Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEROMBAKAN kabinet Presiden Joko Widodo dua pekan lalu memantik tanda tanya: mengapa beberapa menteri yang kinerjanya buruk tak diganti? Juga apa alasan Presiden mempertahankan anggota kabinet yang menempati pos yang tidak sesuai dengan kompetensi dan latar belakang keilmuannya?
Keanehan lain reshuffle—yang oleh Jokowi diklaim sebagai "konsolidasi pemerintahan"—adalah masuknya figur kontroversial Rizal Ramli. Itu bukan hanya karena berbagai pernyataannya, melainkan juga lantaran Rizal memiliki pandangan ekonomi yang berbeda tajam dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, juga anggota baru kabinet.
Presiden Jokowi menyebut Rizal, yang sebelum menjadi menteri banyak mengkritik kebijakannya, sebagai petarung. Ia tidak keliru. Hanya sehari setelah dilantik menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal segera bertarung kata-kata dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Rizal kemudian juga bersilang kata dengan—ini yang ajaib—Wakil Presiden Jusuf Kalla. Alih-alih mengkonsolidasikan, Rizal memantik konflik di kabinet.
Pertikaian terbuka para bawahan Jokowi ini tidak menguntungkan siapa pun—kecuali jika masuknya Rizal memang sekadar dirancang promotornya untuk menciptakan "keseimbangan politik" dalam kabinet, katakanlah demi mengimbangi aneka manuver Kalla. Rizal mengaku menjadi menteri atas permintaan Presiden. Namun informasi lain menyebutkan ia didorong Kepala Staf Kepresidenan serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, sinyalemen yang diakui Luhut.
Konflik dalam kabinet tentu akan mengaburkan fokus pemerintah, antara lain dalam menghadapi bahaya krisis ekonomi di depan mata. Guncangan ekonomi kali ini tidak bisa dipandang enteng. Faktor global seperti devaluasi renminbi di Cina memang mempengaruhi negara-negara lain. Namun pengaruhnya bagi Indonesia bisa jauh merusak. Sebab, tingkat keyakinan pasar kepada pemerintah sedemikian rendah, seperti terlihat dari loyonya rupiah akhir-akhir ini.
Substansi kritik yang dilontarkan Rizal bisa saja benar. Target penambahan listrik 35 ribu megawatt dalam lima tahun yang dipatok pemerintah Jokowi-Kalla memang sangat ambisius. Sebagai perbandingan, dalam sepuluh tahun pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menambah daya listrik sekitar 25 ribu megawatt, termasuk melalui program percepatan. Kita tahu, masalah utama seperti pembebasan lahan belum banyak diselesaikan.
Kritik Rizal soal proyek kereta cepat, yang ada kemungkinan dimenangi perusahaan Cina, dan rencana pembelian pesawat berbadan besar oleh PT Garuda Indonesia juga valid. Kereta cepat Jakarta-Bandung jelas bukan prioritas, terutama karena banyak pilihan moda transportasi penghubung dua kota itu. Pembelian pesawat besar yang cocok untuk pasar penerbangan jarak jauh oleh PT Garuda Indonesia juga bisa diperdebatkan. Persoalannya, pilihan Rizal untuk menghantam secara terbuka atasan dan koleganya sangat tidak etis.
Rizal semestinya menyampaikan kritik dan keberatannya dalam sidang kabinet. Jika sejak awal tidak setuju terhadap berbagai program Jokowi-Kalla, ia sepatutnya menolak masuk pemerintahan. Kontroversi Rizal membuat situasi kabinet kini menyerupai kapal yang mualim dan masinisnya berkelahi. Pada saat yang sama, nakhodanya seperti kehilangan arah tujuan. Padahal kapal sedang menghadapi badai besar: krisis ekonomi. Pertikaian antar-anggota kabinet hampir bisa dipastikan membuat kepercayaan pasar terhadap pemerintah akan semakin tersuruk.
Presiden semestinya segera menyelesaikan persoalan ini. Tindakannya menegur Rizal, seperti dikatakan juru bicara Istana, Teten Masduki, sudah tepat. Namun ia perlu memastikan kabinet benar-benar terkonsolidasi. Sebab, potensi munculnya kembali konflik tetap terbuka, mengingat figur kontroversial Rizal. Perbedaan pandangan ekonomi Rizal dengan Darmin dan menteri lain juga bisa melahirkan kebijakan pemerintah yang saling tabrak.
Kabinet yang gaduh akan membuat janji Jokowi menarik sebanyak mungkin investor luar negeri menjadi sekadar jargon. Kebutuhan terhadap masuknya investasi langsung ini sangat mendesak agar valuta asing bisa mengalir ke dalam negeri. Masalahnya sekarang, maukah (atau mampukah) Presiden Jokowi dengan segera dan sungguh-sungguh mengkonsolidasikan pemerintahannya. Atawa, atas nama keseimbangan politik, ia membiarkan para pembantunya saling cakar, sementara ekonomi tetap centang-perenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo