Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Perebutan Di Sungai Buaya

Pengusaha lemah batu koral di sungai buaya tidak diperpanjang izinnya. perselisihan terjadi karena ada pengusaha yang mendapat izin gubernur mengusahakan batu koral.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK seperti biasanya, belasan orang pengambil batu koral di Sungai Buaya akhir-akhir ini menyelitkan parang di pinggang. Di seberang lain tampak pula belasan pekerja membangun jalan 1 km menuju tepi sungai. Sebuah buldoser menguruk tanah selalu dikawal beberapa orang anggota Polri. Hari-hari belakangan ini suasana di Sungai Buaya memang terasa tegang. Penduduk yang sudah turun-temurun mengusahakan tangkahan (pengambilan koral) di sungai itu merasa terancam oleh PT Panca Satrya Harapan (PSH) sebuah perusahaan yang mendapat izin mengeruk batu kali itu. Sungai Buaya mengalir dari dataran tinggi Karo melewati 3 kecamatan yaitu Kotarih, Galang dan Bangun Purba di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Semula usaha penduduk yang turun temurun menambang batu dari sungai itu tidak memerlukan izin. Tapi sejak ada penertiban, 1957, penduduk diharuskan mengurus izin ke kantor wedana di Lubuk Pakam. Selanjutnya izin harus diurus ke kantor bupati. Setelah melalui proses berbelit, ada 6 orang penduduk setempat yang mendapat izin. Tak kurang dari 200 orang bekerja dengan cara bagi hasil pada 6 pengusaha tadi: mengorek koral, mengangkutnya ke dalam truk dan membawanya ke tempat yang membutuhkan. Ketika harga koral masih Rp 300/kubik, tidak banyak orang memperhatikan batu-batu di Sungai Buaya. Belakangan ketika setiap kubik mencapai Rp 2.000, sungai itu menjadi rebutan. Kenaikan harga ini terutama sejak Pelita I ketika pemerintah menggalakkan pembangunan jalan-jalan di Sumatera Utara. Apalagi sejak 1976 ketika jalan raya Tebing Tinggi-Rantau Prapat sepanjang 209 km mulai dibangun dan jalan kereta api di Sumatera Utara direhabilitasi. PT Kadi -- perusahaan patungan dengan modal Jepang -- yang menangani pembangunan jalan raya tersebut, mengirim peninjau ke Sungai Buaya. "Ketika itu kami pikir koral akan dibeli mahal oleh PT Kadi," tutur Syahbudin, Kepala Desa Paku, Kecamatan Galang dan salah seorang yang mendapat izin mengusahakan batu di Sungai Buaya. Karena itu ke-6 penduduk yang mendapat izin tadi buru-buru menawarkan koral kepada PT Kadi -- tapi tidak mendapat sambutan. Sebab ternyata perusahaan itu telah mendapat izin Bupati Deli Serdang untuk membuka tangkahan sendiri sepanjang 2 km di Sungai Buaya itu. PT Kadi selanjutnya menyerahkan pelaksanaan penambangan kepada PSH. Selain itu PT Kadi juga menunjuk PT Daya Mitra membuka pabrik pemecah batu di Desa Paku. Dilengkapi mesin pengeruk koral, pabnk itu mempekerjakan 15 orang. Mula-mula 6 pengusaha lemah di Sungai Buaya itu tidak bereaksi "karena tangkaban kami tidak diganggu," seperti kata Simanjuntak salah seorang pengusaha lemah itu. Tapi sejak 1978 mereka resah. Terutama karena perpanjangan izin usaha mereka ditolak. Dalam Perda No. 4/1978 yang berhak mengeluarkan izin adalah gubernur. Tapi tiba-tiba di sekitar beberapa tangkahan yang pernah diberikan kepada penduduk terbaca pengumuman: areal itu akan diserahkan kepada PSH. Segera ke enam pengusaha itu mengajukan keberatan kepada gubernur. Kepada gubernur dilaporkan juga bahwa sebagian batu koral itu dijual kepada perusahaan lain--tak seluruhnya untuk membangun jalan proyek PT Kadi. Awal 1979, malah keluar 4 SK Gubernur Sumatera Utara memberi izin kepada PSH menguasai tangkaban sepanjang 20 km. Sekali lagi 6 pengusaha Sungai Buaya berusaha mengadu kepada Gubernur. Tapi sampai 6 kali mereka gagal bertemu muka dengan EWP Tambunan. Pengaduan ke DPRD Sumatera Utara pun tanpa hasil. Gubernur memang ada menunjuk areal baru buat tangkaban para pengusaha lemah tadi yaitu 5 km arah ke hulu. Tapi tak ada jalan ke sana dan ditolak oleh ke-6 pengusaha itu. Menakut-nakuti "Tindakan pemerintah daerah itu tidak sesuai dengan Keppres 14 yang melindungi pengusaha lemah. Kalau memang butuh koral, seharusnya PT Kadi membelinya dari kami," kata Haji Amir Siahaan Ketua HlPLI (Himpunan Pengusaha Lemah Indonesia) Kabupaten Deli Serdang. Protes para pengusaha lemah itu tak urung menyulitkan PSH menambang batu koral. Usaha pembangunan jalan menuju sungai juga tak kunjung siap karena selalu dihadang penduduk. Akhirnya PT Kadi minta bantuan POMABRI dari Medan untuk mengawal pekerja-pekerja PSH. Para pengawal ini sempat meletuskan senjata api beberapa kali di Sungai Buaya untuk menakut-nakuti penduduk yang sedang mengorek koral. Seminggu kemudian, awal Februari 80, belasan penduduk menyerbu barak-barak PSH di seberang utara Sungai Buaya. Beberapa petugas PSH cedera. Sebagai buntutnya pengawalan terhadap para petugas PSH diperketat. Dan Asmain, seorang dari 6 pengusaha Sungai Buaya, ditangkap. Penduduk tetap bertahan. "Sampai titik darah terakhir, tangkahan ini akan kami pertahankan," kata Amir Siahaan. Sejak itu sambil mengorek koral, penduduk menyelitkan parang di pinggang. Tapi tak lupa mereka juga mengadukan persoalan batu koral ini lewat surat kepada Presiden Soeharto. Semula pekan lalu mereka akan mengadukan hal itu pula kepada DPR-RI di Jakarta, tapi urung, mungkin karena menduga jika lembaga itu sedang reses seperti sekarang tak dapat menerima pengaduan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus