Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Rakyat dan pemerintah

Menurut shang yang, seorang aristokrat cina, hubungan antara pemerintah dan rakyat memang hubungan penakluk dan yang ditaklukkan. mungkin, ada satu kata yang bisa meruntuhkan sebuah negeri, yakni kemerdekaan.

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGINDA Ting bertanya kepada Kong Hu Cu: Adakah satu kalimat yang bisa meruntuhkan sebuah negeri? Tidak, sahut sang Guru. Tapi memang ada yang mendekati kalimat seperti itu. Yakni, "Nikmat apakah dalam diri seorang raja, kalau bukan mengatakan apa yang disukainya, dan tak seorang pun berani membantah?". Konfusius, memang mengajarkan, agar orang menjadi chun-tzu. Seorang chun-tzu adalah manusia ideal. Dalam kata-kata penulis risalah Cina di abad kedua Masehi, "Hati seorang chun-tzu selaras dengan yang lain, tapi pandangannya tak sama dengan yang lain". Salah satu ajaran Konfusianisme lama malah mengatakan, "Biarpun kekuasaan berada di tangan seorang tiran, seorang chun-tzu tak akan mengubah pendiriannya." Yang dipentingkan memang harmoni, bukan keseragaman. Dua hal yang tak sama. Mungkin bagi sebagian orang, perbedaannya pada akhirnya tak nyata: keduanya membayangkan suatu keadaan tanpa konflik. Tapi dasar harmoni adalah toleransi--juga terhadap perbedaan. Dasar keseragaman justru tidak. Dalam sejarah Cina, penganjur keseragaman adalah Mo Tzu. Ia diperkirakan hidup 400 tahun sebelum Masehi, jauh lebih belakangan dari Kong Hu Cu. Pejabat tinggi negara Sung ini memang berbeda dari sang Guru. Ia hidup dalam suatu masa ketika di Cina tumbuh kota-kota besar. Perdagangan maju, pertanian menggunakan teknologi lebih tinggi, dan pemerintahan diatur oleh mesin birokratis yang tak bersifat pribadi. Mungkin karena itulah Mo Tzu tak bisa mengikuti ajaran Kong Hu Cu yang memandang hidup kenegaraan ibarat keluarga. Mo Tzu mengecam masa silam manusia. Ia menganggap masa silam itu direpotkan oleh perbedaan pendirian. "Dunia di masa lampau kacau, seakan-akan hanya dihuni burung dan binatang buas," begitu katanya. Bagi Mo Tzu, kekacauan itu disebabkan oleh tiadanya penguasa serta pemimpin. Maka orang pun harus mengidentifikasikan diri dengan atasannya--itulah sabda salah satu bab dalam ajaran Mo. "Apa yang dianggap benar oleh sang atasan sebagai benar semua harus menganggapnya benar puia". Mo Tzu, meskipun ia menentang perang, membayangkan warga masyarakat bagaikan prajurit. Dasar pikirannya memang tidak mempercayai kebajikan manusia. Ia tak yakin akan kemampuan manusia untuk insyaf sendiri buat hidup rukun. Maka bila Kong Hu Cu percaya akan sifat chun-tzu yang tak mementingkan diri sendiri Mo Tzu tidak. Motif manusia, termasuk para pejabat negara, ialah guna memenuhi hasrat masing-masing. Memang ada semacam pesimisme dalam pandangan ini. Tapi barangkali karena perkembangan sejarah Cina mendorongnya demikian. Setelah Mo Tzu, datanglah apa yang disebut kaum "Legalis". Pemikirnya adalah Shang Yang, yang hidup ketika pelbagai negeri di daratan Cina saling berperang. Shang Yang adalah seorang aristokrat dari kota kecil yang akhirnya diterima mengabdi oleh Xiao Kung penguasa Ch'in sejak tahun 361 sebelum Masehi. Seorang penulis riwayat hidupnya menyebutnya sebagai "orang yang keras dan kejam". Mungkinbenar. Yang jelas ajarannya bukanlah ajaran buat si lunak hati. DALAM banyak hal, ajaran itu menerima pengaruh besar dari Mo Tzu. Tapi dengan aksen yang lebih keras untuk keseragaman. "Sebuah negara yang kegragaman tujuannya telah ditegakkan untuk setahun, akan jadi kuat untuk sepuluh tahun," kata ajaran Shang Yang. Yang menarik ialah bahwa untuk "keseragaman tujuan" itu rakyat tak boleh teramat pandai. "Jika mencari ilmu menjadi populer, rakyat akan meninggalkan pertanian dan menyibukkan diri dalam perdebatan." Pada akhirnya, kata Shang Yang, rakyat akan terasing dari penguasanya, dan akan terjadilah "kumpulan kawula yang tak lagi patuh". Bagi Shang Yang, hubungan antara pemerintah dan rakyat memang hubungan penakluk dan yang ditaklukkan. Maka jika ia ditanya adakah satu kata yang bisa meruntuhkan sebuah negeri, mungkin ia akan menjawab ada. Kata itu ialah kemerdekaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus