BAGINDA Ting bertanya kepada Kong Hu Cu: Adakah satu kalimat
yang bisa meruntuhkan sebuah negeri?
Tidak, sahut sang Guru. Tapi memang ada yang mendekati kalimat
seperti itu. Yakni, "Nikmat apakah dalam diri seorang raja,
kalau bukan mengatakan apa yang disukainya, dan tak seorang pun
berani membantah?".
Konfusius, memang mengajarkan, agar orang menjadi chun-tzu.
Seorang chun-tzu adalah manusia ideal. Dalam kata-kata penulis
risalah Cina di abad kedua Masehi, "Hati seorang chun-tzu
selaras dengan yang lain, tapi pandangannya tak sama dengan yang
lain". Salah satu ajaran Konfusianisme lama malah mengatakan,
"Biarpun kekuasaan berada di tangan seorang tiran, seorang
chun-tzu tak akan mengubah pendiriannya."
Yang dipentingkan memang harmoni, bukan keseragaman. Dua hal
yang tak sama. Mungkin bagi sebagian orang, perbedaannya pada
akhirnya tak nyata: keduanya membayangkan suatu keadaan tanpa
konflik. Tapi dasar harmoni adalah toleransi--juga terhadap
perbedaan. Dasar keseragaman justru tidak.
Dalam sejarah Cina, penganjur keseragaman adalah Mo Tzu. Ia
diperkirakan hidup 400 tahun sebelum Masehi, jauh lebih
belakangan dari Kong Hu Cu. Pejabat tinggi negara Sung ini
memang berbeda dari sang Guru. Ia hidup dalam suatu masa ketika
di Cina tumbuh kota-kota besar. Perdagangan maju, pertanian
menggunakan teknologi lebih tinggi, dan pemerintahan diatur oleh
mesin birokratis yang tak bersifat pribadi.
Mungkin karena itulah Mo Tzu tak bisa mengikuti ajaran Kong Hu
Cu yang memandang hidup kenegaraan ibarat keluarga. Mo Tzu
mengecam masa silam manusia. Ia menganggap masa silam itu
direpotkan oleh perbedaan pendirian. "Dunia di masa lampau
kacau, seakan-akan hanya dihuni burung dan binatang buas,"
begitu katanya. Bagi Mo Tzu, kekacauan itu disebabkan oleh
tiadanya penguasa serta pemimpin.
Maka orang pun harus mengidentifikasikan diri dengan
atasannya--itulah sabda salah satu bab dalam ajaran Mo. "Apa
yang dianggap benar oleh sang atasan sebagai benar semua harus
menganggapnya benar puia". Mo Tzu, meskipun ia menentang perang,
membayangkan warga masyarakat bagaikan prajurit.
Dasar pikirannya memang tidak mempercayai kebajikan manusia. Ia
tak yakin akan kemampuan manusia untuk insyaf sendiri buat hidup
rukun. Maka bila Kong Hu Cu percaya akan sifat chun-tzu yang tak
mementingkan diri sendiri Mo Tzu tidak. Motif manusia, termasuk
para pejabat negara, ialah guna memenuhi hasrat masing-masing.
Memang ada semacam pesimisme dalam pandangan ini. Tapi
barangkali karena perkembangan sejarah Cina mendorongnya
demikian.
Setelah Mo Tzu, datanglah apa yang disebut kaum "Legalis".
Pemikirnya adalah Shang Yang, yang hidup ketika pelbagai negeri
di daratan Cina saling berperang. Shang Yang adalah seorang
aristokrat dari kota kecil yang akhirnya diterima mengabdi oleh
Xiao Kung penguasa Ch'in sejak tahun 361 sebelum Masehi. Seorang
penulis riwayat hidupnya menyebutnya sebagai "orang yang keras
dan kejam". Mungkinbenar. Yang jelas ajarannya bukanlah ajaran
buat si lunak hati.
DALAM banyak hal, ajaran itu menerima pengaruh besar dari Mo
Tzu. Tapi dengan aksen yang lebih keras untuk keseragaman.
"Sebuah negara yang kegragaman tujuannya telah ditegakkan untuk
setahun, akan jadi kuat untuk sepuluh tahun," kata ajaran Shang
Yang.
Yang menarik ialah bahwa untuk "keseragaman tujuan" itu rakyat
tak boleh teramat pandai. "Jika mencari ilmu menjadi populer,
rakyat akan meninggalkan pertanian dan menyibukkan diri dalam
perdebatan." Pada akhirnya, kata Shang Yang, rakyat akan
terasing dari penguasanya, dan akan terjadilah "kumpulan kawula
yang tak lagi patuh".
Bagi Shang Yang, hubungan antara pemerintah dan rakyat memang
hubungan penakluk dan yang ditaklukkan. Maka jika ia ditanya
adakah satu kata yang bisa meruntuhkan sebuah negeri, mungkin ia
akan menjawab ada. Kata itu ialah kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini