Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dugaan proses pencalonan presiden dan wakil presiden telah diwarnai praktik mahar politik (Koran Tempo, 13 Agustus 2018). Apa pun bentuk dan tujuannya, indikasi ini perlu ditelusuri dan ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan hasilnya diumumkan kepada publik. Belajar dari pengalaman pemilihan kepala daerah di Jawa Timur, indikasi mahar politik oleh salah satu bakal calon bak hilang ditelan bumi. Padahal, pengakuan dari pihak pemberi telah diungkap ke masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esensi dan tujuan mahar politik sebetulnya sama dengan politik uang. Mahar politik ditujukan untuk mendapatkan dukungan dari partai politik untuk mencalonkan diri, sedangkan politik uang dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari pemilih.
Selain berimplikasi terhadap tingginya biaya po-litik, mahar politik akan menghasilkan pemimpin yang tersandera oleh kepentingan segelintir elite. Karena itu, penting untuk mengawasi dan memastikan penegakan hukum terhadap pemberi dan penerima mahar politik.
Ada perbedaan mendasar mengenai pengaturan yang melarang mahar politik dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu). Perbedaan tersebut me-nyangkut hal-hal pokok yang seharusnya diperlakukan sama karena berada di dalam satu sistem pemilihan umum.
Setidaknya ada dua aspek yang perlu dicermati. Pertama, dalam Un-dang-Undang Pilkada, sanksi yang diberikan tidak sebatas sanksi pi-dana (penjara/denda), tapi juga administratif. Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya. Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan pasangan calon, calon terpilih, dan kepala daerah yang telah dilantik.
Adapun dalam Undang-Undang Pemilu, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan soal pembatalan pasangan calon, calon terpilih, atau pemberhentian presiden dan wakil presiden yang telah dilantik.
Kedua, presiden dan parlemen lalai mengatur bagaimana memproses hukum pidana terhadap pemberi dan penerima mahar politik dalam Undang-Undang Pemilu. Bab tentang ketentuan pidana di aturan itu tidak menyebutkan soal ancaman pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik.
Lantas, proses hukum apakah yang akan diberlakukan ketika terjadi praktik mahar politik? Yang pasti, proses hukum pidana tidak bisa dilakukan lantaran normanya tidak ada. Alternatifnya, penyelenggara pemilihan umum mungkin bisa saja membuat aturan tentang proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi secara administratif terhadap pemberi dan penerima mahar politik. Namun Peraturan KPU Nomor 22 Tahun 2018 juga tidak mengatur lebih lanjut tentang hal ini.
Masalah pengaturan mahar politik seharusnya tidak menjadi halangan bagi penegakan hukum atas tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Idealnya, Undang-Un-dang Pemilu perlu segera diubah. Presiden sebetulnya dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membuat norma pidana terhadap mahar politik. Sebagai bahan perbandingan, presiden dapat mengambil contoh dari Undang-Undang Pilkada yang telah mengatur hal ini.
Ada dua langkah lain yang bisa dilakukan. Pertama, mahar politik itu akan dilihat sebagai sumbangan perorangan/badan usaha terhadap partai politik. Jika sumbangan tersebut melebihi batas yang diperbolehkan oleh undang-undang, ada ancaman pidana, baik terhadap penerima maupun pemberi, berupa hukuman penjara, denda, dan penyitaan sumbangan tersebut.
Kedua, jika mahar politik tersebut kemudian ditujukan sebagai dana kampanye, perlu dilihat apakah jumlahnya melebihi ketentuan atau tidak. Selain itu, perlu ditelusuri apakah pengakuan tentang kesepakatan dana kampanye tersebut kemudian dilaporkan sebagai bagian dari laporan dana kampanye. Jika nanti muncul fakta bahwa mahar politik itu tidak pernah ada dalam laporan dana kampanye, hal tersebut bisa saja dikategorikan sebagai perbuatan memberikan keterangan tidak benar yang dapat berimplikasi secara hukum pidana.