Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Remaja kota memandang desa

Remaja kota memandang desa itu pulai dikelilingi sawah yang membentang, penuh dengan kedamaian. mungkin mereka kurang latihan menghayati gejala & memikirkan secara asosiatif, merangkai dengan gejala lain.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAHKAH anda iseng menjajaki pengetahuan remaja kota kita mengenai dunia pedesaan? Saya terkejut mendengar bayangan mereka tentang kehidupan desa itu! Begini kira-kira . . . Desa itu pulau yang dikepung oleh sawah hijau dan kuning yang luas sekali. Sejauh mata memandang, hanya sawah saja yang kelihatan. Sawah itu subur. Desa itu kelihatan teduh dan damai. Pohon kelapa di mana-mana, melambai dengan indahnya. Penduduk desa, petani, bekerja keras di sawahnya dari pagi sampai petang. Sore dan malam hari mereka akan berkumpul dengan keluarga dengan tetangga. Mereka akan mengobrol dan mendongeng Anak-anak petani itu adalah anak-anak yang gembira dan bekerja keras membantu orang-tua mereka. Desa itu aman, tidak ada pencuri . . . Tidak semua pernyataan itu terekam secara mendetil di sini. Tetapi secara garis-besar begitulah citra yang mereka dapat dari desa. Yakni satu citra idyllic yang tata tentrem kerta raharja tentang desa. Dari manakah mereka mendapatkan citra yang demikian? Dari sekolah, dari pelajaran ilmu bumi, I.P.S., buku bacaan bahasa, dari ceritera pak guru? Atau dari orang-tua mereka? Atau dari tangkapan selintas waktu liburan, waktu mereka melihat desa itu dari balik jendela kereta-api atau bis? Saya tidak tahu pasti. Mungkin sekali semua itu memberikan sumbangannya dalam membangun citra desa yang demikian. Bila benar rekaman yang saya dapat dari para remaja itu adalah gambaran yang agak umum dari remaja di kepulauan kita ini, alangkah menarik! Setidaknya ia menceriterakan beberapa hal. Pertama, luputnya segi-keras kehidupan desa itu dari rekaman selain gambaran tentang para petani "yang bekerja keras dari pagi sampai petang . . . " Agaknya tidak tergambar oleh mereka bahwa pak tani yang harus bekerja keras itu tidak bisa lain dari demikian karena sempitnya kemungkinan di desa, karena tajamnya kompetisi di desa. Kerasnya kerja di desa agaknya lebih banyak mereka bayangkan sebagai satu gaya-hidup pedesaan -- yang tentu saja tidak terlalu salah pula. Juga bayangan seakan di desa itu tidak ada kejahatan, tidak ada pencurian. Padahal sejak zaman saya masih kecilpun ceritera tentang rampok dan kampak dan raja pati di desa-desa Jawa Timur telah sering saya dengar. Apa lagi sekarang. Berita-berita daerah dalam koran-koran (terutama koran daerah) alangkah sarat dengan tingkat kriminalitas yang makin "penuh fantasi" di desa-desa kita. Mertua malang yang diracun dengan endrin oleh sang menantu ayah yang dikeroyok beramai-ramai oleh anak-anaknya sendiri karena soal warisan -- tak ubahnya seperti Karamazov Bersaudara-nya Dostojevski perampokan berencana dengan membawa truk-kecil kepala desa yang dibunuh oleh warga-desanya di siang hari bolong selagi berkampanye tentang penghijauan desa -- kaleidoskop kejahatan itu tidak habisnya dilaporkan. Kedua, citra yang didapat para remaja itu tentang satu desa yang statis, yang mandek, bahkan agaknya juga abadi kemakmuran dan kesejahteraannya. Seakan dalam waktu berabad tidak ada satu gerak perubahan pun di dalam desa itu. Agaknya tidak tergambar oleh mereka itu akan gelombang transmigrasi yang secara beruntun digerakkan barisan yang tidak ada habisnya dari angkatan-kerja desa yang menyerbu masuk kota sebagai pembantu rumah-tangga dan buruh kasar hama wereng dan tikus yang melalap berhektar persawahan, banjir dan gempa-bumi yang bergantian bagai arisan alam menghantam desa-desa sepeda-motor Honda, Suzuki, Yamaha yang berngoing-ngoing menelusuri jalan-jalan desa yang biasa terkantuk oleh buaian klontung-klontung tarikan sapi pedati dan alangkah banyak lagi ceritera tentang gerak baru di dalam desa itu. Wah, apa yang terjadi dengan para remaja kota kita? Kurang cerdaskah mereka membaca gejala? Mungkin masalahnya bukan cerdas atau kurang cerdas. Di mana-mana, hampir pada setiap situasi, selalu ada remaja yang cerdas dan kurang cerdas dan bloon sama sekali. Masalahnya mungkin adalah masalah kurang latihan menghayati gejala dan memikirkannya secara "asosiatif", secara merangkai dengan berbagai citra penghayatan gejala yang lain. Saya khawatir informasi yang mereka terima baik dari sekolah, rumah dan masyarakat, terlalu banyak mereka terima sebagai informasi yang berkeping-keping, terisolasi yang satu dari yang lainnya. Mungkin saja mereka membaca di koran tentang segi keras dari kehidupan desa, kriminalitas desa dan sehari-hari berbicara dengan pembantu rumah-tangga. Tetapi keterangan tentang transmigrasi, hama wereng dan kenyataan hadirnya pembantu rumah-tangga yang rela menerima bayaran beberapa ribu rupiah dan tidur di lantai, tidak biasa mereka tangkap sebagai bagian dari satu gejala sosial-budaya besar dari desa. Sehingga segala dongeng dan ceritera yang idyllic tentang desa yang mereka dapat dari orang-tua mereka, dari guru mereka, dari berbagai buku teks yang sudah ketinggalan zaman dari ki dalang, dari film dan teve, dari roman picisan, dari lukisan lanskap yang menghiasi dinding rumah mereka, dari langskap yang benar mereka tangkap dari kejauhan waktu mereka naik kereta-api dan bis, adalah citra desa yang lebih dalam menghunjam dalam benak mereka ketimbang kaleidoskop informasi lain tentang desa itu. Agaknya kita melihat di sini berbagai gap, jurang pemisah antara pak guru, bapak-ibu dan berbagai media massa. Pak guru, seringkah anda mengajak klas anda jalan-jalan agak keluar kota sedikit? Mengajak murid-murid anda menyuruk-nyuruk di tengah pematang sawah, mengamati tubuh batang-padi, melihat sarang burung di pepohonan, berwawancara dengan penduduk desa tentang hidup di desa? Apa yang anda kerjakan dalam berbagai study-tour ke daerah pariwisata yang jauh itu dengan berbagai bis mewah yang ber-a.c. itu? Bapak-ibu, seringkah anda bawa anak-anak anda berziarah ke makam leluhur anda di kota kecil atau desa asal anda? Atau menyuruh anak-anak anda berlibur di rumah kakek, paman, bibi yang tinggal agak di pinggir-pinggir kota dan desa sana? Untuk mengobrol dengan mereka, bermain dengan sepupu desa, mengalami kehidupan mereka? Atau banyakkah anda mengobrol dengan anak-anak anda tentang apa yang mereka baca di koran atau di majalah remaja mereka? Atau mendorong anak-anak untuk lebih menghargai duka-cerita dari para pembantu di rumah? Atau mungkin anda lebih senang mengajak mereka berlibur ke Bali, Yogya, bahkan Singapura untuk sama-sama menikmati berbelanja di Lucky Plaza? Lho, untuk apa sederetan pertanyaan yang membosankan dan sok banget begini? Saya juga tidak tahu pasti. Dalam fantasi saya yang tidak ilmiah kalau kita banyak mengobrol dan jalan begitu dengan anak-anak, anak-anak itu jadi lebih hidup dan tidak terkotak fantasinya. Setidaknya kayaknya mereka itu jadi melihat banyak pilihan di dunia ini. Bukan hanya stereotip-stereotip saja. Anak-anak saya yang tinggal di Tebet itu tidak bisa membedakan suara burung kutilang dari burung kepodang. Untuk tahu itu mereka harus pergi ke pasar burung di jalan Pramuka. Kapan yang terakhir saya ajak mereka ke pasar-burung itu . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus