Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salim Said*
Harian The New Times edisi 12 September 2010 menulis, ”Para pemilih Turki, Ahad ini, mendukung secara meyakinkan kemenangan partai berbasis Islam dalam mengalihkan kekuasaan dari kaum sekuler yang telah menguasai Turki modern sejak negara itu terbentuk.” Harian yang sama menjelaskan bahwa perubahan yang dilakukan lewat referendum itu dimaksudkan untuk mengubah konstitusi buatan militer dengan cara menyesuaikannya dengan konstitusi demokratis seperti yang umumnya dipraktekkan di negara-negara demokratis. Laporan yang tersiar dari Ankara pada Ahad malam menunjukkan bahwa paket perubahan atas 26 pasal konstitusi buatan tentara itu sudah mendapat dukungan 58 persen suara yang terkumpul.
Referendum yang diusulkan partai pimpinan Perdana Menteri Tayyip Erdogan ini mengandung implikasi luas bagi hari depan perpolitikan Turki. Yang pasti dan paling menonjol adalah dampak perubahan terhadap kedudukan militer Turki. Konstitusi yang diamendemen adalah konstitusi buatan militer yang diberlakukan sejak 30 tahun silam—selepas coup d’etat terakhir—dan arena itu memberikan peran politik hampir dominan kepada tentara.
Berbeda dengan banyak tentara yang masuk politik terutama karena keadaan darurat atau interest para perwiranya, militer Turki sesungguhnya sudah berada dalam politik sejak awal berdirinya Negara Turki modern pada 1923. Bapak dan pendiri Turki modern adalah Kemal Ataturk, jenderal yang memimpin perang kemerdekaan Turki terhadap ancaman kekuatan-kekuatan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II.
Berbeda dengan banyak jenderal yang memasuki istana kekuasaan negara dengan pakaian militernya, Kemal meninggalkan ketentaraan saat menjadi presiden pertama negara yang dibangunnya. Menariknya, sembari menjauhkan tentara dari politik—menekankan pentingnya supremasi sipil—pahlawan Turki modern itu menugasi tentara menjaga tegaknya demokrasi dan terpeliharanya sekularisme dalam negara yang baru dibangunnya.
Untuk melaksanakan amanat Kemal, beberapa kali tentara Turki melakukan coup d’etat. Berbeda dengan tentara dari sejumlah negara lain di Asia, Afrika, atau Amerika Latin, selepas coup d’etat, tentara Turki dengan cepat mengembalikan kekuasaan kepada sipil—lewat pemilihan umum—biasanya setelah berkuasa secara singkat. Tapi, 30 tahun silam, pada coup d’etat keempat, kekuasaan dikembalikan hanya setelah konstitusi baru yang menguntungkan tentara dibuat dan diberlakukan. Dengan konstitusi itu, doktrin supremasi sipil telah dilanggar karena tentara sudah secara terbuka terlibat politik praktis. Sejak itu, militer Turki sebenarnya sudah tidak lagi dengan setia menjaga salah satu warisan Kemal.
Berpedoman pada sekularisme yang diilhami laisisme Prancis—sifatnya sangat antiklerik atau antiagama—Kemal membubarkan kekhalifahan, juga ”mempribumikan” Turki dengan cara sekuat mungkin menghapuskan warisan Islam di negeri tersebut. Sejarah Turki, misalnya, ditulis kembali, dengan memperlakukan periode Islam di bawah para Khalifah Usmaniah sebagai penyimpangan dalam sejarah Turki. Selain diberlakukan larangan terhadap pakaian yang mengingatkan orang pada busana muslim, nama-nama berbau Islam pun diganti, bahkan azan di masjid diucapkan dalam bahasa Turki, bukan dalam bahasa Arab seperti yang terdengar dari masjid di mana-mana hingga hari ini.
Sekian puluh tahun kemudian, seperti yang terjadi di beberapa negara berpenduduk muslim, kaum muslimin Turki pada kuartal ketiga abad ke-20 mengalami kebangkitan. Di Turki, kebangkitan itu menyebabkan dan dipercepat oleh berkuasanya partai-partai berbasis Islam, seperti yang kini dipimpin Erdogan. Orang-orang Islam tidak hanya menduduki posisi kelas menengah yang menguasai ekonomi Turki, tapi juga tampil sebagai cendekiawan terkemuka negeri mereka.
Dengan kata lain, telah terjadi perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang sangat signifikan di Turki. Perubahan ini sulit diterima oleh old established elite yang secara fanatik menjaga warisan Kemal. Penolakan itulah yang menjadi poros konflik politik Turki puluhan tahun terakhir ini.
Menarik membandingkan militer Turki dengan pengalaman Tentara Nasional Indonesia. Militer Indonesia meninggalkan dwifungsi (Rapat Pimpinan TNI, 20 April 2000) sebelum kekuatan politik sipil menghapuskan peran politik TNI, sementara tentara Turki yang menjaga secara fanatik warisan Kemal harus dipaksa oleh rakyat—lewat referendum—untuk melepaskan peran politik mereka.
Militer Turki telah menjadi korban dari fanatisme buta mereka terhadap warisan Kemal Ataturk. Berbeda dengan TNI yang sadar terhadap terjadinya perubahan politik domestik dan internasional dan, karena itu, dengan cepat melepaskan peran politik mereka secara sukarela, tentara Turki justru secara kaku terus berpegang pada warisan lama tanpa sadar terhadap kenyataan bahwa Turki dan dunia telah berubah. Akibatnya fatal bagi reputasi militer Turki.
Hal menarik kedua, dengan makin maju dan makin terpelajarnya kaum muslimin (di Turki dan di Indonesia), tampaknya makin sadar pula mereka bahwa demokrasi modern lebih menjawab tantangan keberadaban dan kebebasan beragama mereka ketimbang terus berkutat pada doktrin perlunya negara Islam yang tidak pula pernah jelas ujung-pangkalnya.
*) Guru besar ilmu politik Universitas Muhammadiyah Malang dan PTIK Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo