Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama-nama bambu dalam bahasa Sunda dinyanyikan Otong Durahim malam itu. Nama-nama yang memperlihatkan bayangan puisi dari kebudayaan Sunda yang pernah dibangun melalui bambu: kelenturan, kekuatan, jalinan koreografis antara konstruksi dan arsitektur, komposisi suara di luar dan di dalam tabung bambu yang memainkan jarak kedalaman.
Inilah awal pentas Emergency karya Teater Studio Indonesia, Banten, yang digelar di halaman depan Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, sebagai penutup 40 Tahun Festival Teater Jakarta. Kelompok teater dari Serang ini baru saja pulang mengikuti Festival Tokyo (7-24 November 2012).
Bencana tsunami dan kebocoran nuklir menjadi landasan kuratorial Festival Tokyo kali ini. Ide dasarnya adalah bagaimana teater mengkonfirmasi kembali jejak-jejak memori menghadapi bencana atau situasi darurat. Teater pimpinan sutradara Nandang Aradea itu mengikuti Emerging Artists Program, sebuah program kompetisi di Festival Tokyo. Sebelas teater dari Korea, Taiwan, Jepang, Singapura, dan Cina disaring panitia dari 108 teater yang mengajukan aplikasi.
Di Tokyo, selama sebulan, mereka bertanding untuk bisa masuk main program tahun depan. Teater Studio menjadi satu-satunya peserta yang tampil di outdoor. Mereka berpentas di taman Ikebukuro, di depan gedung Tokyo Metropolitan Theater. Enam juri, yang terdiri atas para kritikus teater, yakni Wanguang Wu, Tadashi Uchino, Hidenaga Otari, Hyunsuk Seo, Akio Miyazawa, dan Chiaki Soma, akhirnya memilih teater asal Serang itu sebagai pemenang.
Kita melihat tubuh-tubuh yang mengenakan rajutan kostum dari bambu itu bergerak. Gerak yang dilakukan para pemain ini (Otong Durahim, Dindin Saprudin, Suryadi Sali, Famia Yamaniastuti, Desi Indrayani, Akromudin, dan Chandra Kudapayana) seperti mengajak kembali penonton melakukan konfirmasi atas jejak-jejak memori yang tersimpan dalam peradaban bambu. Lantai penuh dengan daun-daun bambu kering.
Bayangan puisi dan teater mulai tumbuh di antara batang-batang bambu dalam berbagai diameter, daun-daun bambu kering, cahaya, suara bambu, dan aktor yang bergerak. Sebuah bionarasi yang membangun hutan maknanya sendiri. Beberapa aktor yang memakai label urban, seperti jas hitam dan dasi, ikut mengalami arus internalisasi yang intens dari pertunjukan. Bangunan-bangunan arsitektur masa kini di sekitarnya—karena pertunjukan berlangsung di ruang terbuka—seperti ikut mengalami arus internalisasi yang dibawa pertunjukan.
Aktor mulai memasuki konstruksi dan arsitektur yang tumbuh dalam pertunjukan. Rajutan-rajutan bambu dalam lima sayap—panjang tiap sayap sekitar lima meter—membentuk bangunan mirip bunga teratai dengan poros bambu besar di tengahnya. Konstruksi ini kemudian memainkan berbagai lapis narasi dari penciptaan, permainan, bambu yang tumbuh sebagai monster, konstruksi bencana, serta bagaimana bencana dialami dari luar dan dari dalam bencana itu sendiri.
Lapis penting dari narasi itu berlangsung ketika para aktor mulai memutar sayap-sayap bambu dengan seorang aktor di porosnya, mereproduksi ruang sebagai ketegangan yang padat. Kemudian mereka mengubah konstruksi bambu menjadi situasi darurat dengan mendirikan bangunan bambu menjadi vertikal. Bangunan itu berubah jadi mirip baling-baling, dan para aktor menciptakan jejak-jejak bencana melalui kaki-kaki baling-baling yang mereka gulirkan kaki demi kaki, mengitari separuh ruang pertunjukan. Risiko konstruksi bambu untuk jatuh dan menimpa para pemain atau penonton yang mengelilinginya selalu terbuka untuk terjadi. Jejak-jejak bencana melahirkan tubuh kolektif untuk menginternalisasi bencana sebagai bionarasi.
Semua pemain lalu bergerak meninggalkan bangunan, memanggul sebatang bambu besar berlubang, dan menggemakan tiupan suara melalui lubang-lubang bambu ke dalam lorong tabungnya. Membiarkan bangunan bambu itu diam dan hening, membiarkan penonton mengalaminya sebagai teater obyek. Membiarkan aku tumbuh sebagai "aku-setelah-bambu".
Kemudian Otong menaiki bangunan bambu itu, menunggangi pucuk-pucuknya, bergerak ke atas sampai ke tingkat kelenturan bambu yang paling lentur untuk menjatuhkan tubuhnya kembali ke bawah. Tindakan ini menghasilkan dua wacana sekaligus: tubuh kita merupakan bagian dari tubuh bencana, atau bocornya modernisme yang merepresentasikan keperkasaan manusia untuk menunggangi bencana.
Dalam kedua wacana itu, bayangan identitas Asia tumbuh dengan kuat. Di samping itu, pertunjukan ini memperlihatkan bagaimana teater kian bergerak sebagai bagian dari plastic art yang mengubah material menjadi media. Dan kiranya ini merupakan poin penting yang membawa Teater Studio Indonesia menjadi pemenang di Tokyo.
Afrizal Malna, penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo