Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Tempat Bermain di Gang Sesama

Arsitek pemenang Urban Sustainable Development selesai membangun tempat bermain di gang sempit berhunian padat di Kota Bandung. Ruang bermain yang mungil itu membawa perubahan berarti. Sikap berarsitek yang menjadi bagian solusi persoalan urban.

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang baru di Blok Cisatu yang membuat anak-anak di sana lebih gembira. Mereka tak lagi hanya bisa main petak umpet di antara kerapatan bangunan rumah di perkampungan padat dengan gang sempit—rata-rata lebar 1,2 meter—di Gang Bukit Mulia I, RW 07, Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. Sejak akhir Agustus lalu, anak-anak sudah memiliki tempat bermain spesial di lahan 5 x 3 meter persegi sumbangan warga setempat, Atikah Arisyati, dan suaminya, Yana Rusyana.

Atikah, 56 tahun, adalah guru sekolah taman kanak-kanak di gang padat itu. Dia sudah lama punya impian memiliki tempat bermain untuk murid-muridnya. Klop, mimpinya dijawab oleh Sarah Ginting, arsitek pemenang sayembara Sustainable Urban Development, lomba yang diselenggarakan Ikatan Arsitek Indonesia dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum pada 2009.

Sarah, 38 tahun, mengajukan rancangan taman bermain yang dibangun di kawasan perkampungan padat penduduk. Ide ini dipicu keprihatinannya melihat anak-anak miskin yang tidak memiliki tempat bermain. Setelah proses panjang mencari lahan yang dapat ditempati, dibangunlah sembilan jenis permainan di lahan mungil dekat taman kanak-kanak Gang Bukit Mulia, sejak Maret lalu, dengan bantuan masyarakat setempat. Setelah tempat bermain selesai, jalan kecil itu pun kemudian diberi nama Gang Sesama.

Arsitek lulusan Universitas Parahyangan, Bandung, ini memang sempat dicemooh. ”Arsitek kok membuat mainan,” ujar Sarah menirukan cemoohan itu. Namun dia menganggap ruang bermain itu penting. Dan benar, ketika seperangkat permainan, seperti ayunan, jungkat-jungkit, rumah pohon, dayung doyong, serta rumah Barbie, terwujud, karakter ruang di perkampungan Gang Bukit Mulia berubah. Tempat itu menjadi seperti oasis di tengah bangunan rumah yang berimpitan. Tempat bermain itu menjadi tempat anak-anak berkumpul dan bergembira—karena di gang tersebut sebelumnya tidak ada tempat bermain—serta tempat para orang tua bersosialisasi. ”Meski jadi berisik,” kata Atikah.

Masuk akal bila berisik, karena permainan seperti itu dianggap barang mewah yang mengasyikkan di perkampungan tersebut. Lihat saja bagaimana Dika, Nisrina, Putri Lestari, dan Fitri Fatarinah yang sedang bermain di ruang terbuka mungil itu, awal September lalu. Anak-anak berusia 6-8 tahun itu riuh berebut ayunan.

Ada juga yang menikmati rumah pohon, yang dibangun agak tersembunyi di balik sepenggal tembok. Bentuknya seperti menara, terbuat dari tiga rangka besi bercat hijau tua setinggi sekitar 2,5 meter. Masing-masing menara berkaki empat, dibaut pada bantalan semen sebagai alasnya. Di setiap sisi rangka besi, dipasang anak tangga untuk memanjat. Di bagian puncaknya terdapat bidang datar agar anak-anak bisa bergelayutan meniti sepasang tambang sepanjang 1,5 meter yang menghubungkan tiga rangka besi itu. Atau seperti yang dilakukan Farah dan Putri, yang duduk di atas sepasang tali dan beringsut perlahan, sambil tertawa-tawa.

Warna-warna cerah di area mungil itu menghasilkan kontras yang menyenangkan di antara kepungan tembok abu-abu dan warna kusam lain di perkampungan tersebut. Apalagi ada tambahan gambar-gambar yang ceria, seperti tiga pohon besar lengkap dengan dedaunan hijau rimbun. Juga gambar bunga-bunga berwarna cerah dan lengkungan pelangi.

Yang menarik, alat-alat permainan itu didesain selaras dengan ketidakleluasaan lahan, tapi justru tampak unik. Misalnya jungkat-jungkit, sepanjang sekitar dua meter, yang dicat biru dan hijau muda. Model tempat duduk berwarna jingga yang ada di kedua sisinya hanya memungkinkan dua anak yang ingin bermain duduk menyamping, bukan berhadapan seperti umumnya jungkat-jungkit lain.

Posisi seperti itu untuk menyiasati lahan yang sempit. Sebab, bila anak bermain dengan duduk berhadapan, sebelah kakinya akan tergesek tembok. Dengan duduk menyamping, anak-anak pun lebih dilatih kompak, karena bila mereka tak selaras, jungkat-jungkit itu tak bisa naik dan turun seirama. Tantangannya lebih tinggi ketimbang jungkat-jungkit yang biasa.

Unsur edukasi pun tak dilupakan di tempat bermain itu. Rumah Barbie, misalnya, berupa kota memanjang sederhana yang dimaksudkan untuk memperkenalkan konsep tentang hunian. Rumah itu dicat warna cerah kuning, biru, dan merah, dengan gambar bunga.

Lalu ada kotak sampah Meccano kuning dengan ukuran 75 x 60 x 40 sentimeter. Bagian depannya diberi kaca bening sehingga tampak transparan. Di dalamnya ada empat kotak yang ditata berundak seperti tangga. Bila ada sampah yang dibuang di lubang pada bagian atas kotak, lalu tuas yang ada di sisi kotak diputar, sampah itu akan merosot bersambungan hingga mencapai kotak yang paling bawah. Nah, kotak sampah Meccano ini mengajari anak-anak membuang sampah pada tempatnya sembari bermain.

Tempat bermain di Gang Sesama memang dibikin serius. Tak hanya desain fisiknya, tapi juga proses pengerjaannya. Tim yang dibentuk Sarah, dari Universitas Parahyangan, Bandung, melakukan survei dari satu toko material ke toko lain ketika memilih bahan. Bahan harus berkualitas, tapi sebisa mungkin murah. Teknik penyambungannya juga harus baik karena menyangkut keselamatan anak-anak. Hingga jadilah taman bermain senilai Rp 30 juta, yang menjadi tetenger di Gang Bukit Mulia.

”Kekumuhan memang bukan untuk dihindari dan digusur, melainkan untuk diakrabi,” kata Eko Prawoto, salah satu juri lomba, mengomentari karya Sarah. Menurut Eko, arsitek yang mahir mengembangkan desain menggunakan bambu, kalaupun ruang yang kumuh itu hendak dihilangkan, harus dengan cara yang manusiawi. Sebab, di dalamnya tidak hanya ada bangunan, tapi juga manusia.

Hal itulah yang juga diyakini Sarah. Sebelum membangun alat-alat permainan di Gang Sesama itu, dia memang sudah ”akrab” dengan kekumuhan. Dia prihatin terhadap anak-anak yang terlunta-lunta di jalanan. Padahal masa kecil seseorang sangat mempengaruhi saat mereka dewasa. Dia yakin, bila anak-anak cukup mendapat hak bermain, masa depan mereka akan lebih baik.

Keyakinan itulah yang dia terapkan dalam desainnya. Saat mengikuti Helar Festival di Bandung pada 2007, ia memfokuskan penelitian pada pemanfaatan lahan-lahan sisa perkotaan. Desain yang dia tampilkan berjudul ”Taman Nyampah Heula”, yang intinya merupakan rancangan tempat bermain sekaligus berisi pengajaran membuang sampah pada tempatnya.

Bagi Sarah, yang mendapatkan gelar master arsitek di London, desain itu mirip dengan bahasa, yang bisa dipakai untuk menyatakan sikap. Tantangan tersulit adalah bagaimana seorang arsitek mampu mengonkretkan rasa dan fungsi yang abstrak itu lewat garis-garis desain. ”Tujuannya agar kompleksitas ruang urban yang makin sempit bisa disikapi manusia secara teknis,” katanya.

Menurut bahasa Eko, seorang arsitek seharusnya mampu bersikap konkret—melalui karyanya—terhadap ketidakadilan dan keterpinggiran seperti yang ditanggung masyarakat miskin perkotaan. Sialnya, kata Eko, sikap seperti ini masih sangat kurang di kalangan arsitek.

Bina Bektiati, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus