Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Saatnya Redenominasi Rupiah

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iskandar Simorangkir*

Wacana penerapan redenominasi rupiah di Indonesia mulai gencar dilontarkan pemerintah dan Bank Indonesia. Rancangan Undang-Undang Redenominasi bahkan telah diusulkan sebagai prioritas yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dalam daftar Program Legislasi Nasional pada 2013. Tanggapan terhadap rencana pemberlakuan redenominasi tersebut sangat beragam. Banyak pihak mendukung program ini karena manfaatnya yang dapat meningkatkan efisiensi transaksi. Namun banyak juga kelompok masyarakat yang panik terhadap program ini karena redenominasi dipersepsikan sama dengan sanering.

Kepanikan tersebut merupakan hal yang wajar karena masyarakat belum sepenuhnya memahami redenominasi. Apa pengertian redenominasi? Secara prinsip, redenominasi rupiah adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan rupiah dan harga barang dan/atau jasa secara bersamaan tanpa mengurangi daya beli. Pada 13 Desember 1965, Indonesia pernah melakukan redenominasi dengan menerbitkan pecahan berdesain baru Rp 1 dengan nilai (daya beli) setara dengan Rp 1.000 lama.

Redenominasi berbeda dengan sanering, yakni pemotongan nilai uang, sementara harga-harga barang/jasa tetap. Dengan sanering, daya beli efektif masyarakat menurun. Sebagai contoh, nilai uang Rp 100 ribu dipotong menjadi Rp 100, tapi pada saat yang sama harga barang, misalnya satu cangkir kopi, tetap Rp 100 ribu. Dengan demikian, uang setelah sanering tak bisa lagi untuk membeli satu cangkir kopi, karena nilainya turun.

Indonesia pernah dua kali melakukan sanering, yaitu pada 10 Maret 1950 dan 25 Agustus 1959. Saat itu nilai uang dikurangi untuk mengendalikan laju inflasi yang tinggi, akibat pemerintah mempunyai fiskal defisit besar yang dibiayai dari pencetakan uang baru dari bank sentral.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Bank Indonesia sejak lima tahun lalu, tingginya kebutuhan masyarakat akan redenominasi terlihat dari tiga fakta utama di lapangan. Pertama, pencatatan transaksi dengan digit yang terlalu banyak kurang efisien. Beberapa pelaku usaha, seperti hotel dan restoran, telah mencantumkan harga barang dengan menghilangkan tiga nol. Fakta itu menunjukkan bahwa sebenarnya pelaku usaha tersebut secara implisit telah menerapkan redenominasi dengan menghilangkan angka ribuan dalam daftar harganya.

Kedua, kendala teknis pencatatan data transaksi dialami pelaku usaha karena jumlah digit nominal uang rupiah terlalu besar. Bahkan, saat krisis keuangan Lehman Brothers pada 2008/2009, sistem penyelesaian transaksi perbankan di Indonesia pernah macet karena frekuensi dan digit transaksi yang terlalu besar. Transaksi ekonomi di Indonesia dalam lima tahun mendatang diperkirakan dapat mencapai 19 digit (termasuk koma), sehingga bisa dibayangkan akan terjadi kemacetan dan ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi jika nilai nominal uang rupiah masih tetap dipertahankan seperti saat ini. Ketiga, kredibilitas nilai rupiah dipersepsikan rendah, karena denominasi (pecahan) rupiah terlalu besar, yaitu terbesar kedua di dunia, setelah mata uang Vietnam, dong.

Secara umum, manfaat redenominasi rupiah adalah (1) meningkatkan efisiensi, karena pencatatan dan perhitungan menjadi lebih singkat akibat digit yang lebih sedikit; (2) mengatasi kendala teknis akibat semakin banyaknya digit uang rupiah; (3) menghemat biaya penyesuaian infrastruktur sistem pembayaran nasional dan penyimpanan data karena telah berbasis jumlah digit yang sederhana sesuai dengan sistem internasional; (4) menghemat biaya pengadaan uang dalam jangka panjang; (5) meningkatkan kebanggaan terhadap uang rupiah karena setara dengan negara maju; dan (6) menjadikan mata uang setara untuk memfasilitasi ASEAN Economic Community 2015.

Banyak negara telah melakukan redenominasi. Contoh negara yang sukses adalah Turki dan Rumania. Turki melaksanakan redenominasi pada 2005 dengan menghilangkan enam nol pada pecahan Turkish lira. Sedangkan Rumania melakukan redenominasi pada 1 Juli 2005 dengan menghilangkan nol sebanyak empat pada Romania leu.

Keberhasilan redenominasi ditentukan oleh perencanaan yang matang dan hati-hati dari tahapan persiapan hingga tahapan pelaksanaannya. Secara keseluruhan, tahapan program redenominasi memerlukan waktu cukup panjang. Setelah masa persiapan, implementasi redenominasi di Indonesia diperkirakan memerlukan waktu enam tahun. Namun kunci sukses program ini memerlukan beberapa prasyarat, yaitu (1) seluruh lapisan masyarakat harus mendukung, dan untuk mendapat dukungan dari masyarakat, perlu dilakukan sosialisasi yang intensif dan massal agar masyarakat mengetahui dan memahami program ini; (2) kondisi makroekonomi stabil; (3) kondisi sosial politik kondusif; (4) tersedia landasan hukum berupa undang-undang; dan (5) pemilihan waktunya tepat.

Indonesia dewasa ini telah memenuhi prasyarat kondisi makroekonomi dan sosial politik yang stabil, sehingga saat ini atau beberapa tahun mendatang merupakan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi. Selama beberapa tahun terakhir, indikator makroekonomi utama, seperti tingkat inflasi, cenderung menurun, nilai tukar rupiah membaik secara signifikan, serta laju pertumbuhan ekonomi semakin kuat, dan diperkirakan kondisi makroekonomi akan semakin stabil dalam beberapa tahun mendatang. Bahkan majalah Economist memuji Indonesia sebagai negara yang pertumbuhannya paling stabil di dunia dalam 20 triwulan terakhir.

Risiko yang perlu diantisipasi dari penerapan kebijakan redenominasi di Indonesia antara lain potensi kenaikan harga akibat pembulatan harga yang berlebihan. Risiko ini terkait dengan proses pembulatan harga-harga ke atas yang terjadi secara berlebihan untuk kepentingan pribadi. Risiko ini dapat dimitigasi dengan undang-undang yang tegas dengan mengatur praktek pembulatan harga yang dianggap wajar, disertai pengawasan dan penindakan tegas terhadap perilaku curang dari instansi yang berwenang. Selain itu, pada masa transisi selama 2-3 tahun, pedagang diwajibkan mencantumkan harga dalam rupiah lama dan rupiah setelah redenominasi (dual ­price tagging), yang diharapkan dapat mempermudah proses monitoring dan mendorong peran aktif masyarakat untuk mengawasi pembulatan harga ke atas yang berlebihan.

Risiko penolakan dan ketidakpahaman program redenominasi oleh sebagian masyarakat dapat dimitigasi dengan, pertama, komunikasi dan sosialisasi yang baik dan intensif ke seluruh lapisan masyarakat hingga ke pelosok daerah. Kedua, penerapan dual price tagging sebelum dan sesudah penerapan redenominasi.

Ada pula risiko perselisihan karena keliru mengartikan dokumen yang bernilai uang dalam uang rupiah lama dan baru. Risiko perselisihan penggunaan uang baru dan uang lama juga dapat terjadi pada saat menerjemahkan dokumen yang bernilai uang. Di satu pihak, orang dapat mengartikan nilai uang dalam suatu dokumen setara dengan nilai uang lama, sementara pihak lain mengartikannya setara dengan nilai uang baru. Potensi risiko ini dapat dimitigasi melalui pengaturan yang jelas mengenai masa berlaku suatu denominasi tertentu dalam dokumen.

Belajar dari pengalaman beberapa negara, semua risiko dapat dimitigasi dengan mulus sehingga tak terjadi kekacauan. Bahkan negara-negara tersebut mendapat buah manis dari redenominasi berupa efisiensi perekonomian. Dengan memanfaatkan momentum redenominasi ini dan perbaikan struktural ekonomi lainnya, niscaya cita-cita kita bersama menjadi negara maju pada 2025 bukan mimpi kosong belaka.

*) Direktur Grup Riset Ekonomi Bank Indonesia; anggota tim peneliti redenominasi rupiah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus