Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM pertemuan dengan Xi Jinping pada 2018, Donald Trump mengatakan telah muncul upaya mengubah konstitusi Amerika Serikat yang selama ini membatasi masa jabatan presiden sebanyak dua periode. Kabar ini ditulis dalam buku Gideon Rachman, The Age of the Strong-Man: How the Cult of the Leader Threatens Democracy around the World (2022).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Rachman, kebohongan Trump itu menunjukkan hasrat otokratiknya agar bisa berkuasa seperti Xi di Cina. Maka kita bisa mengerti keterlibatan Trump dalam serangan massa menggagalkan kemenangan Joe Biden di Gedung Parlemen Washington pada 6 Januari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebesaran Amerika yang digadang-gadang Trump sesungguhnya mencerminkan hasrat megalomania. “Hanya saya yang bisa memperbaiki semuanya,” katanya pada 2016. Ia juga mengatakan keinginannya menjadi diktator satu hari saja kalau nanti dilantik lagi. Ia mengaku akan mengatasi masalah pengungsi dari Meksiko dengan cara pamungkas: “Bangun dinding pembatas!”
Zeynep Tufekci mewawancarai 100 pemilih Trump dan mencatat dalam kolomnya di The New York Times edisi 16 Januari 2024 bahwa Trump dianggap sebagai pemimpin yang kuat, tak tergoyahkan, serta ditakuti negara-negara lain. Segala caci maki Trump pun dianggap autentik. Ekonomi Cina yang makin merangsek, tak tergoyahkannya Vladimir Putin di Rusia, serta hilangnya pekerjaan orang putih Amerika karena kehadiran imigran seolah-olah bisa diatasi dengan memberi dukungan kepada Trump.
Sekalipun para psikolog Amerika berkali-kali menayangkan analisis bahwa Trump tak sehat mental, tetap saja ia menang dalam pemilihan internal Partai Republik. Psikolog John Gartner mengungkapkan kemunduran kognitif Trump dan tabiat kompulsifnya, tapi tetap saja ia menang beruntun di Iowa, lalu New Hampshire. Gaya populis berpolitik Trump telah menguasai medan kampanye Amerika, yang membuatnya seolah-olah mahasempurna.
Bahkan kelompok konservatif yang disebut “nasionalis Kristen” mendukungnya secara penuh. Sekalipun mereka tahu Trump pernah meremas alat kelamin perempuan dan membayar sogokan agar tak digugat aktris film porno—betapa tidak kristianinya kelakuan ini—tetap saja kelompok Kristen ini mendukungnya. Mereka menganggap hal itu sebagai kesalahan pribadi yang bisa terjadi pada siapa saja. Bagi kelompok ini, yang lebih penting adalah niat Trump menjunjung supremasi Kristen, demi identitas Amerika yang sepenuhnya kristiani. Kemenangan Trump memuaskan teologi kaum konservatif, bahwa hidup adalah peperangan rohani antara yang baik dan yang jahat. Hanya orang kuat seperti Trump yang bisa memenangi peperangan imajinatif tersebut sambil menyambut “kedatangan Kristus kedua kali”.
Sudah lama para pemikir bertanya apakah godaan pada populisme seperti yang dipraktikkan Trump ini bisa dihindari di era demokrasi masa kini. Benjamin Moffitt dalam The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (2016) mengembangkan pendekatan yang lebih ringan atas populisme. Bukan sebagai ideologi yang tebal tapi tipis dan sekadar repertoires of embodied performance. Tak perlu kita menduga, kata Moffitt, ada dengki atau “resentment” moral yang parah sebagai latar populisme. Yang ada ialah gaya populis sebagai pemikat saja. Gaya populis ini perlu karena sang kandidat harus menarik hati masyarakat, bukan dengan cara menjelaskan program kerja teknokratisnya yang masuk akal dan realistis.
Saat kita mendengar “makan siang gratis” dalam janji kampanye Prabowo Subianto, tak penting kita tahu bagaimana penghitungan bujetnya. Yang penting ialah program ini memikat, appealing, dan mendefinisikan kebutuhan masyarakat yang tak diabaikan Sang Pemimpin.
Gaya populis juga tampak dengan omong seenaknya, ditambah kelakuan yang tak terpuji. Ini menunjukkan ia bukan elite yang berpikir rapi dan cerdas lagak anak sekolahan. Ia mengatakan hal-hal ekstrem, dengan kata-kata makian yang biasa diucapkan dan didengar khalayak sehari-hari.
Trump menyebut wartawan NBC sebagai “si Katy kecil, wartawan kacangan kelas tiga” dan ratu kecantikan Alicia Machado sebagai “mbak pembantu” karena ia seorang Latin. Contoh lain: saat berpidato di Anaheim, Trump meniru jalan gontai Biden ketika di panggung dan, dalam kesempatan berbeda, mengatakan bahwa Biden tak bisa menyusun secara benar dua kalimat yang berurutan. Dengan itu semua, karisma Trump menguat. Pada November 2024 nanti, ia mungkin bisa menang kembali sebagai Presiden Amerika.
Melalui kedatangan kedua Donald Trump itu, kita dapat mengerti jika demokrasi Indonesia bisa kedatangan Orba Baru untuk yang kedua kalinya. Bukan melalui peristiwa berdarah 1965, melainkan melalui tokoh-tokohnya yang pandai memainkan media, yang populis dan yang seolah-olah tegas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kedatangan Kedua Donald Trump"