Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertamina akan mengambil alih saham Shell di Blok Masela.
Beban proyek Blok Masela membengkak akibat kesewenang-wenangan pemerintah.
Saatnya Pertamina mengoreksi kesalahan dalam pengembangan Blok Masela.
BAPAK berulah, anak kena tulah. Situasi ini menimpa PT Pertamina (Persero) yang bakal menanggung beban proyek Blok Masela. Akibat keputusan Presiden Joko Widodo mengubah rencana pengembangan ladang minyak dan gas raksasa di Maluku ini, Pertamina harus merogoh kocek dalam-dalam demi menalangi biaya setelah mundurnya investor lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menugasi Pertamina mengambil alih 35 persen saham Blok Masela milik Shell Upstream Overseas Services Ltd yang mundur dari proyek karena membengkaknya biaya. Negosiasi pengambilalihan saham Shell, yang nilainya diperkirakan sebesar US$ 1 miliar, masih berlangsung. Angka itu belum termasuk modal kerja US$ 6,3 miliar (Rp 94,2 triliun) yang bakal mengucur dalam lima tahun ke depan. Jika negosiasi tuntas, akhir bulan ini Pertamina harus membayar minimal separuh dari harga yang disepakati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beban besar ini tak seharusnya ditanggung Pertamina jika pemerintah tidak sewenang-wenang mengubah rencana pengembangan Blok Masela di tengah jalan. Shell dan Inpex selaku kontraktor Blok Masela awalnya merancang kilang produksi gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) berada di lepas pantai, terhubung langsung dengan sumur minyak dan gas. Dengan skema ini, pengembangan Blok Masela membutuhkan biaya US$ 14,8 miliar atau sekitar Rp 221 triliun.
Namun, pada 2016, sejumlah pejabat, antara lain Rizal Ramli yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman, mengusulkan kilang tersebut dibangun di darat. Jokowi menyetujui usul itu dengan dalih mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan Maluku. Biaya proyeknya lantas melambung menjadi US$ 19,3 miliar (Rp 288 triliun) karena kontraktor harus membeli lahan dan merancang ulang pembangunan kilang yang terhubung dengan ladang minyak melalui pipa bawah laut. Proyek yang eksplorasinya berlangsung sejak 1998 ini pun terkatung-katung hingga lebih dari dua dekade.
Pelbagai keputusan tanpa kajian yang matang ini pada akhirnya akan merugikan negara. Pendapatan dari penjualan minyak dan gas tak kunjung cair, sementara biaya yang harus dibayar terus membengkak. Belum lagi jika menghitung biaya yang mesti ditanggung Pertamina selaku perusahaan milik negara. Sekira di masa mendatang Pertamina merugi akibat proyek ini, negara jua yang bakal terbebani.
Baca liputannya:
- Bagaimana Pertamina Masuk Blok Masela
- Seberapa Besar Cadangan Gas Blok Masela?
- Wawancara SKK Migas Soal Pembelian Saham Blok Masela
Amat disayangkan jika kesalahan demi kesalahan terus terjadi. Tanpa keberanian mengoreksi kekeliruan dan mengembalikan proyek ini ke skema yang paling rasional, banyak pihak yang bakal merugi. Padahal Blok Masela seharusnya bisa kembali mengerek pendapatan negara dari produksi minyak dan gas, yang terus menyusut beberapa tahun terakhir.
Karena itu, sebagai investor baru, Pertamina harus berani mengoreksi kesalahan akibat keputusan yang keliru di masa lalu. Lebih baik kembali ke rencana awal yang lebih masuk akal ketimbang meneruskan rancangan muskil yang berisiko gagal. Jangan lagi menyia-nyiakan kekayaan cadangan minyak dan gas Blok Masela. Potensi pendapatan Rp 2.142 triliun dari ladang raksasa ini harus bermanfaat untuk publik, bukan buat pemburu rente.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tertimpa Beban Blok Masela"