Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Cinta Di Tiap Pelabuhan

Beberapa pengalaman dari pelaut-pelaut indonesia yang penuh dengan suka dan duka. ada yang suka bercinta ada yang taat pada agama. ada juga yang status bujangan. (sd)

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN ini bercinta dengan orang India di Bombay. Bulan depan dengan amoy di Hongkong. Bulan berikutnya kapal mendarat di pelabuhan asal: istri dan anak-anak hampir tak sabar menunggu. Tapi beberapa hari kemudian harus berpisah lagi: pelaut itu kembali ke kapalnya, menuju pelabuhan demi pelabuhan. "Itu memang realitas kehidupan anak kapal," tutur Subiyanto, juru mudi kapal Anheng, milik orang Hongkong berbendera Panama. Ia sendiri mengaku paling senang bercinta di Bangkok. "Soalnya murah, sesuai dengan ukuran kantung saya," katanya lagi. Menurut Subiyanto (29 tahun) yang berasal dari Nganjuk (Jawa Tengah) ini, ukuran cinta -- dalam tanda petik -- di Bangkok tidak terlalu tinggi. Pegang uang 500 bath (sekitar Rp 14 ribu) sudah cukup berani menemui Mana San alias germo. Soalnya bandrol cinta di situ hanya 200 bath. Bandingkan misalnya dengan cinta di Hongkong, dengan uang Rp 15 ribu paling banter hanya cukup untuk bertahan di bar selama satu jam -- duduk-duduk saja. "Apalagi wanita-wanita Thailand sangat komnikatif," kata Yanto. Shanghai Apakah kesempatan bercinta itu mendorong pemuda pendek hitam dan bercambang ini jadi pelaut? Ternyata tidak. Meskipun sampai sekarang belum beristri, Yanto sadar pelaut yang setahun sekali baru bisa pulang, bukan penghidupan yang ideal untuknya. Waktu kecil sebenarnya ia bercita-cita menjadi pegawai negeri. Pada 1971, ketika lulus STM, ia melamar ke Pemda tingkat II Nganjuk. Tapi berbulan-bulan lewat, tak ada berita. Padahal sebagai anak sulung dari 6 bersaudara ia merasa bertanggung jawab untuk melancarkan napas adik adiknya yang Senen-Kemis. Maklum ayahnya hanya pensiunan Sersan Polisi. Ibunya tak ada lagi. Ia pun berangkat ke Surabaya. Di Surabaya, diploma STM hanya mampu mengantarnya menjadi tukang pecah batu jalanan. Sebulan ia memeras keringat. Kemudian meloncat ke Jakarta sebagai tukang parkir mobil. Potongan tubuh serta wajahnya yang seram jauh lebih berguna dari diplomanya. "Tapi tentu saja saya tak puas," katanya mengenangkan. Waktu itulah muncul seorang kawan sekolahnya yang sudah menjadi awak kapal. Dengan bantuan teman itu, Yanto diterima sebagai kelasi di kapal Tongyit -- sebuah kapal barang Singapura yang punya rute Jepang-RRC-Timur Tengah. Ketika orang masih merasa asing tentang RRC, Yanto sudah berkeliaran di Shanghai dan Kanton. Tapi selama di negeri Cina itu, ia selalu dikuntiti intel. "Orang itu bisa berbahasa Indonesia," kata Yanto. Akibatnya Yanto jadi sulit berhubungan dengan orang. Minta api saja orang langsung menghindar, takut pada intel tersebut. "Mereka bikin saya seperti orang berpenyakit kusta," kata Yanto lagi. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Dua bulan yang lalu ketika ia ke Shanghai lagi, sudah tidak dibuntuti intel. "Orang-orang Cina itu sudah agak ramah," tutur Yanto. Selama 7 tahun makan angin laut, Yanto sudah mengecap pengalaman di banyak kapal. Dari kelasi, pangkatnya naik menjadi jurumudi sejak tahun lalu. Jumlah gaji yang Rp 30 ribu pun melonjak jadi Rp 90 ribu. Belum termasuk beberapa tambahan seperti over time dan sebagainya. Total, setiap bulan ia bisa menggenggam Rp 120 ribu. Tapi uang itu ludes setiap bulan seperti dijilat topan. Habis untuk bercinta? "Tidak. Saya bercinta kalau betul-betul sedang butuh saja," ujarnya. Yanto selalu mengirim uang untuk membiayai adik-adiknya. Hasilnya bagus. Seorang adiknya sudah jadi guru. Yang lain jadi pegawai Pemda. Sisanya masih di SMP. "Kalau adik saya semua sudah jadi orang, saya akan pulang ke darat dan baru berpikir untuk kawin," kata Yanto. Pada 1974 ia pernah berniat berpisah dengan laut, gara-gara kapalnya disapu taipun Nora di Lautan Teduh. Dua buah kapal lain tenggelam, ia sendiri untung selamat. "Wah setengah mati ngerinya," kata Yanto mengenangkan. Tetapi begitu sampai di pelabuhan, keinginannya jadi pelaut bangkit lagi. "Soalnya siapa nanti yang membiayai adik-adik saya," katanya. Hasan Basri seorang kelahiran Ende, Flores, sudah 29 tahun bekerja sebagai koki kapal. Karirnya dimulai sebagai kuli pelabuhan di Ujungpandang pada 1951. Enam tahun kemudian ia pindah ke kapal Pelni. Karena pendidikannya hanya SD serta tidak ada keahlian lain, ia tercampak ke dapur. "Kerja apa saja saya mau, asal bisa melihat beberapa negara," ujarnya. Begitu Hasan (47 tahun) masuk ke kapal, ia mulai melihat Singapura, Hongkong dan Jepang. "Kalau tidak kerja di kapal, seperti saya ini tidak mungkin melihat negara lain," katanya dengan bangga. Sejarahnya sebagai koki kapal memang diawali oleh kesenangan mengembara. Akan tetapi kesenangan itu perlahan-lahan susut, sejak ia menikah dengan Sofiyah asal Purwokerto (pada 1959) dan kini sudah menghasilkan 7 anak dan dua cucu. Pada 1970 datanglah cobaan. Nama Hasan tercantum dalam berita di bulletin Pelni yang menulis suka-duka istri pelaut. Tak disangka Sofiyah, istrinya pasang omong pada wartawan, bahwa ia tidak pernah mendapat kiriman uang. Juga bahwa Hasan tidak pernah pulang. "Aduh, sakit, sakit sekali," kata Hasan mengenangkan. Sebab ia merasa selalu mengirim uang dan sering pulang. Karena tulisan itu Hasan dipanggil oleh Kapten kapal. Setelah diselidiki, ketahuan berita itu didorong oleh kemarahan istrinya mendengar Hasan suka menghambur-hamburkan uang di luar rumah untuk main dengan wanita lain. Sumbernya ternyata kawan Hasan sendiri yang iri hati karena mengira rute kapal Hasan (Jakarta-Singapura) adalah jalur "basah". Tujuan utama adalah agar Hasan dipindahkan. "Tiga kali saya mengalami hal yang demikian," kata Hasan pada TEMPO. Tapi ia selalu berhasil menangkis setiap fitnah itu. Tapi diakuinya dalam waktu tiga bulan paling banter hanya kumpul 4 hari dengan keluarganya. "Apa boleh buat. Kerja lain tidak bisa," katanya mengaku. Dipanggil Oom Akibat jarang di rumah, ada anaknya yang memanggil dia "Oom". "Itu kan sedih. Alhamdulillah istri saya termasuk tabah," kata Hasan kemudian. Ia juga kagum karena istrinya bisa mengatur gajinya yang hanya Rp 43 ribu untuk makan dan menanggung biaya sekolah anak-anak mereka. Ia mengaku rajin bersembahyang dan berpuasa karena dorongan Istrinya. Menjadi koki di kapal Sapudi, Hasan harus melayani 27 orang perwira. Tak jarang ia kerja dua kali. Karena terkadang perwira tidak makan bersama-sama. Padahal kalau kebetulan masakannya enak, yang makan belakangan tidak akan kebagian. Sehingga ia harus masak lagi. Dan kalau berlabuh sementara orang-orang sudah berjalan-jalan, ia masih belepotan bumbu masak. "Waktu masih muda memang enak jadi pelaut. Kalau sudah ada istri, anak dan terutama cucu, rasanya menyesal kerja di laut," kata Hasan. Cita-cita Hasan sebagai koki laut adalah menyekolahkan semua anaknya. Kemudian kalau bisa kerja di darat saja. "Mudah ketemu, kalau ada apa-apa gampang dilihat famili," kata Hasan dengan sungguh-sungguh. Matrawi (46 tahun) kelahiran Gresik yang sudah 19 tahun berpengalaman sebagai pelaut, juga sering rindu pada keluarga. Setiap kali kapal Pelni tempatnya bekerja berlabuh di Surabaya, ia selalu menengok keluarganya di Gresik. "Mungkin karena jarang kumpul dengan istri saya hanya dikaruniai satu anak," ujarnya. Kini ia bekerja untuk kapal Selajar sebagai "misteri" -- perawat perlengkapan kapal. Gajinya hanya Rp 46 ribu. Setiap bulan, Muntamah, istrinya, mengambil Rp 30 ribu dari gaji itu di kantor Pelni Surabaya. Sisanya diterima oleh lelaki ini di atas kapal. "Jarang saya main perempuan, karena takut pada Tuhan." Ia juga mengaku tak pernah meneguk minuman keras. Setiap hari Matrawi mulai bekerja pukul 8 pagi. Ia memeriksa skrup dan baut, kalau-kalau ada yang longgar. Kemudian mengukur persediaan air, jangan sampai kekurangan. Kemudian melihat palka, merapikan terpal, plat dan segala tetek bengek lainnya. Jika air kurang, Matrawi akan naik ke anjungan, lapor pada Mualim I. Mualim I akan menyalin laporan Matrawi dalam catatannya, lalu berhubungan dengan daratan. Matrawi kemudian tinggal menunggu air datang "Kalau kapal butuh 40 ton air, kita harus menyediakan 100 ton, tak boleh pas-pasan," ujarnya. "Air berguna untuk menstabilkan posisi kapal. Jika kapal kurang stabil, tinggal memindahkan air atau membuangnya," kata Matrawi kemudian. Hasnul Arifin, Masinis III MV Balantang -- sebuah kapal yang diageni Lian sanshipping, Singapura, enggan berumah-tangga meskipun sudah berusia 35 tahun. "Rencana kawin sudah lama. Tapi prinsip saya, kalau berumah-tangga harus kerja di darat. Bukan karena saya tak punya duit untuk kawin," ujarnya, "tidak terlalu berarti rumah tangga kalau tak kumpul." Ia menjadi pelaut bukan untuk melanglang buana, tapi untuk membantu orang tuanya yang menanggung 10 anak. Barangkali ia salah satu dari pelaut yang berusaha untuk tidak main perempuan dan minum. "Kalau kita tidak ada tanggungjawab memang pelaut bisa tergelincir jadi pemabok dan main perempuan," kata Hasnul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus