Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENUDING cuaca buruk sebagai alasan kecelakaan pesawat terbang kerap dilakukan. Dan alasan itu klop dengan medan di Papua. Daerahnya bergunung-gunung dan bandar udara perintis banyak berada di lembah yang diapit bukit. Jika cuaca berubah buruk, pesawat berisiko menabrak tebing, apalagi bila pilot menurunkan ketinggian tanpa melihat gunung di depannya.
Pesawat Trigana Air rute Jayapura-Oksibil yang membawa 54 penumpang, di antaranya lima kru, menabrak bukit di Distrik Okbape, Kabupaten Pegunungan Bintang, Ahad pekan lalu. Pesawat terbakar. Semua penumpang tewas, termasuk awak pesawat. Namun cuaca ketika itu dilaporkan cerah. Jarak pandang menurut aturan penerbangan sipil sejauh lima kilometer. Kondisi pesawat dilaporkan layak terbang, dan ini adalah penerbangan kedua setelah penerbangan pertama dengan rute yang sama. Pilot pun disebut berpengalaman.
Lalu apa yang dijadikan alasan untuk petaka di bumi Papua ini? Kita tentu harus bersabar menunggu hasil pemeriksaan kotak hitam yang sudah ditemukan tim SAR. Memang tersisa satu pertanyaan: mengapa pilot menurunkan pesawat, yang berakhir dengan terbenturnya burung besi itu ke tebing.
Kesulitan menunda kesabaran agaknya terletak pada kelambanan Kementerian Perhubungan membenahi bandara di daerah terpencil. Papua banyak memiliki bandara perintis karena memang angkutan udaralah satu-satunya penghubung antarkabupaten. Pertanyaan mendasarnya, apakah bandara-bandara itu mempunyai fasilitas memadai untuk penerbangan yang layak, sebagaimana diatur dalam aturan keselamatan penerbangan.
Bandara Oksibil, misalnya, diketahui hanya memiliki alat pendeteksi cuaca manual. Dengan kondisi cuaca ekstrem, yang berubah setiap saat, apakah betul ketika pesawat Trigana Air melewati lereng bukit Oksok, cuaca sedang cerah? Kondisi yang dialami tim SAR ketika mengevakuasi jenazah menunjukkan bahwa tak sepenuhnya cuaca bersahabat. Kabut bisa datang sewaktu-waktu tanpa bisa diduga.
Tak hanya masalah alat, bagaimana sistem pengawasan di bandara-bandara yang bukan bandara internasional itu? Bandara Sentani pun bukan bandara internasional. Yang dikategorikan bandara internasional di Papua adalah Bandara Timika. Seharusnya pengawasan di Bandara Sentani—juga bandara lain yang bukan bandara internasional—tetap mendapat perhatian serius dari Kementerian Perhubungan. Nyatanya, pengawasan itu sangat kendur, terbukti dari manifes amburadul penumpang pesawat Trigana Air yang mengalami musibah ini. Nama penumpang dalam daftar tak cocok dengan kenyataan, dan bisa jadi berdampak pada klaim asuransi nantinya—semoga saja tidak.
Kalau manifes penumpang bisa kacau, tentu kita berharap manifes barang tak sampai acak-adut. Soalnya, kondisi penerbangan perintis memungkinkan pelanggaran itu terjadi, karena langkanya pesawat, sedangkan lalu lintas barang yang diangkut begitu banyak. Kementerian Perhubungan harus lebih ketat dalam hal ini. Jangan jadikan Papua kuburan pesawat, walau sejak 2006 sudah terjadi sembilan kecelakaan pesawat yang menewaskan lebih dari 100 orang.
Menteri Ignasius Jonan, yang berjanji meningkatkan pengawasan industri penerbangan setelah jatuhnya pesawat AirAsia pada 28 Desember tahun lalu, harus membuktikan janjinya. Jangan cuma mengurus maskapai besar dan bandara internasional. Pengawasan terhadap maskapai kecil yang menerbangi daerah perintis dan pembenahan bandaranya harus juga diprioritaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo