Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM sembuh benar dari sakitnya, Irma Suryani Chaniago kembali mengikuti rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan di Hotel The Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis, 15 Juni lalu. Dua hari sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai NasDem itu harus dirawat di rumah sakit karena kelelahan.
Dalam beberapa pekan terakhir, Irma mengikuti pembahasan RUU Kesehatan yang digelar secara maraton. "Rapatnya bisa dari pagi sampai malam," kata Irma saat ditemui Tempo, Selasa, 20 Juni lalu.
Panitia Kerja RUU Kesehatan dibentuk pada 5 April lalu oleh Komisi Kesehatan DPR. Pada tahap awal, panitia kerja mengundang sejumlah organisasi profesi dan kelompok masyarakat sipil di bidang kesehatan. Kurang dari tiga bulan, mereka merampungkan pembahasan draf setebal lebih dari 200 halaman yang berisi 545 pasal.
Ngebutnya pembahasan RUU Kesehatan terlihat dari rapat panitia kerja yang tetap digelar meski DPR memasuki masa reses pada 14 April-15 Mei lalu. Anehnya, panitia kerja DPR dan pemerintah memindahkan tempat rapat ke hotel berbintang. Aktivitas ini tetap berlanjut setelah masa reses berakhir.
Pada 15 Juni lalu, misalnya, rapat digelar di hotel bintang lima The Ritz-Carlton, Mega Kuningan. Adapun rapat finalisasi draf RUU pada Ahad, 18 Juni lalu, digelar tertutup di hotel bintang empat, JS Luwansa Hotel and Convention Center, Jakarta Selatan.
Alasan sejumlah anggota panitia kerja bahwa ruangan di DPR tak cukup menampung peserta dan penyejuk udara yang dimatikan pada malam hari sebenarnya tak masuk akal. Tak semua anggota Komisi Kesehatan masuk panitia kerja. Pada malam hari pun penyejuk udara di gedung parlemen bisa dinyalakan.
Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR yang juga anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan, Kurniasih Mufidawati, membantah bila rapat di hotel disebut bertujuan menghindari sorotan publik. "Kegiatan kami sudah seizin pimpinan DPR," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu pada Jumat, 23 Juni lalu.
Mufidawati menyebutkan pembahasan draf RUU Kesehatan digelar 12 jam sejak pukul 10 pagi. Ia mengklaim pembahasan kerap berjalan alot. Pembahasan sejumlah pasal kontroversial sering ditunda karena menemui jalan buntu. Misalnya pasal mandatory spending, perumusan fungsi organisasi profesi, dan pendidikan dokter spesialis berbasis hospital based.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada akhirnya kerap pasal-pasal itu ditetapkan sesuai dengan suara mayoritas fraksi, tapi diberi catatan bahwa ada suara-suara anggota yang berbeda," kata Mufida—panggilan Kurniasih Mufidawati.
Baca: Berbagai Problem Omnibus Law Kesehatan
RUU Kesehatan menggabungkan sepuluh undang-undang di bidang kesehatan existing dan mengubah dua aturan lain. Ini kedua kalinya DPR melahirkan omnibus law setelah Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Pembahasan RUU Kesehatan yang tak sampai tiga bulan jauh lebih kilat ketimbang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang memakan waktu 174 hari.
Dua anggota Komisi Kesehatan menyebutkan RUU itu merupakan titipan pemerintah yang disusupkan sebagai usul inisiatif DPR. Awalnya pembahasan draf akan dilakukan di Badan Legislasi seperti RUU Cipta Kerja. Namun April lalu, setelah muncul protes dari anggota Komisi Kesehatan, pimpinan DPR memindahkan pembahasan omnibus ini ke komisi itu.
Irma Suryani Chaniago mengakui adanya kekhawatiran pembahasan RUU Kesehatan akan mengulang praktik buruk saat proses legislasi omnibus law Cipta Kerja. Apalagi Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tak memenuhi syarat partisipasi publik yang bermakna.
Meski pada akhirnya pembahasan RUU Kesehatan jauh lebih cepat ketimbang Omnibus Cipta Kerja, Irma meyakini draf ini sudah matang. "Tak ada urusan soal pembahasan lambat atau cepat, tapi bagaimana kita mempertanggungjawabkan pasal demi pasal itu," ucapnya.
Walaupun tetap mengikuti rapat pembahasan RUU Kesehatan, Fraksi Partai Demokrat dan PKS mengambil sikap berbeda. Dua partai oposisi itu menolak pengesahan RUU Kesehatan dalam rapat paripurna DPR.
Anggota Komisi Kesehatan DPR dari Fraksi Demokrat, Lucy Kurniasari, menilai tak ada kegentingan memaksa yang mengharuskan RUU ini dibahas secara maraton. Ia menilai RUU ini dibahas seperti kejar tayang dan berjalan sangat tertutup. "Saya saja, anggota Komisi IX yang bukan anggota panitia kerja, tak tahu di mana drafnya dibahas," kata Lucy, Selasa, 20 Juni lalu.
Baca: Lobi Pengkritik RUU Kesehatan
Pembahasan RUU ini juga dinilai tak membuka partisipasi publik seluas-luasnya. Chief Executive Officer Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih menyebutkan, sejak penyusunan naskah akademik pada 2022, tak ada proses konsultasi publik ataupun pelibatan yang bermakna dari kelompok masyarakat sipil.
Pada akhir Maret lalu, Kementerian Kesehatan sempat membuka Partisipasi Sehat, platform bagi publik untuk memberi masukan terhadap RUU Kesehatan secara online. Namun CISDI, yang ikut dalam forum tersebut, menilai sesi konsultasi berjalan sangat singkat. Padahal kluster isu yang dibahas sangat banyak.
"Diskusinya berdasarkan undangan, tak dibuka untuk publik luas, dan tak ada mekanisme tindak lanjut dari masukan yang diberikan," tutur Diah Saminarsih, Jumat, 23 Juni lalu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklaim masukan dari berbagai kalangan ditampung oleh lembaganya. Masukan ini membuahkan lebih dari 3.000 poin dari 478 pasal dalam daftar inventarisasi masalah dari pemerintah yang diserahkan kepada DPR.
Bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu juga mengklaim telah melibatkan publik dalam pembahasan RUU Kesehatan. "Kami itu menggelar 115 pertemuan, 1.200 institusi diundang, dan ada 72 ribu registrasi di Partisipasi Sehat. Semuanya terdokumentasi," kata Budi, Jumat, 23 Juni lalu.
Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena juga mengklaim pembahasan kerap melibatkan publik. Ia menyatakan telah menggelar setidaknya 30 kali rapat dengar pendapat umum dengan berbagai pihak sejak April hingga Juni. “Di mana pun kami rapat, mereka datang. Belum lagi di luar panja, mereka juga datang ke kelompok fraksi di Komisi IX atau ke anggota DPR," ujar politikus Partai Golkar itu, Rabu, 21 Juni lalu.
CISDI bersama koalisi masyarakat lain pernah menemui Melkiades untuk berdiskusi secara personal dan memberi masukan pada 30 Mei lalu. Namun pertemuan di ruang tunggu Komisi Kesehatan DPR itu hanya berlangsung 15 menit. “Selebihnya, diskusi diarahkan ke tenaga ahli DPR selama hampir satu jam," kata Diah Saminarsih.
Draf RUU Kesehatan menjadi sorotan karena mentransformasi sebagian besar sistem kesehatan nasional. Selain mengatur ulang fungsi dan wewenang organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia, omnibus law ini mengubah berbagai regulasi kesehatan lain.
Yang paling disorot belakangan adalah penghilangan mandatory spending atau kewajiban pengalokasian dana kesehatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dalam Undang-Undang Kesehatan sebelumnya, mandatory spending yang ditetapkan adalah 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.
Baca: Debat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Ketua Umum IDI Adib Khumaidi soal RUU Kesehatan
Sejumlah anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan yang diwawancarai Tempo mengatakan pemerintah tak ingin mengunci angka dana kesehatan ini. Salah satu argumen yang digunakan adalah mandatory spending 20 persen di bidang pendidikan selama ini dinilai tak efektif.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pematokan persentase anggaran tak membuat pengelolaan dana menjadi efisien. Dalam draf RUU Kesehatan terakhir, pemerintah hanya diwajibkan memantau pendanaan kesehatan secara nasional dan regional lewat sistem informasi. "Lebih baik programnya dulu yang jelas, daripada uangnya dulu dikasih," ucap Budi.
Menteri Kesehatan RI, Budi G. Sadikin melakukan Public Hearing terkait penyusunan RUU Kesehatan, Jakarta, 15 Maret 2023. Dok. Kemenkes RI
Kritik juga muncul dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi menilai RUU Kesehatan tak mengakomodasi pengendalian tembakau dan produk turunannya. Dari tak jelasnya status rokok elektronik hingga pelemahan regulasi kawasan tanpa rokok.
"RUU Kesehatan yang seharusnya dapat mengakomodasi hal yang belum diatur serta memperketat yang sudah ada nyatanya hanya diam di tempat, bahkan terjadi kemunduran dari regulasi yang berlaku saat ini," tutur Nina, Kamis, 22 Juni lalu.
Proses semrawut RUU Kesehatan dilengkapi dengan tidak terbukanya pemerintah dan DPR soal naskah final. Hingga Sabtu, 24 Juni lalu, tak pernah ada publikasi resmi draf final, bahkan setelah DPR dan pemerintah bersepakat menaikkan pembahasan ke tingkat kedua atau rapat paripurna. "Karena naskahnya tak pernah diedarkan di platform resmi, DPR menghilangkan fungsi pengawasan masyarakat," kata Diah Saminarsih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hussein Abri Dongoran berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kereta Ekspres Omnibus Kesehatan"