Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rekonsiliasi Pasca-Pemilu 2019

Dengan tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 80 persen dalam Pemilihan Umum 2019, jelaslah mengapa terjadi beberapa perubahan suasana bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

23 April 2019 | 07.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Relawan Emak-emak Pro Demokrasi membawa poster bertuliskan KPU jangan curang dalam aksi di depan gedung KPU, Jakarta, Ahad, 21 April 2019.Relawan ini juga merupakan pendukung Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandi. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nova Riyanti Yusuf
Anggota Komisi IX DPR RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 80 persen dalam Pemilihan Umum 2019, jelaslah mengapa terjadi beberapa perubahan suasana bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Antusiasme tersebut menunjukkan pendewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Pendewasaan itu ditandai dengan pemahaman tentang hak pilih dan ikut menentukan hasil pemilu. Namun ada interpretasi lain bahwa sesungguhnya masyarakat yang begitu antusias mencoblos adalah bentuk mekanisme pertahanan diri untuk mencegah potensi chaos, konflik, atau bentuk-bentuk "mengerikan" lainnya, yang dikhawatirkan bisa menimpa Indonesia jika mereka berdiam diri di rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mekanisme pertahanan diri ini bertumbuh selama masa kampanye akibat fear-mongering atau kampanye menjual ketakutan yang dilakukan oleh "oknum-oknum" tim sukses yang terus meningkat sampai menjelang masa tenang. Akibatnya, masyarakat pun memberdayakan diri dan berbondong-bondong mencoblos untuk melindungi dirinya agar ancaman tersebut tidak menjadi kenyataan. Fear-mongering, yang kemudian diikuti oleh surat dari Susilo Bambang Yudhoyono yang menanggapi cara-cara kampanye yang berpotensi memecah-belah bangsa alih-alih berfokus pada sosialisasi visi-misi, ikut menyadarkan masyarakat bahwa hal seperti ini tidak bisa dibiarkan terjadi.

Polarisasi itu begitu ekstrem sehingga harus ada sebuah rencana rekonsiliasi pasca-pemilu. Gesekan-gesekan antara kubu pendukung Koalisi Indonesia Kerja dan Koalisi Indonesia Adil Makmur terjadi begitu keras, terutama di media sosial, yang telah tumbuh subur menjadi ladang hoaks yang miskin fakta, segregatif, dan primordial. Gesekan semacam ini terjadi untuk pertama kalinya di Indonesia saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017.

Kami di Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta bekerja sama dengan sebuah platform media sosial melakukan survei kecemasan terhadap 700 pengguna dengan 107 partisipan aktif. Instrumen yang digunakan adalah Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Mayoritas partisipan adalah milenial berusia 19-27 tahun. Salah satu hasil menunjukkan bahwa kecemasan pada partisipan pengguna media sosial dan aktif mencari berita ihwal pemilihan Gubernur DKI adalah 57,4 persen, dan kecemasan pada partisipan pengguna media sosial tapi tidak aktif mencari berita mengenai pemilihan Gubernur DKI adalah 56,4 persen. Hal ini wajar karena mudahnya informasi menyebar tanpa harus aktif mencari berita terkait.

Survei ini bersifat pendahuluan tapi minimal memberi gambaran bahwa kesehatan jiwa masyarakat dapat menjadi korban manuver politik. Sebelum Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil penghitungan suara secara resmi, seharusnya rencana rekonsiliasi mulai dirintis.

Sesungguhnya, sebuah kontestasi pemilihan presiden di sebuah negara yang besar seperti Indonesia akan tetap menempatkan pihak yang kalah pada posisi terhormat. Namun unjuk kekuatan yang berlangsung selama masa kampanye harus berhenti. Kedua kubu harus menanggalkan seragam atau atributnya. Siapa pun kubu yang kalah harus siap bertransformasi menjadi peran lain, misalnya menjadi oposisi di parlemen.

Pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif secara serentak pada tahun ini juga membuat rentang perhatian masyarakat tersedot kepada pasangan calon presiden-wakil presiden dan melupakan pemilu legislatif. Pemahaman calon pemilih tentang calon presiden dan wakil presiden sudah sangat memadai tapi masih kurang pada calon legislator.

Tak sedikit Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang mengimbau masyarakat untuk mencoblos partainya saja jika tidak mengenal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Partai politiklah yang kemudian menentukan suara itu diberikan kepada calon legislator yang mana. Akibatnya, hasil pemilu legislatif tetap menjadi preferensi partai politik, bukan suara rakyat yang diwakili.

Tidak sedikit pula pemilih yang asal mencoblos calon legislator, padahal tanggung jawab, privilege, dan fasilitas yang mereka dapat akan dimiliki selama lima tahun. Hal ini sangatlah mubazir. Ditambah lagi dengan berbagai kasus para kandidat yang menyiapkan amplop berisi uang untuk "serangan fajar". Hal ini bisa dilihat sebagai upaya frustrasi kandidat untuk memperkenalkan dirinya kepada konstituen.

Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh rakyat Indonesia saat ini karena peran mereka bisa dikatakan telah selesai saat mencoblos. Saat ini sampai pengumuman resmi hasil penghitungan suara adalah tugas penting dan utama KPU. Masyarakat harus mampu kembali ke jati diri masing-masing, melepaskan fanatisme atas pilihannya, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kalaupun pilihannya menang, mereka tidak boleh lengah dan tetap kritis terhadap kinerja pilihannya. Sesungguhnya, masyarakat bisa menjadi pihak yang lebih dewasa dan mengajari para elite untuk segera melakukan rekonsiliasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus