BULAN ini bercinta dengan orang India di Bombay. Bulan depan
dengan amoy di Hongkong. Bulan berikutnya kapal mendarat di
pelabuhan asal: istri dan anak-anak hampir tak sabar menunggu.
Tapi beberapa hari kemudian harus berpisah lagi: pelaut itu
kembali ke kapalnya, menuju pelabuhan demi pelabuhan.
"Itu memang realitas kehidupan anak kapal," tutur Subiyanto,
juru mudi kapal Anheng, milik orang Hongkong berbendera Panama.
Ia sendiri mengaku paling senang bercinta di Bangkok. "Soalnya
murah, sesuai dengan ukuran kantung saya," katanya lagi.
Menurut Subiyanto (29 tahun) yang berasal dari Nganjuk (Jawa
Tengah) ini, ukuran cinta -- dalam tanda petik -- di Bangkok
tidak terlalu tinggi. Pegang uang 500 bath (sekitar Rp 14 ribu)
sudah cukup berani menemui Mana San alias germo. Soalnya
bandrol cinta di situ hanya 200 bath. Bandingkan misalnya dengan
cinta di Hongkong, dengan uang Rp 15 ribu paling banter hanya
cukup untuk bertahan di bar selama satu jam -- duduk-duduk saja.
"Apalagi wanita-wanita Thailand sangat komnikatif," kata Yanto.
Shanghai
Apakah kesempatan bercinta itu mendorong pemuda pendek hitam dan
bercambang ini jadi pelaut? Ternyata tidak. Meskipun sampai
sekarang belum beristri, Yanto sadar pelaut yang setahun sekali
baru bisa pulang, bukan penghidupan yang ideal untuknya. Waktu
kecil sebenarnya ia bercita-cita menjadi pegawai negeri. Pada
1971, ketika lulus STM, ia melamar ke Pemda tingkat II Nganjuk.
Tapi berbulan-bulan lewat, tak ada berita. Padahal sebagai anak
sulung dari 6 bersaudara ia merasa bertanggung jawab untuk
melancarkan napas adik adiknya yang Senen-Kemis. Maklum ayahnya
hanya pensiunan Sersan Polisi. Ibunya tak ada lagi. Ia pun
berangkat ke Surabaya.
Di Surabaya, diploma STM hanya mampu mengantarnya menjadi
tukang pecah batu jalanan. Sebulan ia memeras keringat.
Kemudian meloncat ke Jakarta sebagai tukang parkir mobil.
Potongan tubuh serta wajahnya yang seram jauh lebih berguna dari
diplomanya. "Tapi tentu saja saya tak puas," katanya
mengenangkan. Waktu itulah muncul seorang kawan sekolahnya yang
sudah menjadi awak kapal. Dengan bantuan teman itu, Yanto
diterima sebagai kelasi di kapal Tongyit -- sebuah kapal barang
Singapura yang punya rute Jepang-RRC-Timur Tengah.
Ketika orang masih merasa asing tentang RRC, Yanto sudah
berkeliaran di Shanghai dan Kanton. Tapi selama di negeri Cina
itu, ia selalu dikuntiti intel. "Orang itu bisa berbahasa
Indonesia," kata Yanto. Akibatnya Yanto jadi sulit berhubungan
dengan orang. Minta api saja orang langsung menghindar, takut
pada intel tersebut. "Mereka bikin saya seperti orang
berpenyakit kusta," kata Yanto lagi. Tapi itu dulu. Sekarang
tidak lagi. Dua bulan yang lalu ketika ia ke Shanghai lagi,
sudah tidak dibuntuti intel. "Orang-orang Cina itu sudah agak
ramah," tutur Yanto.
Selama 7 tahun makan angin laut, Yanto sudah mengecap pengalaman
di banyak kapal. Dari kelasi, pangkatnya naik menjadi jurumudi
sejak tahun lalu. Jumlah gaji yang Rp 30 ribu pun melonjak jadi
Rp 90 ribu. Belum termasuk beberapa tambahan seperti over time
dan sebagainya. Total, setiap bulan ia bisa menggenggam Rp 120
ribu. Tapi uang itu ludes setiap bulan seperti dijilat topan.
Habis untuk bercinta? "Tidak. Saya bercinta kalau betul-betul
sedang butuh saja," ujarnya.
Yanto selalu mengirim uang untuk membiayai adik-adiknya.
Hasilnya bagus. Seorang adiknya sudah jadi guru. Yang lain jadi
pegawai Pemda. Sisanya masih di SMP. "Kalau adik saya semua
sudah jadi orang, saya akan pulang ke darat dan baru berpikir
untuk kawin," kata Yanto. Pada 1974 ia pernah berniat berpisah
dengan laut, gara-gara kapalnya disapu taipun Nora di Lautan
Teduh. Dua buah kapal lain tenggelam, ia sendiri untung selamat.
"Wah setengah mati ngerinya," kata Yanto mengenangkan. Tetapi
begitu sampai di pelabuhan, keinginannya jadi pelaut bangkit
lagi. "Soalnya siapa nanti yang membiayai adik-adik saya,"
katanya.
Hasan Basri seorang kelahiran Ende, Flores, sudah 29 tahun
bekerja sebagai koki kapal. Karirnya dimulai sebagai kuli
pelabuhan di Ujungpandang pada 1951. Enam tahun kemudian ia
pindah ke kapal Pelni. Karena pendidikannya hanya SD serta tidak
ada keahlian lain, ia tercampak ke dapur. "Kerja apa saja saya
mau, asal bisa melihat beberapa negara," ujarnya.
Begitu Hasan (47 tahun) masuk ke kapal, ia mulai melihat
Singapura, Hongkong dan Jepang. "Kalau tidak kerja di kapal,
seperti saya ini tidak mungkin melihat negara lain," katanya
dengan bangga. Sejarahnya sebagai koki kapal memang diawali oleh
kesenangan mengembara. Akan tetapi kesenangan itu perlahan-lahan
susut, sejak ia menikah dengan Sofiyah asal Purwokerto (pada
1959) dan kini sudah menghasilkan 7 anak dan dua cucu.
Pada 1970 datanglah cobaan. Nama Hasan tercantum dalam berita di
bulletin Pelni yang menulis suka-duka istri pelaut. Tak disangka
Sofiyah, istrinya pasang omong pada wartawan, bahwa ia tidak
pernah mendapat kiriman uang. Juga bahwa Hasan tidak pernah
pulang. "Aduh, sakit, sakit sekali," kata Hasan mengenangkan.
Sebab ia merasa selalu mengirim uang dan sering pulang. Karena
tulisan itu Hasan dipanggil oleh Kapten kapal.
Setelah diselidiki, ketahuan berita itu didorong oleh kemarahan
istrinya mendengar Hasan suka menghambur-hamburkan uang di luar
rumah untuk main dengan wanita lain. Sumbernya ternyata kawan
Hasan sendiri yang iri hati karena mengira rute kapal Hasan
(Jakarta-Singapura) adalah jalur "basah". Tujuan utama adalah
agar Hasan dipindahkan. "Tiga kali saya mengalami hal yang
demikian," kata Hasan pada TEMPO. Tapi ia selalu berhasil
menangkis setiap fitnah itu.
Tapi diakuinya dalam waktu tiga bulan paling banter hanya kumpul
4 hari dengan keluarganya. "Apa boleh buat. Kerja lain tidak
bisa," katanya mengaku.
Dipanggil Oom
Akibat jarang di rumah, ada anaknya yang memanggil dia "Oom".
"Itu kan sedih. Alhamdulillah istri saya termasuk tabah," kata
Hasan kemudian. Ia juga kagum karena istrinya bisa mengatur
gajinya yang hanya Rp 43 ribu untuk makan dan menanggung biaya
sekolah anak-anak mereka. Ia mengaku rajin bersembahyang dan
berpuasa karena dorongan Istrinya.
Menjadi koki di kapal Sapudi, Hasan harus melayani 27 orang
perwira. Tak jarang ia kerja dua kali. Karena terkadang perwira
tidak makan bersama-sama. Padahal kalau kebetulan masakannya
enak, yang makan belakangan tidak akan kebagian. Sehingga ia
harus masak lagi. Dan kalau berlabuh sementara orang-orang sudah
berjalan-jalan, ia masih belepotan bumbu masak. "Waktu masih
muda memang enak jadi pelaut. Kalau sudah ada istri, anak dan
terutama cucu, rasanya menyesal kerja di laut," kata Hasan.
Cita-cita Hasan sebagai koki laut adalah menyekolahkan semua
anaknya. Kemudian kalau bisa kerja di darat saja. "Mudah ketemu,
kalau ada apa-apa gampang dilihat famili," kata Hasan dengan
sungguh-sungguh.
Matrawi (46 tahun) kelahiran Gresik yang sudah 19 tahun
berpengalaman sebagai pelaut, juga sering rindu pada keluarga.
Setiap kali kapal Pelni tempatnya bekerja berlabuh di Surabaya,
ia selalu menengok keluarganya di Gresik. "Mungkin karena jarang
kumpul dengan istri saya hanya dikaruniai satu anak," ujarnya.
Kini ia bekerja untuk kapal Selajar sebagai "misteri" -- perawat
perlengkapan kapal.
Gajinya hanya Rp 46 ribu. Setiap bulan, Muntamah, istrinya,
mengambil Rp 30 ribu dari gaji itu di kantor Pelni Surabaya.
Sisanya diterima oleh lelaki ini di atas kapal. "Jarang saya
main perempuan, karena takut pada Tuhan." Ia juga mengaku tak
pernah meneguk minuman keras.
Setiap hari Matrawi mulai bekerja pukul 8 pagi. Ia memeriksa
skrup dan baut, kalau-kalau ada yang longgar. Kemudian mengukur
persediaan air, jangan sampai kekurangan. Kemudian melihat
palka, merapikan terpal, plat dan segala tetek bengek lainnya.
Jika air kurang, Matrawi akan naik ke anjungan, lapor pada
Mualim I. Mualim I akan menyalin laporan Matrawi dalam
catatannya, lalu berhubungan dengan daratan. Matrawi kemudian
tinggal menunggu air datang "Kalau kapal butuh 40 ton air, kita
harus menyediakan 100 ton, tak boleh pas-pasan," ujarnya. "Air
berguna untuk menstabilkan posisi kapal. Jika kapal kurang
stabil, tinggal memindahkan air atau membuangnya," kata Matrawi
kemudian.
Hasnul Arifin, Masinis III MV Balantang -- sebuah kapal yang
diageni Lian sanshipping, Singapura, enggan berumah-tangga
meskipun sudah berusia 35 tahun. "Rencana kawin sudah lama. Tapi
prinsip saya, kalau berumah-tangga harus kerja di darat. Bukan
karena saya tak punya duit untuk kawin," ujarnya, "tidak terlalu
berarti rumah tangga kalau tak kumpul."
Ia menjadi pelaut bukan untuk melanglang buana, tapi untuk
membantu orang tuanya yang menanggung 10 anak. Barangkali ia
salah satu dari pelaut yang berusaha untuk tidak main perempuan
dan minum. "Kalau kita tidak ada tanggungjawab memang pelaut
bisa tergelincir jadi pemabok dan main perempuan," kata Hasnul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini