Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Fauzi Bowo: </B></font><BR />Saya Tahu Simpul Masalah

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikepung macet dan banjir, ditambah ruang hijau yang amat minim dan tata ruang keseluruhan yang semrawut, Jakarta menjadi kota yang pengap dan makin tak nyaman huni. Kemacetan lalu lintas di Jakarta diramalkan bakal terus menggila, dan Ibu Kota akan mampet total pada 2014. Sebuah penelitian mendedahkan fakta bahwa kerugian ekonomi akibat pemborosan bahan bakar dan dampak kesehatan mencapai Rp 12,8 triliun per tahun.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo tentu menjadi orang nomor satu yang dimintai pertanggungjawaban atas berbagai karut-marut Ibu Kota ini. Terutama lantaran semasa kampanye untuk menjadi gubernur tiga tahun lalu, dia mencitrakan diri sebagai seorang ”ahli” menangani persoalan Jakarta.

Ada anggapan gubernur yang akrab disapa Bang Foke ini kurang melakukan gebrakan sehingga persoalan macet, banjir, dan sebagainya tak pernah tuntas tertangani. ”Bukan saya tak ingin menggebrak,” Fauzi membela diri. ”Saya tak ingin meninggalkan permasalahan sehingga perlu perencanaan matang.”

Fauzi menegaskan pula bahwa upaya mengurai persoalan Jakarta butuh dukungan berbagai lapisan, termasuk pemerintah pusat dan daerah penyangga. Koordinasi ini, menurut dia, menjadi tugas Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto.

Kamis tiga pekan lalu, Fauzi menerima Ahmad Taufik, Yandi M. Rofiyandi, Yophiandi Kurniawan, dan fotografer Donang Wahyu dari Tempo di kantornya. Didampingi semua kepala dinasnya, dia membeberkan persoalan Ibu Kota dan apa yang sudah dikerjakannya. Dengan lugas pula dia menanggapi rencana pemindahan ibu kota yang ramai dibicarakan rakyat jelata sampai Presiden sebagai ”wacana yang terlalu terburu-buru”.

Apa hasil pembahasan pemerintah DKI Jakarta dengan Wakil Presiden untuk mengatasi kemacetan?

Secara umum permasalahan kita bagi menjadi beberapa cluster. Misalnya financing atau pembiayaan yang selalu diributkan karena melibatkan daerah, sektor, dan daerah otonom lain. Saya dahulukan yang bisa diselesaikan dalam batasan kompetensi saya dengan biaya anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kita mulai dengan busway. Kita sebenarnya bisa mulai dengan yang lain, tapi kita pilih busway karena keterbatasan kompetensi. Kita terus melakukan pengembangan dengan APBD, yakni koridor Kampung Melayu-Pulogebang dan Pluit-Tanjung Priok. Saya harap berikutnya ada kontribusi dari pemerintah pusat.

Apa yang dilakukan pemerintah Jakarta untuk mengurai persoalan kemacetan?

Ada pertumbuhan kendaraan bermotor yang meledak yang tak sebanding dengan pertumbuhan panjang jalan. Tahun depan, industri otomotif kita akan memproduksi enam juta sepeda motor dan 700 ribu roda empat. Sekitar 40 persen umumnya dipasarkan di Jabodetabek.

Benarkah ada rencana mengurangi volume kendaraan dengan instrumen fiskal....

Saya setuju. Tapi kajian lain mengatakan instrumen fiskal hanya efektif kalau dilakukan dalam satu ruang besar bersama-sama. Kalau di Jakarta saja percuma. Bisa kendaraan di Bogor, Bekasi, dan lain-lain, lalu dipakainya di Jakarta. Diperlukan, misalnya, pajak progresif di seluruh Jawa Barat atau pantai utara Jawa. Itu sudah bukan kewenangan saya karena di luar administrasi. Itu antara lain yang kami bicarakan dengan Wakil Presiden.

Apakah ada komitmen dana dari pemerintah pusat untuk proyek busway?

Kita membicarakan proyeksi 15 koridor busway. Koridor selanjutnya itu membutuhkan separasi buat jalan layang. Dengan jalan layang ini, pembiayaan akan dobel, lebih dari sekadar di-upgrade. Saya tanyakan apakah bisa dapat bantuan pemerintah pusat. Belum ada komitmen. Yang jelas, koridor 11 dan 12 dananya dari APBD.

Apakah tarif tiket Rp 3.500 per penumpang belum ekonomis?

Kita charge per penumpang Rp 3.500. Padahal biaya operasinya di atas Rp 6.000, bahkan rata-rata setelah semua beroperasi di atas Rp 9.000. Jumlah penumpang sekitar 280 ribu per hari. Jadi subsidinya ditanggung APBD sekarang. Untuk mengurangi beban APBD itu, bisa dengan menaikkan tarif. Namun harus diikuti kelengkapan sarana dan prasarana yang lebih baik. Kalau tidak, publik juga akan menyoroti. Dalam jangka menengah, pembiayaan ini semakin berat.

Bagaimana dengan regulasi yang bersinggungan dengan aturan pemerintah pusat?

Pemerintah daerah memang tak bisa bergerak sendiri. Perlu alat hukum yang memungkinkan kita bergerak untuk operasional, yakni undang-undang dan paling tidak peraturan pemerintah. Jadi tak cukup peraturan daerah. Ada duit, kalau regulasi tak ada, mana bisa jalan. Apalagi kalau duit dan regulasi tak ada, mau jalan ke mana kita. Pak Kuntoro membantu koordinasi soal ini. Contoh sederhana, tarif gas. Paling sedikit perlu koordinasi Menteri Perekonomian. Sampai sekarang belum berhasil menetapkan tarif reasonable yang bisa mem-back up angkutan umum dengan tarif terjangkau masyarakat.

Selama ini bahan bakar gas untuk busway masih menggunakan tarif industri....

Pembiayaan bahan bakar memang mesti dihitung. Kita bebankan Rp 3.500 per penumpang, sedangkan tarif gas berlaku fluktuatif berdasarkan nilai dolar. Kalau harus mengikuti tarif industri, kita tak sanggup. Jadi nanti ada tarif khusus gas angkutan umum. Bukan hanya Jakarta, melainkan semua kota yang menggunakan gas sebagai bahan bakar alat transportasi umum. Mudah-mudahan ini bisa meng-encourage swasta membangun jaringan distribusinya.

Ada usul untuk meremajakan angkutan umum?

Dalam pertemuan di kantor Wakil Presiden, saya diminta mengganti kendaraan tua dan tidak layak jalan. Dari dulu juga saya setuju begitu. Cuma, kasih saya instrumen untuk memberikan insentif kepada operator. Kalau ada insentif, ya udah jalan aja. Katakanlah sekarang kredit murah. Sekarang banyak kredit murah sepeda motor dan mobil, mengapa enggak ada kredit murah angkutan umum? Kalau memang ada skim menarik, metromini kita upgrade menjadi besar.

Gubernur sekarang dianggap kurang menggebrak dibanding pendahulunya?

Bukan saya tak ingin menggebrak. Saya juga bisa menggebrak, tapi kalau tak ada gunanya buat apa? Saya tak ingin meninggalkan permasalahan sehingga perlu perencanaan matang. Sekarang ini, tidak sedikit waktu saya terkuras untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

Apa saja pekerjaan rumah itu?

Misalnya, kontrak busway harus di-review semua. Untuk review obyektif dan rasional itu, saya perlu konsultan andal. Saya pakai Institute for Transportation and Development Policy yang dibiayai UN. Lembaga ini memang menekuni busway dari mulanya. Sekarang mereka ada di sini, dan bekerja tak sendiri. Mereka memakai Ernst & Young. Mengapa saya lakukan itu? Sebab, saya tahu simpul masalah. Mudah-mudahan kalau sudah rapi, mau gebrak juga bisa betul-betul efektif.

Bagaimana kelanjutan rencana pembangunan transportasi massal cepat?

Angkutan massal harus menjadi backbone transportasi Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Nah, dari jenis angkutan massal yang ada, angkutan berbasis rel mempunyai daya angkut paling tinggi. Sebab, ia memang punya jalur sendiri yang tak mudah diintervensi siapa pun. Kemudian diikuti jenis angkutan massal lain, seperti mass rapid system dan feeder-nya. Ini yang akan kita lanjutkan secara bertahap.

Mengapa angkutan berbasis rel tak dikembangkan sejak dulu?

Pada 1972, saya kerja bersama tim dari Jerman, namanya Jakarta Metropolitan Area Transportation Study. Saya dan tim itu mengusulkan kepada Pak Ali Sadikin supaya pengembangan Jakarta yang waktu itu belum terlalu besar di-back up oleh transportasi umum massal berbasis rel, seperti kereta api. Berkali-kali saya kena asbak Pak Ali Sadikin. Saya tetap ngotot karena yakin transportasi berbasis rel menjadi instrumen pengendali paling efektif.

Kapan MRT akan beroperasi?

Soal MRT, kita enggak mimpi, karena plan of action-nya sudah jelas. Financing-nya juga secure. Bisa dikatakan bahwa 2016 sudah mulai beroperasi. MRT sebenarnya beda tipis dengan kereta karena sama-sama berbasis rel, jadi kapasitasnya sama. MRT di atas tanah, dari Lebak Bulus sampai Al-Azhar. Setelah itu, baru masuk di dalam tanah sampai Kota.

Apa yang akan dilakukan dengan proyek monorel yang mangkrak?

Kita sekarang dalam posisi serba salah. Ini proyek swasta. Setelah mereka tak mendapatkan financing, proyek terhenti. Proyek ini properti mereka. Jadi siapa pun yang mengambil oper harus ada perjanjian. Kita coba ajak bicara dan mereka mengajukan angka tinggi dibanding perhitungan kami dan akuntan negara Badan Pemeriksa Keuangan. Kami menghitung keseluruhannya Rp 204 miliar dan mereka meminta jauh di atas itu. Sedih juga kalau ada yang menanyakan bagaimana nasib monumen tak bertuan itu.

Seandainya ada kesepakatan harga, apakah jalur monorel itu akan difungsikan?

Kalau sudah sepakat, saya berharap bisa difungsikan sehingga mampu menampung kebutuhan mobilitas kawasan Kuningan, Senayan, MPR/DPR, dan Karet. Jalur ini juga sekaligus menjadi feeder MRT. Keduanya akan bertemu di Pintu I Senayan dan Dukuh Atas. Dengan kereta api juga akan bertemu di Dukuh Atas. Jadi semua akan terintegrasi. Semua seperti sistem transportasi di Sydney.

Apa yang telah Anda lakukan untuk mengatasi masalah banjir?

Saya dilahirkan di Jakarta, jadi tak aneh dengan banjir. Setelah saya jadi gubernur, kami bikin survei. Orang Jakarta ingin banjir cepat diatasi, jauh lebih tinggi ketimbang macet. Itulah alasan mengapa banjir menjadi prioritas paling tinggi. Dan saya kira banjir itu menimbulkan kerugian paling besar.

Bagaimana kebijakan tentang reklamasi pantai utara?

Reklamasi kita buat sesuai dengan perhitungan matang. Tak ada niat pemerintah menyengsarakan warganya. Saya sebagai pemimpin daerah berkepentingan membuat Jakarta bebas banjir. Reklamasi ini merupakan bagian upaya kita mengendalikan banjir, terutama dari rob. Desain reklamasi dibuat sedemikian rupa sehingga tak masif, tapi berbentuk pulau-pulau sehingga memperpanjang aliran sungai ke laut.

Anda masih konsisten dengan slogan saat kampanye: serahkan pada ahlinya?

Hingga saat ini, slogan serahkan pada ahlinya tetap konsisten dilaksanakan. Pengertiannya adalah pelaksanaan manajemen dan pembangunan, termasuk sistem transportasi, dipolakan oleh ahlinya.

Bagaimana tentang wacana pemindahan ibu kota?

Wacana pemindahan ibu kota terlalu terburu-buru dan terkesan lari dari persoalan. Wacana tersebut justru menimbulkan persoalan baru dan tak akan membuat kemacetan dan masalah lainnya selesai. Berbagai persoalan di Jakarta juga tak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah daerah, tapi perlu dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah penyangga. Pemindahan ibu kota juga tak akan efektif karena memakan dana besar dan waktu lama.

Dr Ing H Fauzi Bowo

Tempat dan tanggal lahir:Jakarta, 10 April 1948

Pendidikan:

  • Sarjana Teknik Arsitektur Perencanaan Kota dan Wilayah Technische Universitat Braunschweig, Jerman, 1968-1976
  • Doktor Ingenieur dari Fachbereich Architektur/Raum Und Umweltplanung-Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern, Jerman, 2000

Karier:

  • Kepala Dinas Pariwisata DKI, 1993-1998
  • Sekretaris Wilayah Daerah DKI Jakarta, 1998-2002
  • Wakil Gubernur DKI Jakarta, 2002-2007
  • Gubernur DKI Jakarta, 2007-Sekarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus