Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arah pemberantasan korupsi bisa jadi buyar jika yang sedang jadi tersangka dibela partai politik masing-masing hanya atas dasar setia kawan saja. Para tersangka perkara korupsi itu umumnya tersangkut kasus dugaan penyimpangan keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang akhir-akhir ini banyak dibongkar kejaksaan.
Solidaritas politik pada kasus korupsi anggota partai politik bisa dianggap solidaritas yang salah tempat. Jika ditarik lebih jauh, hal itu bisa diartikan sebagai menghambat proses penegakan hukum. Sebaliknya, partai politik yang anggotanya banyak terkena menilai bahwa sebagian besar dugaan korupsi itu telah dipolitisasi. Pengungkapan kasus korupsi lebih ditujukan untuk menyudutkan partai oleh pesaing yang kebetulan sedang berkuasa.
Jadi, kejaksaan telah dipakai sebagai alat politik penguasa. Begitulah kurang lebih disimpulkan Forum Pembela Demokrasi Indonesia, tim penasihat hukum PDI Perjuangan, Selasa pekan lalu. Partai politik lainnya juga cenderung membela anggota masing-masing yang terlibat perkara korupsi. Kebiasaan ini, jika boleh disebut demikian, mungkin dimulai sejak Partai Golkar menyatakan dukungan secara terbuka kepada Akbar Tandjung tatkala dia sedang diperiksa dalam kasus korupsi dulu.
Masalah hukum bergeser jadi masalah politik. Partai punya praduga bahwa pemerintahlah yang lebih dulu memasukkan sifat politik ke dalam hukum. Ini tecermin ketika Komisi III DPR membentuk Panitia Kerja mengenai DPRD dengan tugas mengawasi pelaksanaan proses penyidikan kasus dugaan korupsi anggota DPRD. Sikap ingin melindungi kawan separtai, dengan mencurigai motif politik kejaksaan dalam mengungkap kasus korupsi, jadi lebih nyata ketika terjadi insiden dalam rapat gabungan Komisi II dan Komisi III DPR bersama Jaksa Agung.
Rapat gabungan yang membahas masalah sekitar penyidikan dugaan korupsi anggaran DPRD berjalan tegang sejak awal. Ketidakpuasan anggota DPR terutama tertuju pada penggunaan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000. Padahal, peraturan itu sudah dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung pada akhir 2002. Bahwa peraturan itu masih dipakai kejaksaan dijadikan petunjuk bahwa kejaksaan telah melakukan politisasi, sebab penggunaannya terlalu dipaksakan. Begitulah sudut pandang partai politik.
Persoalan sah-tidaknya suatu peraturan dijadikan dasar dakwaan dan tuntutan, sebetulnya, lebih tepat bila diajukan di sidang pengadilan. Menggunakan tekanan politik untuk menghakiminya seharusnya tidak dilakukan. Tanpa terasa, dalam semangat anggota DPR mengawasi cara kerja Kejaksaan Agung—mungkin lebih banyak demi membela kepentingan rekan separtai—forum legislatif ini telah secara berlebihan mengambil peranan yang sebenarnya termasuk lingkup fungsi kekuasaan yudikatif.
Rupanya masalah ini tak terlalu dihiraukan. Suasana lebih diwarnai ketegangan yang timbul dari sikap berseteru menghadapi Kejaksaan Agung. Selain itu, ada beberapa informasi tentang terjadinya pemerasan terhadap para tersangka oleh jaksa yang sempat disampaikan dalam rapat itu. Ketegangan berkembang jadi kericuhan ketika dalam rapat itu seorang anggota DPR menggunakan ungkapan "tidak menjadi ustad di kampung maling" bagi Jaksa Agung.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menafsirkan kata-kata dalam ungkapan itu secara harfiah dan menuntut supaya yang bersangkutan mencabut ucapannya dan meminta maaf. Kericuhan berakhir dengan dihentikannya rapat gabungan, tanpa kesimpulan tentunya. Terlepas dari adanya pertunjukan sikap hampir kekanak-kanakan itu—ditayangkan secara lengkap oleh televisi—akar masalahnya sebenarnya ialah tiada sikap saling percaya dan saling menghormati di antara kedua pihak.
Karena sudah bergeser ke bidang politik, maka orang merasa tidak perlu mengajukan bukti sebagai dasar ketidakpercayaan pada kejaksaan. Seakan-akan jaksa selalu bobrok sudah merupakan fakta yang notoir, yaitu kenyataan yang diketahui umum tanpa perlu dibuktikan lagi kebenarannya. Inilah yang dilawan oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang berkeberatan dengan sindiran kata "maling" bagi para jaksa di bawahnya. Andaikatapun anggapan bahwa jaksa memang bobrok mengandung kebenaran, itu belum bisa dijadikan alasan menganggap mereka yang disangka terlibat perkara korupsi menjadi tidak bersalah.
Seharusnya pertikaian antara partai politik dan kejaksaan ini berkembang jadi dialektika ke arah yang baik: memaksa kejaksaan membersihkan diri, dan menuntut agar penyidikan korupsi justru diperluas dan dipergiat sehingga lebih banyak kasus yang terbongkar.
Reaksi partai seharusnya bukan untuk menekan posisi kejaksaan sampai menjadi lemah sehingga menghentikan penyidikan atau membebaskan yang sebenarnya bersalah. Membuat tim pembelaan partai buat anggotanya yang dituduh korupsi adalah bentuk solidaritas yang keliru.
Anggota yang dijadikan tersangka korupsi bukanlah korban akibat melaksanakan tugas partai, atau karena menyalurkan aspirasi rakyat. Kalau melindungi yang salah, partai bisa dianggap terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo