Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMANSIPASI adalah pembebasan diri dari segala belenggu. Hampir satu setengah abad lalu, Dewi Sartika dan R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi sebatas hak perempuan terhadap akses pendidikan. Buah perjuangan mereka dapat kita rasakan saat ini. Kaum perempuan sekarang punya akses luas terhadap pendidikan, dari dasar hingga universitas.
Tapi, seperti kata Chairil Anwar: kerja belum selesai, belum apa-apa. Data Badan Pusat Statistik pada 2015 menunjukkan perempuan lulusan perguruan tinggi di perkotaan baru mencapai 10,5 persen penduduk dan di pedesaan bahkan jauh lebih kecil: kurang dari 3,3 persen. Angka yang hampir sama berlaku pada laki-laki. Artinya, jalan bagi emansipasi pendidikan masih panjang: mencakup juga kaum lelaki.
Benar bahwa kaum perempuan sekarang dapat bekerja di berbagai bidang dan menempati beragam posisi, dari direktur perusahaan hingga presiden. Tapi masih banyak perempuan belum mendapat pendidikan yang memadai dan pekerjaan yang layak. Kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, hampir 300 ribu kasus pada 2014, meningkat dari sekitar 280 ribu kasus pada 2013. Angka kematian ibu juga masih besar, hampir 360 per 100 ribu kelahiran pada 2012, masih jauh dari target Millennium Development Goals, yang 100 per 100 ribu kelahiran.
Itulah kenyataan yang dihadapi kaum perempuan pada abad Internet ini. Gerakan emansipasi kini tak lagi sebatas perjuangan untuk kebebasan kaumnya, tapi juga keluarganya, desanya, negaranya, bahkan lingkungan alamnya. Ketika sembilan ibu dari Purwodadi, Pati, dan Rembang mengecor kakinya di depan Istana Negara pekan lalu, yang mereka perjuangkan bukan sekadar nasib keluarganya, melainkan nasib orang banyak. Protes mereka atas pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah, itu adalah perjuangan emansipasi untuk lingkungan mereka, yang air tanahnya terancam tercemar dan cagar budayanya hancur.
Perjuangan emansipasi semacam itulah yang mencuat dari sepak terjang sejumlah perempuan yang kami angkat kisahnya dalam edisi kali ini. Mereka adalah 45 perempuan yang masih muda, berusia di bawah 45 tahun. Angka ini kami pilih sebagai penanda usia majalah Tempo, yang pada 6 Maret lalu memasuki usia 45 tahun.
Nama mereka bersinar di bidang masing-masing, dari sains sampai lingkungan, dan berasal dari berbagai penjuru, dari Aceh sampai Papua. Mereka dipilih secara ketat oleh tim redaksi dengan melibatkan pengamat dari luar, sejumlah perempuan yang selama ini banyak bergiat dalam mendorong kemajuan perempuan.
Apa yang mereka lakukan jelas berbeda-beda, tapi ada satu kesamaannya: mereka mengabdi untuk orang banyak, untuk kepentingan umat manusia, lingkungan dan alam, bukan sekadar mengejar karier pribadi. Ada Sely Martini, aktivis Indonesia Corruption Watch, yang tak kenal lelah dalam mengkampanyekan gerakan antikorupsi. Ada Rosalinda Delin, bidan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang naik sepeda motor dari desa ke desa untuk mengajak ibu-ibu agar tidak menjalankan hasai hai, tradisi mengasapi ibu dan bayi selama 42 hari, yang justru membahayakan kehidupan bayi.
Rosa Dahlia mengajar di sebuah sekolah dasar di pedalaman Papua yang lama tak aktif karena tak ada guru yang bersedia mengajar. Nissa Wargadipura mendirikan pesantren yang mengajarkan pertanian ramah lingkungan di Garut, Jawa Barat. Ada pula Katyana Azlia Wardhana, gadis 20 tahun yang menggelindingkan gerakan antirisak Sudah Dong yang telah memiliki 900 relawan. Tentu, selain mereka, masih banyak perempuan berprestasi di luar sana yang sedang berjuang membebaskan diri dari kemiskinan, kebodohan, dan berbagai belenggu lain.
Pemilihan ini bukan berarti kami mempertahankan bias gender. Apa yang mereka lakukan justru memperteguh fakta bahwa kesetaraan sudah jauh lebih maju dan terjadi di mana-mana. Kemajuan ini pantas dipertahankan dan dikembangkan.
Prestasi dan penghargaan kadang dapat membuat orang lupa pada tujuannya. Kami tak berharap para perempuan pilihan ini berubah menjadi selebritas yang sibuk berbicara di mana-mana dan melupakan kampung-kampung tempat mereka mengabdi. Tetaplah menjadi perempuan biasa yang peka terhadap rakyat dan lingkungannya. Apa yang mereka lakukan adalah langkah-langkah kecil untuk membuat negeri ini menjadi lebih baik. Bila langkah-langkah ini diperbanyak, perubahan kemudian jadi tak terelakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo