bahkan politik balas budi. Penggunaan nama Presiden Uni Emirat Arab Syekh Mohamed bin Zayed (MBZ) sebagai nama jalan tol layang Jakarta-Cikampek adalah bukti politik balas budi pemerintah Indonesia atas penggunaan nama Joko Widodo pada jalan di Abu Dhabi yang merupakan perayaan hubungan bilateral kedua negara.
Jauh sebelum itu, di Belanda, nama sejumlah tokoh Indonesia dijadikan nama jalan oleh pemerintah setempat, seperti Kartinistraat, Mohammed Hattastraat, dan Sjahrirstraat. Namun nama Sukarno tidak pernah digunakan. Realitas ini menegaskan bahwa Belanda punya pandangan ideologis dan politis yang berbeda terhadap Sang Proklamator.
Sikap politis dalam penamaan rupabumi juga tampak ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengganti nama jalan, gedung, dan zona di Jakarta dengan 22 nama tokoh Betawi pada 2022. Begitu pula dalam perubahan nama jalan di Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya yang menyimbolkan rekonsiliasi konflik kultural-historis antara suku Sunda dan Jawa setelah Perang Bubat. Pada 2017, pemerintah Yogyakarta mengganti nama Jalan Ring Road Utara dan Jalan Ring Road Barat menjadi Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi yang merepresentasikan kesundaan. Pada tahun yang sama, kebijakan tersebut disambut pemerintah Bandung dengan mengubah nama Jalan Gasibu dan Jalan Cimandiri menjadi Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk yang bernuansa Jawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Politik Penamaan Rupabumi"