Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja.
Tayang Perdana di Festival Film Internasional Toronto.
MENGAPA pelajaran budi pekerti sudah absen dalam kurikulum pendidikan Indonesia? Ini pula yang digumamkan tokoh Tita (Prilly Latuconsina) ketika keadaan keluarganya jungkir balik karena satu peristiwa yang bergulir menjadi bola api tanpa kendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, keluarga Siswoyo semula adalah keluarga sederhana yang menetap di pinggir Yogyakarta. Sang ibu, Prani (Sha Ine Febriyanti), adalah guru bimbingan dan konseling di sekolah menengah atas yang sedang mencalonkan diri untuk menjadi wakil kepala sekolah. Sang suami, Pak Didit (Dwi Sasono), tengah didera depresi akibat usahanya mengalami kegagalan beruntun di tengah amukan pandemi Covid-19 yang mengurung kita dalam kegelapan. Tita si sulung adalah anggota band independen yang lirik lagunya pengin menggugat sekaligus meraung. Sementara itu, Muklas, adik Tita, adalah segala yang kita kenal sebagai generasi Z: obsesif mengisi konten digital pada kanal yang dia namakan Muklas Animalus yang isinya tip menata emosi dan perasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan muncul dari sesuatu yang sederhana saja. Bu Prani ingin membelikan suaminya kue putu kesukaannya. Kedua anaknya menolak permintaan sang ibu karena mereka semua merasa sibuk. Maka sang ibu, yang sebetulnya berada dalam keriuhan berkompetisi dengan calon lain untuk menjadi wakil kepala sekolah, akhirnya antre demi membeli kue putu legendaris Bu Rahayu itu. Saking larisnya, antrean memanjang dan setiap pembeli memborong puluhan kue putu. Satu lelaki menitip kepada seorang lelaki lain yang sedang antre.
Sejak awal, film ini sudah memperkenalkan Ibu Prani sebagai seorang ibu pembimbing konseling murid-murid bandel dan dia sungguh jago “meluruskan” mereka yang menggunakan kekerasan verbal dan fisik sebagai solusi hidup. Tentu saja “meluruskan” lelaki dewasa yang seenaknya menyerobot antrean seharusnya pekerjaan mudah bagi Prani. Karena itu, tak mengherankan jika Bu Prani menegurnya baik-baik agar si lelaki dewasa itu tidak menyerobot. Teguran disambut sikap defensif. Pertengkaran pun terjadi, yang akhirnya melibatkan Bu Rahayu yang berusaha memisahkan mereka dan berniat mendahulukan giliran Bu Prani.
Perdebatan yang rupanya direkam oleh penduduk sekitar ini lantas menjadi viral di media sosial. Gilanya, pada layar telepon seluler netizen, karena kedahsyatan editing masa kini, Ibu Prani terlihat sebagai seorang calon pembeli yang semena-mena, sedangkan si lelaki penyerobot malah tampak menjadi korban. Ibu Prani setiap hari dirundung di dunia maya. Kejadian itu juga merembet ke dunia nyata, termasuk ke ranah kehidupan sosial dan mengancam profesinya sebagai guru kerja. “Sementara Bu Prani jangan senam sama kami dulu,” demikian ujar pemimpin latihan senam tali saat suatu kali Bu Prani hendak bergabung.
Seperti film pertamanya, Penyalin Cahaya (2021), sutradara Wregas Bhanuteja kembali membahas kejahatan yang terjadi di dunia maya. Yang membedakan, film Budi Pekerti yang pada menit pertama seolah-olah menyajikan cerita sederhana justru memberikan beberapa lapis kedalaman dan beberapa tahap kelokan serta daya kejut. Setiap kali kita mengira cerita nyaris selesai, ternyata cerita mengungkap ledakan baru. Setiap ledakan dan kelokan baru itu menunjukkan peran setiap anggota keluarga di dalam cerita, baik Pak Didit, Tita, maupun Muklas.
Bagi Wregas, tak ada satu pun netizen yang bisa dipercaya 100 persen. Mereka semula tampak seperti kawan yang akan membela atau minimal mendengarkan serta mendukung Bu Prani. Namun, sekali lagi, permainan di dunia maya segera membalikkan nasib Bu Prani dan keluarganya akibat munculnya “sebuah fakta baru”. Meski “fakta baru” itu sesungguhnya serangkaian fitnah dan manipulasi fakta, bagaimana caranya membereskan opini masyarakat yang sudah telanjur dilumuri dusta? Bagi saya, Wregas tengah menggugat, melalui nasib Bu Prani, fitnah bertubi-tubi yang sukar dibersihkan karena netizen tak peduli terhadap kebenaran sesungguhnya. Mereka hanya percaya pada kebenaran yang maya.
Dalam kehidupan nyata, sebetulnya clearing house itu bernama media massa resmi, karena mereka mempunyai sistem check and recheck yang sah dan kesalahan fakta bisa membawa mereka ke meja hijau. Namun, dalam film ini, media Gaung Tinta tampaknya tak memegang etika jurnalistik umum yang selama ini saya kenal (check and recheck, asas keberimbangan, dan seterusnya). Bahkan ada satu adegan ketika Tita memprotes karena keluarganya makin dirugikan oleh media. Saat itu serombongan wartawan Gaung Tinta sudah bersiap mengacungkan telepon seluler mereka untuk merekam tingkah laku Tita. Ponsel menjadi senjata berbahaya yang digunakan masyarakat dan wartawan yang semula saya anggap harus berdiri sebagai clearing house. Paling tidak, Gaung Tinta dalam film ini bukanlah media yang menjernihkan ruwetnya persoalan, tapi malah makin membakar situasi. Harus diakui, media semacam ini bukan saja ada, tapi tumbuh subur sejak Internet menjadi bagian dominan hidup kita.
Prilly Latuconsina sebagai Tita dalam Budi Pekerti. @filmbudipekerti
Film yang menggunakan setting Yogyakarta pada masa pandemi itu dominan dengan bahasa Jawa. Sha Ine Febriyanti adalah berlian bersinar yang sudah saatnya menerima penghargaan atas perannya ini. Ibu Prani adalah seorang guru dan ibu yang tak selalu sempurna karena percaya pada bersihnya budi setiap orang. Itulah sebabnya dia satu-satunya guru yang masih percaya murid seperti Gora yang temperamental bisa memperbaiki diri. Tapi kebesaran hati Bu Prani tak cukup untuk membersihkan kotor dan kejinya belantara dunia maya.
Dwi Sasono, yang memperoleh durasi minim dibanding pemain lain, berhasil mengimbangi Sha Ine Febriyanti. Suami yang digebuk depresi dan rasa sia-sia itu berbuih-buih ketika mengalami episode manic. Menurut saya, Dwi Sasono menyajikannya dengan pas. Pemain lain yang juga menjadi scene-stealer adalah Omara Esteghlal sebagai Gora, si murid bermasalah yang kemudian menjadi kunci seluruh cerita ini.
Dwi Sasono sebagai Pak Didit dalam Budi Pekerti. @filmbudipekerti
Bahwa Wregas memasukkan sebuah elemen yang “sureal” pada tiga perempat cerita saat Gora muncul, kali ini tidak mengganggu saya (dibanding elemen sureal pada akhir film Penyalin Cahaya yang agak kenes). Perkembangan Gora dan hubungannya pada “kesunyian” yang dia peroleh di area permakaman justru sesuatu yang sangat meyakinkan dan organik dengan jalan cerita. Bu Prani ingin Gora mampu menundukkan kekerasan dalam dirinya. Bagian ini adalah bagian paling cerdas dan yang mungkin membuat film ini menjadi nomine di 17 kategori Piala Citra.
Tentu, tentu saja ada satu-dua catatan. Misalnya bahasa dan ritme bahasa Jawa yang tidak terasa konsisten pada kedua anak Bu Prani. Saat mereka menggunakan bahasa Jawa, sesekali masih terasa ritme mereka terpeleset dalam ritme bahasa Jakarta. Padahal Wregas tak perlu mengharuskan para aktornya berbahasa Jawa terus-menerus. Bukankah orang Yogya juga sering berbahasa Indonesia campur baur dengan bahasa Jawa? Prilly Latuconsina justru memperlihatkan sinarnya ketika dia berhadapan dengan personel band-nya yang dia gugat dengan marah dalam bahasa Indonesia.
BUDI PEKERTI
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Pnulis skenario: Wregas Bhanuteja
Pemain: Sha Ine Febriyanti, Angga Yunanda, Prilly Latuconsina, Dwi Sasono
Produksi: Rekata Studio, Kaninga Pictures
Sikap para murid kepada Bu Prani, meski terasa berbau John Keating (Robin Williams) pada akhir film Dead Poet Society, tetap dijaga untuk menjadi khas Indonesia dan khas Wregas.
Gugatan utama film ini secara keseluruhan adalah persoalan budi pekerti sebagai sebuah mata pelajaran moral, sopan santun, dan kepatutan publik yang mendasar sudah hilang dari kurikulum, bahkan dari hidup kita. Gugatan Wregas menjadi penting setelah revolusi Internet yang telah menjungkirbalikkan segalanya. Kehidupan menjadi serba mudah karena banjir informasi dan “informasi”. Karena itu, kehidupan juga menjadi buruk dan penuh nista karena kita merasa berhak menginjak nasib orang lain melalui jempol kita.
Buat saya, film ini sebuah karya gugatan Wregas yang jujur, jernih, dan penting.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kisah Ibu Prani Melawan Dunia"