Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bagaimana Pertamina Masuk Blok Masela

Negosiasi saham Blok Masela antara Shell dan Pertamina segera rampung. Ada tambahan biaya untuk menekan emisi karbon.

25 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertamina segera mengambil saham Shell di Blok Masela.

  • Harga 35 persen saham Shell bisa di bawah US$ 1 miliar.

  • Pertamina akan terbebani tambahan biaya untuk proyek CCUS.

MANAJEMEN PT Pertamina (Persero) menghadapi dua perundingan dalam beberapa bulan terakhir. Di satu meja, Pertamina bernegosiasi dengan Shell Upstream Overseas Services Ltd untuk mengambil alih hak partisipasi di proyek Abadi Blok Masela. Shell adalah pemegang 35 persen saham proyek gas yang berlokasi di Laut Arafura, Maluku, itu. Di meja lain, Pertamina berunding dengan perusahaan Malaysia, Petroliam Nasional Berhad atau Petronas, untuk membentuk konsorsium yang akan mengambil saham Shell di Blok Masela.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Tempo, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto bercerita, Shell dan Pertamina mencapai kesepakatan pada pertengahan Juni lalu. Pemerintah menargetkan dua perusahaan itu menandatangani perjanjian jual-beli atau sales and purchase agreement pada akhir bulan ini. "Hopefully semuanya lancar," katanya pada Selasa, 20 Juni lalu.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perundingan antara Pertamina dan Petronas masih berjalan. Petronas, menurut Dwi, tertarik ikut mengembangkan Blok Masela. Lapangan gas Abadi di Blok Masela, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, memiliki cadangan gas terbukti hingga 18,54 triliun standar kaki kubik (TSCF). Petronas menjadi satu-satunya kandidat kongsi Pertamina dalam pengambilalihan saham Shell

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, 6 Juni 2023. Tempo/Subekti.

Meski begitu, Dwi mengaku pemerintah belum bisa memastikan perjodohan kedua korporasi milik negara itu. "Bisa jadi yang tadinya pacaran enggak jadi kawin," tuturnya. Meski begitu, dia menyatakan lega karena satu dari sekian banyak masalah di Blok Masela bisa segera selesai. Bukan rahasia lagi bahwa proyek pengembangan Blok Masela terkatung-katung hingga lebih dari 20 tahun. Penyebabnya antara lain pandemi Covid-19 dan pengunduran diri Shell sebagai investor. Kini proyek Masela siap berlanjut.

Salah satu poin krusial dalam negosiasi ini adalah penentuan mahar, berapa harga yang harus dibayar Pertamina untuk mendapatkan saham Shell di Blok Masela. Soal ini, semua pejabat tutup mulut. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tak bersedia membeberkan detailnya. "Tunggu tanggal mainnya," ujarnya. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif juga hanya mengatakan nilai pengambilalihan saham kurang dari US$ 1 miliar atau di bawah Rp 14,95 triliun. "Jauh di bawah itu," ucapnya di kantornya pada Jumat, 16 Juni lalu. Menurut Arifin, angka yang disepakati Shell dan Pertamina sudah sesuai dengan hitungan. Walhasil, Pertamina segera membayar separuh dari nilai tersebut sebagai tanda jadi, sesuai dengan perjanjian yang bakal segera diteken.
 
Bagi pemerintah, proyek lapangan gas Abadi di Blok Masela adalah prioritas. Sebab, lumbung gas alam dan minyak yang terintegrasi dengan kilang pengolahan ini memiliki cadangan yang sangat besar sehingga berperan penting mendongkrak produksi minyak dan gas nasional. Rencananya, gas yang disedot dari Lapangan Abadi akan diolah di kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di Pulau Yamdena, yang jaraknya 183 kilometer. 

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto berbicara pada acara penandatanganan nota kesepahaman antara INPEX Masela, Ltd selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) proyek LNG Abadi, Wilayah Kerja Masela bersama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pupuk Indonesia, 19 Februari 2020. (foto: Dok. SKK Migas)

Kilang LNG ini memiliki kapasitas produksi gas 9,5 juta ton per tahun atau setara dengan 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Selain LNG, produknya adalah gas pipa sebanyak 150 MMSCFD serta 35 ribu barel kondensat per hari. Berdasarkan hitungan Kementerian Energi, Blok Masela akan menghasilkan gas 16,38 triliun standar kaki kubik (gross) atau 12,95 triliun standar kaki kubik (sales). Adapun produksi kondensat mencapai 255,28 million stock tank barrel (MMSTB).

Jauh sebelum rencana pengambilalihan saham Shell oleh Pertamina, ada gejolak dalam pengembangan Blok Masela. Pemicunya adalah perubahan konsep pembangunan kilang LNG dari semula dilakukan di lepas pantai (offshore) menjadi di darat (onshore). Perubahan rencana ini menyebabkan biaya pengembangan Blok Masela membengkak dan waktu pengerjaannya molor. Jika kilang LNG dibangun di lepas pantai dan tersambung dengan sumur gas, biayanya US$ 14,8 miliar atau sekitar Rp 221 triliun. Kini, setelah skema pembangunan kilang berubah, biayanya membengkak menjadi US$ 19,3 miliar atau sekitar Rp 288 triliun. 

Sebagai kompensasi atas perubahan itu, pemerintah juga menyetujui permohonan penambahan masa konsesi selama tujuh tahun serta perpanjangan masa kontrak bagi hasil selama 20 tahun atau hingga 2055. Tapi gula-gula ini tak mampu membendung langkah Shell keluar dari Blok Masela dan melepas sahamnya kepada Pertamina.

•••

SETELAH tertunda selama beberapa tahun, beberapa modifikasi dijalankan dalam proyek Blok Masela. Salah satunya pembangunan fasilitas penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon alias carbon capture, utilisation, and storage (CCUS). Pembangunan ini adalah upaya membuat proyek eksplorasi dan eksploitasi energi fosil seperti di Blok Masela menjadi "hijau" alias selaras dengan usaha mengurangi emisi karbon.

Menurut Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, kontraktor Blok Masela berupaya membawa proyek ini searah dengan tuntutan pasar global, yang menghendaki produksi energi dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dengan proyek CCUS, dia menjelaskan, kontraktor bisa mengklaim Blok Masela menghasilkan blue LNG atau LNG bersih. "Berbeda dengan produk LNG pada umumnya yang disebut grey LNG," katanya. 

Dalam rencana nol emisi karbon atau net zero emission yang dicanangkan secara global, perusahaan minyak dan gas dunia memakai teknologi CCUS sebagai bentuk penyesuaian terhadap program tersebut. Ini pula yang dilakukan Inpex Masela Ltd, perusahaan minyak dan gas asal Jepang yang menjadi operator Blok Masela. Inpex menambahkan proyek CCUS ke dalam revisi kedua dokumen rencana pengembangan atau plan of development (POD) yang disampaikan ke SKK Migas pada 4 April lalu. 

Dwi mengatakan ada kandungan karbon dioksida 10 persen dalam gas di Blok Masela. "Porsinya tidak terlalu besar," ucapnya. Dalam proyek CCUS, operator lapangan minyak bakal memproses gas alam yang diambil dari sumur produksi. Karbon dioksida yang terkandung di dalamnya akan dipisahkan bersama senyawa lain, seperti belerang, air, dan kondensat. Senyawa hasil pemisahan itu kemudian dimasukkan ke bekas reservoir atau sumur gas yang tidak terpakai. Sedangkan gas alam murni dikirim ke kilang LNG untuk diolah. 

Peta Blok Masela. (Tempo/ Gunawan Wicaksono)

Dwi menyebutkan senyawa yang dimasukkan ke reservoir hanya 10 persen dari total material yang disedot dari sumur minyak dan gas. Selain menampung karbon dioksida dari produksi minyak dan gas, ruang penyimpanan di reservoir bisa dipakai untuk memuat karbon dioksida dari proyek lain, misalnya pembangkit listrik.  

Berdasarkan catatan SKK Migas, program CCUS sudah diterapkan di lapangan gas Tangguh, Papua Barat, yang digarap oleh BP Indonesia. Fasilitas ini dibangun untuk memenuhi permintaan pembeli gas dari Jepang dan Korea yang mempersyaratkan penerapan teknologi penangkapan karbon dalam proses produksi LNG. Di Lapangan Tangguh, BP membangun CCUS di kawasan Ubadari. SKK Migas telah menyetujui pembangunan fasilitas CCUS dalam POD yang diajukan BP Indonesia pada 2022. "Sekarang sedang dikerjakan," ujarnya. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan 16 proyek lapangan minyak dan gas akan menggunakan teknologi CCUS. Beberapa di antaranya masih dalam tahap studi dan persiapan dengan target operasi sebelum 2030. Selain di Ubadari, ada uji coba injeksi karbon dioksida oleh Pertamina di Lapangan Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat. Petrochina melakukan uji coba serupa di sumur minyak Gemah-6, Tanjung Jabung Timur, Jambi.

Menurut Dwi, SKK Migas tengah mengkaji dokumen revisi POD Blok Masela—berisi proyek CCUS—yang diajukan Inpex. Persetujuan akan terbit tahun ini. Tapi, dia menambahkan, revisi POD tidak akan disetujui sebelum negosiasi pelepasan saham Shell kepada Pertamina selesai. "Nanti Shell bisa menaikkan harga kalau revisi POD sudah disetujui," tuturnya.

Yang tak terhindarkan dari penerapan teknologi CCUS di Blok Masela adalah kenaikan biaya investasi. SKK Migas memperkirakan tambahan biaya proyek ini bisa mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,85 triliun. Biaya ini muncul antara lain karena kontraktor harus membangun pipa yang panjang sebagai penyalur karbon dioksida dan senyawa lain menuju reservoir. 

Tapi, di balik kenaikan biaya itu, ada asa baru. Dwi berharap stempel blue LNG bisa membuat harga gas dari Blok Masela meningkat. Kenaikan harga jual gas bisa digunakan untuk menutup ongkos produksi.

•••

PEMERINTAH memundurkan target operasi proyek Blok Masela dari semula pada 2027 menjadi pada 2029. Pertimbangannya, proyek ini sempat tersendat gara-gara pandemi Covid-19. Molornya proyek ini juga buntut dari mundurnya Shell selaku investor Blok Masela bersama Inpex. Mundurnya Shell berujung pada pelepasan saham Blok Masela kepada Pertamina. 

Tertundanya waktu operasi selama dua tahun menjadi persoalan baru. Sebab, operasi Blok Masela akan berbarengan dengan jadwal on stream sejumlah proyek LNG dunia. Misalnya proyek LNG di Papua Nugini dengan kapasitas produksi 4 juta ton per tahun yang digarap oleh TotalEnergies, ExxonMobil, dan Santos. Ada pula proyek LNG di Australia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasokan gas dari ladang-ladang ini akan membanjiri pasar energi mulai 2027. Dampaknya, harga komoditas ini bakal anjlok. 

Lembaga riset pasar dan konsultan energi Westwood memperkirakan kilang LNG berkapasitas 18,3 juta ton per tahun di berbagai negara akan beroperasi pada 2027. Setelah tahun tersebut, ada ladang minyak dan gas berkapasitas produksi 36,5 juta ton per tahun yang juga mulai on stream.

Meski pasar LNG bakal kebanjiran pasokan, Dwi Soetjipto optimistis hasil produksi Blok Masela akan terserap dengan harga yang baik. Sebab, dia menjelaskan, sebagian gas tersebut akan diserap oleh pasar domestik. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero) sudah menandatangani nota kesepahaman jual-beli gas Blok Masela pada 2020. Sebanyak 2-3 juta ton LNG dari Blok Masela akan dibeli PLN untuk mengganti bahan bakar pembangkit listrik tenaga diesel. 

Selain itu, Dwi menambahkan, ada calon pembeli dari luar negeri yang telah mengirimkan surat pernyataan minat atau letter of intent (LOI). Merujuk pada LOI tersebut, Dwi menyebutkan total permintaan mencapai dua kali lipat kapasitas kilang LNG, yang dirancang sebesar 9,5 juta ton per tahun. Para calon pembeli gas itu di antaranya perusahaan asal Jepang. "Bahkan Petronas juga mengirimkan LOI. Artinya, dari sisi konsumen tidak ada masalah."  

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan proyek Blok Masela bisa dipercepat. Sebab, dia mengungkapkan, urusan teknis, lingkungan, dan komersial proyek ini sudah rampung. Adapun target tahun ini adalah melaksanakan tender proyek rekayasa dan desain untuk fasilitas LNG lepas pantai, fasilitas pengolahan gas terapung atau floating production-storage-offloading, fasilitas sumur gas bawah laut atau subsea umbilicals-risers -flowlines, dan pipa gas bawah laut. 

Dewan Perwakilan Rakyat juga mendorong percepatan proyek Blok Masela. Anggota Komisi Energi DPR, Mulyanto, berharap, seusai akuisisi saham Shell di Blok Masela, produksi dan lifting gas Pertamina dapat meningkat pesat. Saat ini kontribusi lifting gas Pertamina masih di bawah 50 persen, sementara lifting minyak sudah di atas 60 persen.

Sebaliknya, mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas—sekarang SKK Migas—Kardaya Warnika justru pesimistis. Dia menilai, dari aspek operasi dan bisnis, Pertamina dan Inpex selaku pengelola Blok Masela tidak punya pengalaman menggarap proyek penggalian gas di laut dalam, termasuk ladang gas sebesar Blok Masela. Itu sebabnya, Kardaya mengungkapkan, Inpex menggandeng Shell yang memiliki teknologi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai. Karena itu, ia ragu proyek Blok Masela bisa segera berlari kencang. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Merua di Blok Masela"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus