PERNAHKAH anda iseng menjajaki pengetahuan remaja kota kita
mengenai dunia pedesaan? Saya terkejut mendengar bayangan
mereka tentang kehidupan desa itu! Begini kira-kira . . .
Desa itu pulau yang dikepung oleh sawah hijau dan kuning yang
luas sekali. Sejauh mata memandang, hanya sawah saja yang
kelihatan. Sawah itu subur. Desa itu kelihatan teduh dan damai.
Pohon kelapa di mana-mana, melambai dengan indahnya.
Penduduk desa, petani, bekerja keras di sawahnya dari pagi
sampai petang. Sore dan malam hari mereka akan berkumpul dengan
keluarga dengan tetangga. Mereka akan mengobrol dan mendongeng
Anak-anak petani itu adalah anak-anak yang gembira dan bekerja
keras membantu orang-tua mereka. Desa itu aman, tidak ada
pencuri . . .
Tidak semua pernyataan itu terekam secara mendetil di sini.
Tetapi secara garis-besar begitulah citra yang mereka dapat dari
desa. Yakni satu citra idyllic yang tata tentrem kerta raharja
tentang desa.
Dari manakah mereka mendapatkan citra yang demikian? Dari
sekolah, dari pelajaran ilmu bumi, I.P.S., buku bacaan bahasa,
dari ceritera pak guru? Atau dari orang-tua mereka? Atau dari
tangkapan selintas waktu liburan, waktu mereka melihat desa itu
dari balik jendela kereta-api atau bis?
Saya tidak tahu pasti. Mungkin sekali semua itu memberikan
sumbangannya dalam membangun citra desa yang demikian.
Bila benar rekaman yang saya dapat dari para remaja itu adalah
gambaran yang agak umum dari remaja di kepulauan kita ini,
alangkah menarik! Setidaknya ia menceriterakan beberapa hal.
Pertama, luputnya segi-keras kehidupan desa itu dari rekaman
selain gambaran tentang para petani "yang bekerja keras dari
pagi sampai petang . . . " Agaknya tidak tergambar oleh mereka
bahwa pak tani yang harus bekerja keras itu tidak bisa lain dari
demikian karena sempitnya kemungkinan di desa, karena tajamnya
kompetisi di desa. Kerasnya kerja di desa agaknya lebih banyak
mereka bayangkan sebagai satu gaya-hidup pedesaan -- yang tentu
saja tidak terlalu salah pula.
Juga bayangan seakan di desa itu tidak ada kejahatan, tidak ada
pencurian. Padahal sejak zaman saya masih kecilpun ceritera
tentang rampok dan kampak dan raja pati di desa-desa Jawa Timur
telah sering saya dengar.
Apa lagi sekarang. Berita-berita daerah dalam koran-koran
(terutama koran daerah) alangkah sarat dengan tingkat
kriminalitas yang makin "penuh fantasi" di desa-desa kita.
Mertua malang yang diracun dengan endrin oleh sang menantu ayah
yang dikeroyok beramai-ramai oleh anak-anaknya sendiri karena
soal warisan -- tak ubahnya seperti Karamazov Bersaudara-nya
Dostojevski perampokan berencana dengan membawa truk-kecil
kepala desa yang dibunuh oleh warga-desanya di siang hari bolong
selagi berkampanye tentang penghijauan desa -- kaleidoskop
kejahatan itu tidak habisnya dilaporkan.
Kedua, citra yang didapat para remaja itu tentang satu desa yang
statis, yang mandek, bahkan agaknya juga abadi kemakmuran dan
kesejahteraannya. Seakan dalam waktu berabad tidak ada satu
gerak perubahan pun di dalam desa itu.
Agaknya tidak tergambar oleh mereka itu akan gelombang
transmigrasi yang secara beruntun digerakkan barisan yang tidak
ada habisnya dari angkatan-kerja desa yang menyerbu masuk kota
sebagai pembantu rumah-tangga dan buruh kasar hama wereng dan
tikus yang melalap berhektar persawahan, banjir dan gempa-bumi
yang bergantian bagai arisan alam menghantam desa-desa
sepeda-motor Honda, Suzuki, Yamaha yang berngoing-ngoing
menelusuri jalan-jalan desa yang biasa terkantuk oleh buaian
klontung-klontung tarikan sapi pedati dan alangkah banyak lagi
ceritera tentang gerak baru di dalam desa itu.
Wah, apa yang terjadi dengan para remaja kota kita? Kurang
cerdaskah mereka membaca gejala?
Mungkin masalahnya bukan cerdas atau kurang cerdas. Di
mana-mana, hampir pada setiap situasi, selalu ada remaja yang
cerdas dan kurang cerdas dan bloon sama sekali. Masalahnya
mungkin adalah masalah kurang latihan menghayati gejala dan
memikirkannya secara "asosiatif", secara merangkai dengan
berbagai citra penghayatan gejala yang lain.
Saya khawatir informasi yang mereka terima baik dari sekolah,
rumah dan masyarakat, terlalu banyak mereka terima sebagai
informasi yang berkeping-keping, terisolasi yang satu dari yang
lainnya.
Mungkin saja mereka membaca di koran tentang segi keras dari
kehidupan desa, kriminalitas desa dan sehari-hari berbicara
dengan pembantu rumah-tangga. Tetapi keterangan tentang
transmigrasi, hama wereng dan kenyataan hadirnya pembantu
rumah-tangga yang rela menerima bayaran beberapa ribu rupiah dan
tidur di lantai, tidak biasa mereka tangkap sebagai bagian dari
satu gejala sosial-budaya besar dari desa.
Sehingga segala dongeng dan ceritera yang idyllic tentang desa
yang mereka dapat dari orang-tua mereka, dari guru mereka, dari
berbagai buku teks yang sudah ketinggalan zaman dari ki dalang,
dari film dan teve, dari roman picisan, dari lukisan lanskap
yang menghiasi dinding rumah mereka, dari langskap yang benar
mereka tangkap dari kejauhan waktu mereka naik kereta-api dan
bis, adalah citra desa yang lebih dalam menghunjam dalam benak
mereka ketimbang kaleidoskop informasi lain tentang desa itu.
Agaknya kita melihat di sini berbagai gap, jurang pemisah antara
pak guru, bapak-ibu dan berbagai media massa.
Pak guru, seringkah anda mengajak klas anda jalan-jalan agak
keluar kota sedikit? Mengajak murid-murid anda menyuruk-nyuruk
di tengah pematang sawah, mengamati tubuh batang-padi, melihat
sarang burung di pepohonan, berwawancara dengan penduduk desa
tentang hidup di desa? Apa yang anda kerjakan dalam berbagai
study-tour ke daerah pariwisata yang jauh itu dengan berbagai
bis mewah yang ber-a.c. itu?
Bapak-ibu, seringkah anda bawa anak-anak anda berziarah ke
makam leluhur anda di kota kecil atau desa asal anda? Atau
menyuruh anak-anak anda berlibur di rumah kakek, paman, bibi
yang tinggal agak di pinggir-pinggir kota dan desa sana? Untuk
mengobrol dengan mereka, bermain dengan sepupu desa, mengalami
kehidupan mereka?
Atau banyakkah anda mengobrol dengan anak-anak anda tentang apa
yang mereka baca di koran atau di majalah remaja mereka? Atau
mendorong anak-anak untuk lebih menghargai duka-cerita dari para
pembantu di rumah? Atau mungkin anda lebih senang mengajak
mereka berlibur ke Bali, Yogya, bahkan Singapura untuk sama-sama
menikmati berbelanja di Lucky Plaza?
Lho, untuk apa sederetan pertanyaan yang membosankan dan sok
banget begini?
Saya juga tidak tahu pasti. Dalam fantasi saya yang tidak ilmiah
kalau kita banyak mengobrol dan jalan begitu dengan anak-anak,
anak-anak itu jadi lebih hidup dan tidak terkotak fantasinya.
Setidaknya kayaknya mereka itu jadi melihat banyak pilihan di
dunia ini. Bukan hanya stereotip-stereotip saja.
Anak-anak saya yang tinggal di Tebet itu tidak bisa membedakan
suara burung kutilang dari burung kepodang. Untuk tahu itu
mereka harus pergi ke pasar burung di jalan Pramuka. Kapan yang
terakhir saya ajak mereka ke pasar-burung itu . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini