TIDAK seperti biasanya, belasan orang pengambil batu koral di
Sungai Buaya akhir-akhir ini menyelitkan parang di pinggang. Di
seberang lain tampak pula belasan pekerja membangun jalan 1 km
menuju tepi sungai. Sebuah buldoser menguruk tanah selalu
dikawal beberapa orang anggota Polri.
Hari-hari belakangan ini suasana di Sungai Buaya memang terasa
tegang. Penduduk yang sudah turun-temurun mengusahakan tangkahan
(pengambilan koral) di sungai itu merasa terancam oleh PT Panca
Satrya Harapan (PSH) sebuah perusahaan yang mendapat izin
mengeruk batu kali itu. Sungai Buaya mengalir dari dataran
tinggi Karo melewati 3 kecamatan yaitu Kotarih, Galang dan
Bangun Purba di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Semula usaha penduduk yang turun temurun menambang batu dari
sungai itu tidak memerlukan izin. Tapi sejak ada penertiban,
1957, penduduk diharuskan mengurus izin ke kantor wedana di
Lubuk Pakam. Selanjutnya izin harus diurus ke kantor bupati.
Setelah melalui proses berbelit, ada 6 orang penduduk setempat
yang mendapat izin. Tak kurang dari 200 orang bekerja dengan
cara bagi hasil pada 6 pengusaha tadi: mengorek koral,
mengangkutnya ke dalam truk dan membawanya ke tempat yang
membutuhkan.
Ketika harga koral masih Rp 300/kubik, tidak banyak orang
memperhatikan batu-batu di Sungai Buaya. Belakangan ketika
setiap kubik mencapai Rp 2.000, sungai itu menjadi rebutan.
Kenaikan harga ini terutama sejak Pelita I ketika pemerintah
menggalakkan pembangunan jalan-jalan di Sumatera Utara.
Apalagi sejak 1976 ketika jalan raya Tebing Tinggi-Rantau Prapat
sepanjang 209 km mulai dibangun dan jalan kereta api di Sumatera
Utara direhabilitasi. PT Kadi -- perusahaan patungan dengan
modal Jepang -- yang menangani pembangunan jalan raya tersebut,
mengirim peninjau ke Sungai Buaya. "Ketika itu kami pikir koral
akan dibeli mahal oleh PT Kadi," tutur Syahbudin, Kepala Desa
Paku, Kecamatan Galang dan salah seorang yang mendapat izin
mengusahakan batu di Sungai Buaya. Karena itu ke-6 penduduk yang
mendapat izin tadi buru-buru menawarkan koral kepada PT Kadi --
tapi tidak mendapat sambutan.
Sebab ternyata perusahaan itu telah mendapat izin Bupati Deli
Serdang untuk membuka tangkahan sendiri sepanjang 2 km di Sungai
Buaya itu. PT Kadi selanjutnya menyerahkan pelaksanaan
penambangan kepada PSH. Selain itu PT Kadi juga menunjuk PT Daya
Mitra membuka pabrik pemecah batu di Desa Paku. Dilengkapi mesin
pengeruk koral, pabnk itu mempekerjakan 15 orang.
Mula-mula 6 pengusaha lemah di Sungai Buaya itu tidak bereaksi
"karena tangkaban kami tidak diganggu," seperti kata Simanjuntak
salah seorang pengusaha lemah itu. Tapi sejak 1978 mereka resah.
Terutama karena perpanjangan izin usaha mereka ditolak. Dalam
Perda No. 4/1978 yang berhak mengeluarkan izin adalah gubernur.
Tapi tiba-tiba di sekitar beberapa tangkahan yang pernah
diberikan kepada penduduk terbaca pengumuman: areal itu akan
diserahkan kepada PSH. Segera ke enam pengusaha itu mengajukan
keberatan kepada gubernur. Kepada gubernur dilaporkan juga bahwa
sebagian batu koral itu dijual kepada perusahaan lain--tak
seluruhnya untuk membangun jalan proyek PT Kadi.
Awal 1979, malah keluar 4 SK Gubernur Sumatera Utara memberi
izin kepada PSH menguasai tangkaban sepanjang 20 km. Sekali lagi
6 pengusaha Sungai Buaya berusaha mengadu kepada Gubernur. Tapi
sampai 6 kali mereka gagal bertemu muka dengan EWP Tambunan.
Pengaduan ke DPRD Sumatera Utara pun tanpa hasil. Gubernur
memang ada menunjuk areal baru buat tangkaban para pengusaha
lemah tadi yaitu 5 km arah ke hulu. Tapi tak ada jalan ke sana
dan ditolak oleh ke-6 pengusaha itu.
Menakut-nakuti
"Tindakan pemerintah daerah itu tidak sesuai dengan Keppres 14
yang melindungi pengusaha lemah. Kalau memang butuh koral,
seharusnya PT Kadi membelinya dari kami," kata Haji Amir Siahaan
Ketua HlPLI (Himpunan Pengusaha Lemah Indonesia) Kabupaten Deli
Serdang.
Protes para pengusaha lemah itu tak urung menyulitkan PSH
menambang batu koral. Usaha pembangunan jalan menuju sungai juga
tak kunjung siap karena selalu dihadang penduduk. Akhirnya PT
Kadi minta bantuan POMABRI dari Medan untuk mengawal
pekerja-pekerja PSH. Para pengawal ini sempat meletuskan senjata
api beberapa kali di Sungai Buaya untuk menakut-nakuti penduduk
yang sedang mengorek koral.
Seminggu kemudian, awal Februari 80, belasan penduduk menyerbu
barak-barak PSH di seberang utara Sungai Buaya. Beberapa petugas
PSH cedera. Sebagai buntutnya pengawalan terhadap para petugas
PSH diperketat. Dan Asmain, seorang dari 6 pengusaha Sungai
Buaya, ditangkap.
Penduduk tetap bertahan. "Sampai titik darah terakhir, tangkahan
ini akan kami pertahankan," kata Amir Siahaan. Sejak itu sambil
mengorek koral, penduduk menyelitkan parang di pinggang. Tapi
tak lupa mereka juga mengadukan persoalan batu koral ini lewat
surat kepada Presiden Soeharto. Semula pekan lalu mereka akan
mengadukan hal itu pula kepada DPR-RI di Jakarta, tapi urung,
mungkin karena menduga jika lembaga itu sedang reses seperti
sekarang tak dapat menerima pengaduan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini