Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran oleh polisi makin meruyak.
Alih-alih menjadi pelindung dan pengayom, polisi malah meresahkan masyarakat.
Perlu perbaikan dan reformasi yang serius agar polisi dapat bekerja sebagaimana mestinya.
PRESIDEN Prabowo Subianto seharusnya mengambil tindakan tegas terhadap pimpinan Kepolisian RI atas berbagai kasus kejahatan dan pelanggaran etika para polisi. Sudah cukup waktu 100 hari untuk Prabowo melihat kinerja pimpinan Polri yang membuat polisi malah membuat masyarakat resah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa menghebohkan adalah penembakan Brigadir Yosua Hutabarat oleh atasannya sendiri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Lalu kasus narkotik Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project, dan terakhir terungkapnya pemerasan yang menyeret mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Bintoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bintoro diduga menerima suap saat menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan ketika menangani kasus pembunuhan dan pemerkosaan remaja perempuan berinisial FA, 16 tahun. Dua tersangka kasus itu, Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo, mengaku dimintai uang Rp 17 miliar agar penyidikan perkara mereka dihentikan.
Kasus ini diduga tak hanya melibatkan Bintoro. Ada juga Ajun Komisaris Besar Gogo Galesung dan tiga polisi lain. Bahkan, dari penelusuran majalah ini, Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Ade Rahmat Idnal diduga ikut menikmati kucuran uang suap.
Seolah-olah tidak kapok, aparat kepolisian tak berhenti berkelindan dengan kejahatan dalam tiap tugas mereka. Perilaku menyimpang tersebut seolah-olah mengukuhkan candaan lawas yang pernah diucapkan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kata Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur di negeri ini: Hoegeng Iman Santoso (Kepala Polri 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur.
Setelah 25 tahun Gus Dur memisahkan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI, reformasi tampaknya jauh panggang dari api. Reformasi Polri hanya mentereng dalam jargon, tapi tertinggal di atas kertas dan gagal dalam implementasinya.
Kasus Bintoro dan lainnya mengindikasikan rusaknya sistem dan kultur di tubuh kepolisian. Hukuman dan sanksi kepada para pelaku penyelewengan tak cukup menutup bopeng di wajah institusi itu. Reformasi total di tubuh Polri menjadi keharusan jika kita ingin mengembalikan muruah institusi ini sesuai dengan cita-cita Reformasi.
Pembiaran kejahatan para polisi menandakan inkonsistensi penerapan sanksi dan prinsip meritokrasi di tubuh Polri. Padahal, dalam kerangka reformasi birokrasi, penegakan hukum yang tegas dan konsisten adalah elemen kunci untuk mewujudkan institusi yang bersih dan profesional.
Pembenahan di tubuh Polri tak bisa hanya dilakukan lewat pengawasan yang berbuntut sanksi, tapi juga perbaikan sistem. Dari rekrutmen, pembangunan kapasitas, metode kerja, hingga promosi jabatan berbasis merit system. Tidak berjalannya pengawasan secara internal ataupun eksternal juga membuat kepolisian mendapat impunitas.
Kita tentu tak ingin mendengar lagi adagium “hilang ayam, lapor polisi malah hilang sapi”. Artinya, berurusan dengan polisi malah makin merugikan karena kita diperas agar mereka mau mengerjakan laporan dan aduan kita.
Masyarakat sipil masih membutuhkan polisi dalam berbagai aspek kehidupan. Perbaikan yang konkret dan komprehensif tidak boleh ditunda dan mesti dilaksanakan segera. Fungsi penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan, serta pelayanan masyarakat harus bertransformasi ke arah yang lebih baik demi mewujudkan cita-cita Reformasi. ●