Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Reinterpretasi Sila Kebangsaan

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pidato "Lahirnja Pantja-Sila", Bung Karno banyak mengutip penda-pat sarjana Eropa abad ke-19 tentang arti "kebangsaan". Pidato itu diucapkan lebih dari setengah abad lalu, para sarjana Eropa yang dikutip hidup dua abad silam. Pada hari ulang tahun republik ini, 17 Agustus 2001, hendaknya kita mulai mencari penafsiran baru atas sila kebangsaan yang lebih dekat dengan kondisi kita yang nyata. Dari Sabang ke Merauke Dalam kuliahnya di Universitas Sorbonne, Prancis, 11 Maret 1882, Ernest Renan berpendapat bahwa kebangsaan adalah suatu keinginan hidup bersama; eksistensi suatu bangsa adalah hasil plebisit dari hari ke hari. Pancasila adalah ideologi. Kita semua setuju bahwa suatu ideologi tidak usah cocok 100 persen dengan kenyataan. Tapi kita juga mengerti bahwa ia tidak boleh terlalu jauh dari realitas, agar tak kehilangan fungsinya sebagai pembangkit semangat. Di Indonesia sekarang banyak orang yang tidak suka hidup bersama lagi. Orang Dayak tidak suka hidup bersama orang Madura. Walaupun kedengarannya aneh, orang Maluku tidak suka hidup bersama dengan orang Maluku yang berlainan agama. Di Jawa orang seagama pun sudah mulai saling tak suka. Orang Irian kurang suka hidup ber-sama kaum non-Irian. Orang Poso begitu, orang Aceh juga begitu. Kadang-kadang orang Riau ikut-ikutan pula tak suka hidup bersama. Dan jangan pula ada yang mengusulkan plebisit setiap hari. Padahal, sekali plebisit saja sudah bikin krisis berkepanjangan di Timor. Ada Kuli, Ada Saudagar Teori Otto Bauer juga dikutip oleh Bung Karno. Menurut Bauer, sebuah bangsa adalah suatu persamaan karakter yang tumbuh dari persamaan nasib. Dari zaman penjajahan tidak ada persamaan nasib di antara pen-duduk kepulauan Nusantara ini. Penjajahan 350 tahun itu, kalau kita mau bicara fakta, hanya menyangkut Pulau Jawa dan barangkali beberapa daerah di kepulauan rempah di Indonesia Timur. Sebagian besar wilayah yang sekarang kita sebut Indonesia baru diraup penjajah 50 tahun sebelum kita merdeka. Nasib orang Bugis di perahu dan di pasar. Nasib orang Minang di restoran dan kaki lima. Yang nasibnya paling buruk adalah penduduk Jawa. Di kampungnya orang Jawa diperas oleh berbagai lapisan penguasa. Di luar kampungnya mereka dijadikan kuli perkebunan. Jangan pula kita berbicara tentang persamaan karakter. Seorang diplomat Aljazair pernah bilang kepada saya bahwa perbedaan antara Maroko, Aljazair, dan Tunisia lebih kecil ketimbang perbedaan antara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Belum lagi kita bicara tentang perbedaan antara generasi yang satu dan generasi yang lain. Sejarah yang dibaca memang lain dampaknya pada karakter dari sejarah yang dialami. Komunitas senasib dan persamaan karakter yang dibayangkan Otto Bauer pada tahun 1907 agak jauh dari kenyataan Indonesia tahun 2001. Godaan "Lebensraum" Kalau konsep geopolitik yang dikutip Ir. Sukarno dalam pidato "Lahirnja Pantja-Sila" dibatasi pada fakta pengaruh lingkungan bumi pada perkembangan politik saja, hal itu tak terlalu mencemaskan. Tapi, bila dikatakan bahwa Allah telah membuat peta Indonesia begitu "pas" sehingga dilindungi dua samudera di timur dan di barat, dan dijaga dua benua di utara dan di selatan, itu bisa dijadikan ajakan untuk ekspansi teritorial. Di Jerman, aliran geopolitik determinis telah menelurkan istilah "Lebensraum", yang digunakan sebagai pembenaran agresi Jerman di Perang Dunia II. Perbatasan Malaya, Brunei, Serawak, Indonesia, Filipina, dan Irian dibuat oleh Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugal. Mereka kumpul dan kongko-kongko, lalu main bagi-bagi tanah orang. Itu sebabnya mengapa Kalimantan krowak kepalanya, Irian dibelah rapi seperti memotong kue bolu dengan pisau tajam, dan Timor dipenggal dua. Jadi, bukan Tuhan yang menciptakan peta Indonesia. Reinterpretasi Tafsir kita atas sila kebangsaan tidak lulus ujian zaman, dan kita belum punya cetak biru untuk reinterpretasi itu. Yang sudah ada hanya perubahan yang berlangsung lebih cepat dari kesadaran kita. Tiba-tiba individu menggedor gerbang Negara, membawa pesan: Membesarnya daya individu tidak membuat kedaulatan negara menjadi lebih kecil. Banyak contoh negara yang menjadi lebih besar dengan terus menumbuhkan daya individual warganya. Tiba-tiba tembok perbatasan kita runtuh di mana-mana: uang keluar-masuk tanpa permisi. Informasi dapat dicomot setiap saat dari luar negeri tanpa harus minta visa. Berita tentang peristiwa yang sedang terjadi di Ulan Bator tiba seketika di warung sate di Adiwerna. Lembaga sensor, sebagai salah satu benteng terkukuh negara, ambruk. Tiba-tiba ribuan "anak kemarin sore" teriak-teriak di jalanan menuntut ini dan mengecam itu. Teman-teman mereka di seluruh dunia berperan sebagai seksi "cuap"-nya. Tak lama kemudian, biasanya, Dewan Keamanan PBB ikut turun tangan dalam hal-hal yang menurut hemat kita setengah abad yang lalu termasuk kedaulatan negara sepenuhnya. Dari lingkungan hidup sampai ke korupsi, dari hak asasi sampai ke hak buruh, seluruh dunia merasa berhak turut campur. Perubahan-perubahan dasar yang diiringi eskalasi kemiskinan dan kekerasan itulah yang menjadi material untuk membangun reinterpretasi kita atas sila kebangsaan. Nono Anwar Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus