Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KORUPSI telah menggerogoti institusi penegak hukum hingga lembaga peradilan kita. Kebobrokan itu tergambar pada perkara yang melibatkan, antara lain, eks Sekretaris Mahkamah Agung, Hasbi Hasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pleidoi di pengadilan kasus itu, komisaris PT Wika Beton Tbk, Dadan Tri Yudianto, mengaku dimintai US$ 6 juta atau setara dengan Rp 94,16 miliar yang ia sebut untuk “oknum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Dadan yang kala itu terseret kasus korupsi pengurusan perkara Heryanto Tanaka, debitor Koperasi Simpan Pinjam Intidana, di Mahkamah Agung berharap tak masuk jerat hukum KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dadan menghubungkan Heryanto dengan Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan, yang meneruskannya kepada hakim agung perkara itu. Syahdan, kongkalikong ini terendus oleh penyidik KPK sehingga Heryanto dan pengacaranya terjaring operasi tangkap tangan pada 2022. Hakim agung Sudrajad Dimyati lalu diminta menyerahkan diri ke KPK, menyusul hakim agung Gazalba Saleh yang ditetapkan sebagai tersangka. Aliran duit ini seolah-olah mengubah kalimat pembuka putusan hakim yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi “demi keuangan yang berkuasa”.
Sejak awal, penanganan kasus ini penuh kejanggalan. Hampir enam bulan berselang dari penetapan Sudrajad dan Gazalba sebagai tersangka, KPK baru menetapkan Hasbi Hasan dan Dadan sebagai tersangka. Padahal penyidik KPK sudah mengantongi informasi mengenai aliran uang serta catatan yang disita dari Heryanto sejak awal mengusut perkara ini.
Dalam kurun waktu tersebut, rupanya ada permainan hukum guna meredam pengusutan kasus tersebut. Bukan hanya Dadan yang menyuap aparat hukum untuk menutupi perilaku korupnya. Sekretaris Mahkamah Agung juga ditengarai menyuap salah satu pemimpin KPK dari kepolisian agar tak menjadi tersangka. Kasus ini belakangan bergulir di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Adapun Dadan yang diduga memainkan perkara di KPK berkongsi dengan pejabat selevel direktur yang merupakan pejabat polisi.
Apa yang terjadi di KPK dan kepolisian dalam perkara suap-menyuap ini menunjukkan korupsi yang begitu masif, dari tingkat bawah hingga mahkamah. Uang begitu menentukan penanganan perkara korupsi di semua lini. Satu kasus mengekor ke kasus suap lain. Harapan publik agar mafia peradilan diberangus pun pupus.
Dengan fakta-fakta seperti itu, persepsi publik tentang penegakan hukum runtuh. Publik akan berasumsi bahwa semua level penanganan perkara bisa dimainkan dengan uang. Sebab, faktanya Gazalba Saleh divonis bebas oleh Mahkamah Agung pada awal Agustus 2023. Pada hari yang sama, Pengadilan Tinggi Bandung juga memotong satu tahun masa pemidanaan Sudrajad Dimyati, dari awalnya delapan tahun menjadi tujuh tahun bui.
Terpuruk sudah dunia hukum dan peradilan kita. Mafia hukum dan mafia peradilan merajalela. Hukum di negara ini hancur karena aparatnya saling menyandera dengan kasus korupsi. Praktik jual-beli perkara, percaloan, dan suap, yang semuanya memakai uang pelicin, kini makin tumbuh subur. Sekali lagi, “demi keuangan yang mahakuasa” menjadi slogan baru dalam penanganan perkara di negara ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jerat Korupsi Lembaga Peradilan Kita"